MADILOG
Tan Malaka (1943)
D I A L E K T I K A
Pasal
1 : TIMBULNYA PERSOALAN DIALEKTIKA
Sampai
sekarang kita melayani perkara yang terutama berhubungan dengan Logika, Ilmu
Berpikir. Semua pertanyaan yang dimajukan bolah dijawab dengan ya atau tidak.
Syahdan menurut Logika, ya, bukan berarti tidak. Dan tidak
itu sama sekali tidak, bukan berarti iya.
Dalam
Geometri & Co dan Ilmu Alam & Co, yang sudah kita uraikan dahulu, kita
mengadakan semua pertanyaan yang boleh dijawab ya atau tidak. Dalam
biologi kita sudah sedikit meraba pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan
jawab ya dan tidak semata-mata, tetapi, kita tinggal meraba-raba
saja dan segera menarik tangan kita kembali.
Sekarang
sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa lagi dijawab
dengan ya atau tidak. Sekarang sudah sampai waktunya buat
memeriksa pertanyaan yang tiada bisa diselesaikan oleh Logika. Pertanyaan yang
tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, adalah bermacam-macam,
masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara yang dibawah ini.
Bagian
1. TEMPO
Pertanyaan
umpamanya, apakah Edison bodoh atau pandai tiadalah bisa dijawab dengan pasti
menurut Logika saja, dengan ya atau tidak begitu saja. Kita tahu,
ketika berumur 6 tahun, Thomas Edison diusir pulang oleh gurunya karena bodoh.
Tapi seluruh dunia sekarang mengetauhi pula bahwa Thomas Edison yang akil
balig, betul-betul mencahayai dunia kita dengan hasil otaknya yang gilang
gemilang itu.
Teranglah
disini Sang Tempo mengubah Thomas dari murid yang goblok menjadi satu genius
(maha cerdas) yang akan tetap dapat kehormatan sejarah dalam dunia seperti
Faraday, Ohm, Ampire dan kawannya yang lain dalam ilmu Listerik. Kita diajar di
sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis
dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik
terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu
memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan
akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab
mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda.
Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang
dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.
Dalam
ilmu alam kita mengetahui bahwa, air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya,
hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang
uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air
atau sudah menjadi uap.
Dalam
kehidupan sehari-haripun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang
tiada bisa diputuskan dengan ya dan tidak saja, kalau sang Tempo
campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah hampir atau
lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih dan bertelinga pekak
dsb, atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah
dengan ya atau tidak tua kalau seseorang tetap kuat berupa muda,
walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun.
Adalah
saatnya dimana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintarpun,
tak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup.
Jadi
jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh tempo dimana campur perkara timbul
dan hilang, hidup dan mati, disinilah Logika semata-mata menjadi gagal.
Bagian
2. BERKENA-KENAAN, BERSELUK-BELUK
Kia
masih ingat bagaimana perbedaan besar diantara dua ahli Biologi besar, menghampiri
persoalan tentang Tumbuhan dan Hewan. Lenxeus menganggap tiap jenis (spesies)
baik Tumbuhan ataupun Hewan, sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan
dan tak ada seluk-beluknya dengan jenis lain. Sedangkan Darwin menganggap
sebaliknya, satu sama lain tak bisa dipisahkan, dipancirkan sendirinya. Lenxeus
mengganggap masing-masing jenis, sebagai barang yang tetap yang pada satu saat
dibuat yang Maha Kuasa. Sedangkan Darwin menganggap masing-masingnya jenis itu
berubah sesudah beberapa lama disebabkan oleh Pilihan Alam (Natural Selection).
Lenxeus berpendapat bahwa masing-masing jenis mesti diperiksa satu persatunya,
terpancir sama sekali dari jenis yang lain-lain. Sebaliknya Darwin memeriksa
peralamankan masing-masing jenis dengan seketikapun tak melupakan perkenaan dan
seluk-beluknya jenis itu dnegan jenis yang lain.
Lenxeus
setia pada Logika: Hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak
ada seluk-beluk dan perkenannya dnegan burung dan seterusnya.
Darwin
setia pada Logika, dimana Logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan Logika,
kalau Logika tiada berdaya lagi: ini jenis berkenaan dengan itu, seluk-beluk
dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok berkenaan betul dengan burung.
Perbandingkanlah tengkorak, tulang-belulang, hati, jantung, dan sebagainya
diantara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang belulang dan sekalian anggota
Hewan dan cacing sampai ke Manusia. Tiadalah tuan menjumpai seluk beluk,
perkenaan satu sama lainnya?
Perhatikanlah
jenis Hewan di Papua yang berada di antara binatang yang melahirkan anak
hidup-hidup, dengan burung yakni binatang yang bertelur, tetapi menyusukan
anaknya. Di Amerika Selatan ada barang setengah Tumbuhan dan setengah Hewan
yakni Tumbuhan yang bisa menangkap mangsanya. Dalam laut ada barang setengah
benda setengah Tumbuhan.
