Negara Personifikasi dan Kooptasi Negara Atas Ruang
Publik
Dalam
sejarah Indonesia modern sudah tiga kali Indonesia mengalami negara
Person : Pertama, Pemerintahan di Era Demokrasi Terpimpin Sukarno (1959-1965),
Kedua Pemerintahan Neo Fasisme Orde Baru (1968-1998) dan saat ini
Pemerintahan periode ke Dua SBY yang sedang menuju format Negara Person.
Apa yang terjadi dalam Negara Person?
Negara
Person memiliki gaungnya yang kuat pada era Louis XIV dimana slogannya
yang terkenal : “Negara Adalah Saya” disini Negara bukan lagi sebagai
bagian dari definisi-definisi Locke bahkan Marx sekalipun, tapi Negara
sudah menjadi alam kekuasaan pemimpinnya. Untuk mencermati bagaimana pola
negara person terbentuk di Indonesia dan apa gejala-gejalanya serta akibatnya
mari kita perhatikan satu per satu dalam periode sejarah Indonesia
modern.
Sukarno (1959-1965)
Alasan
Sukarno mendirikan negara person adalah ketidaksabarannya melihat proses
parlemen bertele-tele, masalah yang dihadapi memang bukan masalah running
well sebuah negara tapi masalah pondasi-pondasi negara. Undang-Undang
Dasar yang merupakan Konstitusi pada bangunan negara paling penting
menjadi taruhannya. Disini Sukarno melihat tidak akan ada titik temu antara
kelompok Islam dan Kelompok Sekuler (Nasionalis, Sosialisme Demokrat,
Komunis dan Feodal Jawa). Selain masalah itu adalah kemampuan Sukarno melihat
keterdesakan posisi geopolitik Indonesia dalam percaturan dunia
Internasional.
Banyak dari
kalangan ahli sejarah politik melihat bahwa perkembangan Negara Person
adalah respon atas dinamika politik dalam negeri dan berkembangnya PKI
diluar batas radar Sukarno. Namun yang perlu diperhatikan apa yang
terjadi antara tahun 1955-1959 pada kerja politik Sukarno merupakan
sebuah usaha sungguh-sungguh membentuk Negara Person. Pada saat itu
perkembangan politik Internasional menuju ke arah pembenaran tesis
Churchill tentang berkembangnya dua imperialisme : Barat di satu sisi dan
Sovjet Uni disisi yang lain. Sukarno sesungguhnya sudah melihat ini sejak tahun
1946. Selama satu tahun penuh sepanjang tahun 1945 Sukarno masih
mempercayai faktor Jepang sebagai penentu kekuatan di Pasifik dan masih
mempercayai bahwa kekuatan militer Jepang adalah andalan paling penting
bagi terbentuknya negara Asia Timur Raya. Namun perkembangan sejarah
begitu cepat, hegemoni Jepang sudah luntur. Amerika Serikat menguasai
Asia Pasifik dengan gerakan cepat sementara Sovjet Uni memilih menguasai
daratan ketimbang kekuatan laut, inilah kenapa Sukarno lebih memilih
memihak Hatta yang condong mengambil keuntungan dari deal-deal dengan
Amerika dan Belanda daripada kepada Muso yang membawa ide Negara Stalin
ke Indonesia. Deal tersebut memberi kesempatan kepada pemain-pemain lama
politik dalam lingkaran kanan menguasai ruang politik di Indonesia dan
kekuatan kanan bahkan semakin kuat dan menuju ke tangan besi untuk
menghabisi kelompok kiri, tangan besi kekuatan ini ditunjukkan pada
konspirasi MSA 1951 yang melibatkan Achmad Soebardjo menteri luar negeri
dibawah Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo. Setelah penyerangan Natsir
pada internal Masjumi dan kejatuhan Sukiman dan jatuh bangun pemerintah
karena ketidakstabilan suara di Parlemen, Sukarno melihat bahwa kekuatan
kanan semakin menjadi hegemoni untuk itu Sukarno mulai merancang kabinet
yang bersih dari unsur politik dengan nama Zaken Kabinet (Kabinet Kerja)
dibawah Djuanda. Sementara Angkatan Darat belum bisa dimasukkan unsur penting
dalam percaturan politik. Masuknya Angkatan Darat dan tidak padamnya keinginan
Sukarno membentuk Partai Tunggal Negara yang sudah diidam-idamkannya
sejak lama membuat ia harus bermain secara intens dalam membina Angkatan Darat
sehingga militer bisa menjadi pemain politik yang diperhitungkan. Kooptasi
Sukarno ke Angkatan Darat setelah 17 Oktober 1952 yang justru melejitkan
nama AH Nasution adalah langkah paling penting dalam membentuk Negara
Person.