Hasil
pekerjaan Lenxeus, ialah mencadangkan satu system (tata) tumbuhan dan Hewan
mati, yang dipelajari oleh pengikut Logika saja terutama pengikut Logika
Mistika. Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan
ahli hewan yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang
yang buruk, baik Tumbuhan ataupun tampang Hewan, sehingga makin lama, kita
mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih
tegap, kuat, gemuk, berfaedah dan kembang biak.
Bagian
3. PERTENTANGAN
Pada
Matematika dan Ilmu Alam rendahan, ya dan tidak itu tak langsung berupa
pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang. Baru
pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden und vergehen) kata Engels,
dia berupa pertentangan. Tetapi pada Ilmu Masyarakat berdasarkan Komunisme, ya
dan tidak itu langsung dan nyata berdasarkan pertentangan.
Pencaharian
Arab di daerah tempat saya menulis Madilog ini, yakni daerah Jakarta, terutama
sekali memperbungakan uang umum dipasar-pasar dipinjamkan Arab pada Indonesia R
1,- dengan bunga 5 sen sehari.
Berupa
kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu dan 1,825%
setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga berbunga pula
(samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari turunan keterurunan,
mereka menjadi kaya, ada kaya raya mempunyai tanah dan rumah. Tentulah bukan
satu kali hal yang kita tuliskan dibawah ini sebagai contoh, yang terjadi
semenjak bangsa ini meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki pada tanah
kita yang dianggap tidak suci ini.
Sebagai
misal: Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama
meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan
rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya
membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja,
sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu.
Keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan
merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana
juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang
lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia.
Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu. Tuan Halal
bin Fulus tahu pula akan sifatnya petani Indonesia, het zachte volk der aarde,
itu bangsa yang semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan
melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan
rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja dengan hutang bunganya.
Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada semacam tikus di dalam cengkeraman
kucing. Seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, namun hutang mesti
dibayar.
Kalau
kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan
Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara
hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani
Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja,
atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya
yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali
kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita
andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.
Perkara
diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar; arief bisaksana,
yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara
100 perkara semacam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci,
yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak
bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah
bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti
menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun
kalau ada, buat membayar hutangnya.
Sedikit
kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang banyak sekali terjadi
di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia. Sekarang kita
bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi? Inilah salah satu dari
pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena
pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang
bertentangan diantara: Yang berpunya dengan Tak berpunya.
Tuan
Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah
berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani
berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan
cocok dengan semua Agama.
Sebaliknya
filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak
berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim
“tidak” adil.
Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis akan
menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan Halal bin Fulus
bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci denga diizinkan
membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau kedua: boleh tinggal disini,
tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal
kedua dia lebih dahulu mesti dijadikan “manusia yang berguna buat masyarakat
Indonesia”, yaitu dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat,
menjadi “pekerja” sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi
penduduk yang sama haknya dnegan “pekerja” yang lain-lain.
Pendeknya
dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab
dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita
mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of
view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari
pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak
pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW. Dari
salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.
Bagian
4. GERAKAN
Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat kita bertanya: Apakah bola ini
pada saat ini disini atau tidak disini?
Inilah
pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah
timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan.
Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau
hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal
ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah
tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini mesti
bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah pada
saat ini boleh itu ada disini, dan memang ada disini.
Jadi
dalam semua benda yang bergerak, kita mesti memakai Dialektika. Kita mesti
ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah,
bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh, berbuah, dan mati, zatnya
kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir, tumbuh, beranak, tua, mati
dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan luntur. Bintang yang
sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.
Bumi
bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil itupun tiadalah
tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu
bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa
sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi
dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam
listerik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels,
saya ingat dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan
dengan “peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk
yang lain”. Banyak sekali pemikir mengichtisarkan Alam kita ini dengan: “Matter
in move”, benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang
terutama, maka Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.
Pada
empat perkara tsb, diataslah timbulnya persoalan Dialektika. Kalau dipandang
dari penjuru tempoh, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir
Berlainan, yaitu dalam hal berpikir yang memperhatikan tempoh dimasa sesuatu
benda, tumbuh dan hilang, hidup dan mati. Kalau dipandang dari penjuru
kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan benda lain, maka
Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal kena-mengena,
dalam hal berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan
sendirinya. Sering sekali Dialektika dinamai Ilmu Berpikir pertentangan. Dan
seperti sudah kita katakan diatas juga pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam
Gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan
memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta seluk-beluknya,
pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.
Pasal
2. DIALEKTIKA DAN LOGIKA
Bilakah
dipakai Dialektika dan bilakah dipakai Logika?
Sungguhpun
Dialektika yang terutama menguasai daerah kita berpikir, tiadalah ini berarti
bahwa