Revitalisasi
PKI ditangan empat serangkai dibawah DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan
Sudisman dilihat Sukarno sebagai kesempatan politik untuk dijadikan kartu
dalam permainannya dengan Amerika Serikat dan Sovjet Uni. Bila Jacques
Leclerc dalam analisanya dalam melihat kehancuran PKI di bulan-bulan
pembantaian Oktober-November 1965 sebagai “Raksasa Berkaki Lempung” ini
adalah sebuah isyarat bahwa memang pembentukan PKI sama sekali tidak
didasarkan pada syarat-syarat berdirinya Partai Komunis arus besar
seperti yang dikehendaki dalam teori-teori Lenin dan implementasi Stalin,
tapi lebih pada kehendak sebuah tempat tampungan massa radikal pendukung
Sukarno.
Kooptasi
Sukarno pada Angkatan Darat dan memecah struktur elite Angkatan Darat -seperti
penghadapan Yani dengan Nasution, atau Yani dengan Gatot Subroto - serta
kooptasi ide-ide Revolusioner Sukarno kepada PKI yang cepat membesar itu
merupakan rangkaian Kooptasi yang kelak memakan dirinya sendiri. Sukarno
bukan saja termakan oleh Revolusi ciptaannya tapi juga tidak mampu
mengendalikan kekuatan-kekuatan yang dibangunnya.
Peristiwa
Gerakan Untung dan Sjam di tahun 1965 yang berakibat terbunuhnya para
Jenderal dari jajaran SUAD Angkatan Darat membuat Sukarno benar-benar
dibungkam oleh kekuatan yang dilahirkannya. Ini berbeda misalnya ketika
Sukarno masih bermain dalam wilayah luar kekuasaan dimana kerja politik
Sukarno hanya menjadi makelaar politik atau Kepala Agen politik dimana
pelaku-pelaku yang dimakelari bisa dikendalikan : Hatta, Sutan Sjahrir,
Amir Sjafrudin, Tan Malaka , Muso dan Natsir. Namun ketika Sukarno ingin
menjadi pemain tunggal dan melakukan tindakan-tindakan kooptasi maka
serta merta dia gagal mengendalikan bawahannya. Sikapnya yang
terburu-buru mengeluarkan rumor tentang Angkatan Ke V, meremehkan
kekuatan Angkatan Darat dalam penyerbuan Malaysia dan terlalu menciptakan
banyak musuh membuat ia harus menjadi anak kandung korban revolusinya
sendiri. Sementara keadaan luar negeri tidak begitu menguntungkan dalam
permainan kartu politik Sukarno, Kruschev (Mr.K) terang-terangan
menyerang kubu Stalin dan melakukan Destalinisasi sementara Mao yang
banyak terbantu oleh Stalin merasa bahwa Mr. K merupakan revisionis
Komunis yang wajib dimusuhi. Disini kekuatan kartu di samping kiri
Sukarno melemah, sementara di sisi kanan Sukarno semakin solid. Keputusan
Presiden Kennedy membela Indonesia dalam merebut Irian Barat dipandang
bukan merupakan pengkhianatan AS terhadap sekutu Eropa-nya tapi merupakan
jalan mendekati Sukarno agar bisa memiliki basis pengaruh di kawasan
timur Indonesia dengan memiliki akses terhadap konsesi-konsesi sumber
daya minyak serta menjinakkan Sukarno yang menyerang Pangkalan Militer
Asing di Asia Tenggara. Kartu Sukarno yang tidak imbang ini di luar
negeri ini kemudian menjadi kontradiksi atas berkembangnya politik dalam
negeri sehingga semakin menjauhkan permainan kartu Sukarno pada kemenangan.
Keputusan gegabah Aidit yang melakukan tindakan politik agraria dan
secara frontal melawan tuan-tuan tanah NU serta serangan Aidit yang tak
tanggung-tanggung kepada Yani membuat Angkatan Darat membangun aliansi
diam-diam kepada kalangan Islam untuk menunggu saat yang tepat membuat
perhitungan pada PKI. Dan ada faktor lain lagi yang memberi arah
kehancuran jalan PKI-Aidit yaitu lupa bahwa tujuan utama PKI adalah
melaksanakan ide-ide revolusi Sukarno, namun setelah jaringan Peking
berhasil menyingkirkan jaringan Moskow di tubuh internal Partai, para
elite agak melupakan Sukarno hanya Njoto yang berkeras bahwa Peking bukan
merupakan prioritas tapi di tahun 1964 kekuatan Njoto bisa dikatakan
habis. Faksi Aidit menguasai keadaan internal Partai dan Peking menjadi
kiblat.
Gerakan aneh
dan konyol Untung-Sjam 1965 dengan cepat ditanggapi oleh Angkatan Darat.
Suharto yang muncul tiba-tiba menjadi kartu As dalam kekalahan politik
kartu Sukarno. Dengan kesimpulan yang sangat sederhana dan bisa dijadikan
perdebatan sejarah puluhan tahun, ucapan Suharto : PKI berada di balik
Gerakan Untung, dengan cepat menghancurkan semua kerja politik Sukarno
yang dimulainya sejak tahun 1926.
Negara
Person kedua, diciptakan Jenderal Suharto diatas puing-puing Sukarno.
Suharto memiliki beberapa modal politik yang sama sekali tidak dimiliki
Sukarno :
- Tidak direpotkan oleh Geopolitik karena sikap Suharto jelas anti Komunisme. Sovjet Uni sedang berkomitmen tidak mengganggu Indonesia karena tidak ingin memancing permusuhan dengan Mao. Sementara Mao disibukkan oleh penyerangan dirinya atas bencana kelaparan dimana Presiden Liu Sao Chi menyerang Mao. Revolusi Kebudayaan Cina 1966 adalah bagian dari garis keberuntungan Suharto. Mao disibukkan membantai teman-temannya sendiri dengan bantuan Lin Piao. Otomatis Indonesia bukanlah prioritas dan kematian Aidit hanya cukup dikompensasi dengan sebuah puisi karya Mao.
- Histeria Pembunuhan Jenderal dan Pola politik Stigma PKI membuat Suharto dengan langkah luar biasa tepat bermain. Kooptasi-nya dalam mengendalikan ruang publik pers sampai membangun seluruh struktur kekuasaan level bawah dengan alasan stigma PKI membuat dirinya benar-benar menikmati posisi menjadi Raja Jawa dalam arti sebenarnya.
- Tindakan pembenaran atas Tiga B (Bui, Buang dan Bunuh) dimana masyarakat Internasional juga melakukan kejahatan dengan mendiamkan apa yang terjadi di Indonesia merupakan keuntungan Suharto dalam memainkan politik kekerasan dalam mencaplok masyarakat.
Mari kita
lihat apa yang dilakukan Suharto dalam melakukan politik kooptasi. Guru
politik terbesar Suharto adalah Sukarno. Disini benang merahnya. Hanya
saja alasannya yang membuat guru dan murid itu berbeda : Sukarno berusaha
mewujudkan daulat kapital sementara Suharto Menggandaikan Negara sebagai
bentuk jaminan hutang baik hutang jangka pendek ataupun jangka panjang.
Langkah yang dilakukan Suharto setelah berhasil menghabisi Sukarno adalah
menciptakan lansekap politik seluruh kekuatan politik diarahkan menuju
partai negara, awalnya Suharto menghendaki PNI yang maju namun gagasan
ini ditolak Ali Murtopo dan Ali mengusulkan agar Golkar dijadikan
kendaraan menuju konsepsi Partai Tunggal yang terkamuflase. Bila Sukarno
ingin mewujudkan Negara Kuat, Rakyat Kuat maka Suharto mewujudkan Negara
Kuat, Rakyat Lemah. Sukarno menciptakan massa radikal, Suharto
menciptakan massa mengambang. Negara bukan saja menjadikan ruang-ruang
diluar negara terkooptasi tapi negara mencaploknya. Disini Suharto
mendefinisikan diri justru dari rezim komunisme yang dikatakan dibencinya
tapi pembentukan Negara Model Orde Baru justru mengikuti jalan negara
Komunisme : Pemberangusan Ruang Publik dan Penciptaan Kelas Baru yang
menindas. Jelas Angkatan Darat menjadi kelas paling berperan dalam
penindasan terhadap rakyat di masa-masa Orde Baru. Dan agen penindas ini
sama saja dengan kelas baru agen revolusi profesional Komunisme yang
banyak tumbuh di negara-negara penganut agenda Komintern.
Langkah
Suharto dalam mengkooptasi negara atau lebih tepatnya mencaplok
masyarakat atas kekuatan negara merupakan contoh bagaimana Ruang Publik
terjajah oleh kekuasaan :
- Revitalisasi Surat Ijin Pembentukan Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang bibit penindasan pers sudah dilakukan Angkatan Darat sejak jaman Sukarno.
- Membangun perusahaan-perusahaan negara yang kemudian menjadi sumber dana penting ke akses kekuasaan.
- Fusi partai Politik 1973 : Penghancuran Ideologi dan pembentukan Massa mengambang.
- Seluruh unsur-unsur kekuatan ekonomi dibawah kendali keluarga dan kroni.
- Penindasan unsur-unsur koreksi terhadap Negara : Mahasiswa, Elite Veteran (Korban Petisi 50), dan kekuatan lain.
- Pemandulan komisi-komisi penting yang bisa dianggap sebagai suara aspirasi rakyat dalam pembenahan pengawasan publik.
Bila Sukarno
mengkooptasi dua hal : Angkatan Darat dan PKI yang kemudian kedua kekuatan ini
bertarung menjadi kekuatan politik di satu sisi dan kekuatan rakyat serta
budaya disisi lain. Maka Suharto mencaplok Angkatan Darat bukan saja
menjadi kekuatan politik semata tapi menjadi kekuatan yang menentukan
takdir bangsa Indonesia. Dari Angkatan Darat inilah kemudian lahir
berbagai macam bangunan politik dengan landasan kekerasan. Bisnis-bisnis
baik dalam lingkup negara dan swasta diharuskan menjadi sponsor bagi kekuasaan.
Kaum Intelektual dipaksa menjadi pelacur dan menghamba pada modal,
ideologis dihabisi serta dibangkitkan fungsi-fungsi dangkal dalam
menciptakan masyarakat berbasis konsumerisme. Masyarakat konsumerisme
bukanlah jenis masyarakat yang memiliki kekuatan intelektual tajam,
terdidik daya kritisnya, visioner dan menghargai segala bentuk
rasionalitas. Masyarakat konsumerisme tidak bisa diharapkan menjadi faktor
pendorong terciptannya negara ke arah-arah baik tapi memerosokkan ruang
gerakan masyarakat. Kesenian dijadikan alat pop yang mendewakan
materialitas dan ide-ide yang tidak laku dalam bahasa budaya pop menjadi
bahan ketawaan. Pendek kata Pencaplokan Negara Orde Baru kepada seluruh
unsur negara ini melahirkan kebudayaan dangkal.
Tapi seperti
yang terjadi pada Sukarno, nasib Suharto sama persis. Ia tidak mampu
mengendalikan kekuatan-kekuatan yang diciptakannya. Sejak munculnya
Petisi 50 dan kecewanya LB Moerdani, Angkatan Darat bukan lagi senjata yang
paling tajam pada diri Suharto. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan
Suharto mengeluarkan dua kartu lama untuk menghadapi kekuatan-kekuatan
Angkatan Darat yang kemudian justru menjadi bumerang : Islam dan Nasionalisme
Emosi Sukarno. Awalnya munculnya drs. Suryadi yang merupakan orang dekat
LB Moerdani diharapkan mampu menggembosi kekuatan radikal Islam sisa-sisa
ciptaan Ali Moertopo yang semakin kuat setelah ekspor revolusi Iran
dengan mengeluarkan basis massa Sukarno ke jalan-jalan, Suharto dapat
dengan tenang menggembosi Islam. Namun basis massa ciptaan Suryadi
meledak luar biasa. Foto Sukarno yang diusung anak-anak muda 1986 menjadi
modal politik untuk melawan Suharto. Kekuatan itu terbukti meroketnya
suara PDI ditengah Pemilu yang dikendalikan Orde Baru di tahun 1986 dan
1992. Disini Suharto mulai kehilangan kendali atas fusi 1973 yang
diciptakannya dan menjadi semakin kehilangan kecerdasan politiknya ketika
melakukan penyerangan vulgar di tahun 1996 atas markas PDI di jalan Diponegoro.
Selain itu Suharto juga mendekati kelompok Islam melalui ICMI untuk mengimbangi
Kekuatan Angkatan Darat dan Kekuatan Nasionalis Emosi Sukarno. Sejak
Suharto bermain kartu ini maka kehancuran kerja politiknya sudah
mendekat.
Sejarah
jatuhnya Suharto memperlihatkan pengulangan apa yang terjadi pada diri Sukarno,
terjadi pada diri Suharto :
- Sukarno dikhianati PNI, dalam hal ini kubu Osa-Usep, sementara Suharto jelas dipermalukan oleh Harmoko lewat pernyataannya yang menghendaki Suharto mundur. Jelas Golkar dan Harmoko adalah anak kandung politik Suharto.
- Baik Sukarno dan Suharto dijauhi Angkatan Darat pada saat-saat kondisi kritis, bahkan Angkatan Darat menjadi kekuatan penting dalam politik penjatuhan kedua Presiden itu.
- Kedua Presiden itu sama sekali tidak mendapatkan dukungan riil dari kekuatan rakyat ketika dijatuhkan. Kejatuhan Sukarno seberapapun dashyatnya kekuatan militer mustinya mendapatkan penolakan penuh rakyat mengingat Sukarno sangat mengakar dalam alam pikiran bangsa Indonesia tapi itu sama sekali tak didapatkannya. Penghormatan rakyat yang dengan berani turun ke jalan hanya didapatkan pada saat kematiannya pada 21 Juni 1970.
Ketika
Negara Person menjadi kekuatan penting politik dan masuk ke dalam ruang publik
maka dengan sendirinya Negara Person itu akan runtuh. Apa yang
sesungguhnya terjadi? Apakah ini akan terjadi pada diri SBY?
Kemenangan
Partai Demokrat yang begitu fantatis, kemampuan SBY dalam melakukan
tindakan politik paling jenius dalam mengebiri Golkar dan menjadikan
Golkar mendekati kebangkrutannya serta menjadi PDIP hanya satu-satunya
rivaal politik yang lemah adalah kemampuan SBY melakukan kooptasi Negara
terhadap seluruh ruang kekuasaan dan ruang rakyat dengan cara yang demokratis.
Tapi apakah ini kemudian menjadikan SBY menjadi pahlawan atas kestabilan
politik?
Seperti yang
saya uraikan diatas, Negara Person bagaimanapun tujuan baiknya seperti
Sukarno yang ingin merevitalisasi semangat kedaulatan negara apalagi
keblinger macam Suharto akan menemukan kontradiksi-kontradiksinya. Titik
temu kontradiksi inilah yang kemudian menjadi hantu penghancur bagi
penguasa yang ingin mencobai negara ke dalam Negara Person. Apa yang
dilakukan SBY dalam kemenangan strateginya atas Pemilu 2009 serta kemampuannya
membangkrutkan lawan-lawan politiknya pasti diikuti dengan langkah cepat
dalam menguasai ruang-ruang kekuasaan diluar eksekutif. Koalisi di
Parlemen sudah terpegang, Pemandulan KPK lewat kisruh unsur pemimpinnya,
lumpur Lapindo yang tak jelas, Perampokan atas Bank Century yang melibatkan
orang-orang terdekat Presiden dan kinerja KPU yang buruk adalah bagian
penting kita mencatat kinerja SBY, karena gagalnya SBY dalam
menyelesaikan itu karena tidak bekerjanya fungsi-fungsi independen diluar
negara maka diragukan akan efektifnya fungsi negara dan fungsi rakyat
dalam bertemu di ruang publik. Bila ini sampai terjadi maka SBY akan
dimakan oleh rekayasa politiknya sendiri.
(Anton DH
Nugrahanto, Ditulis 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar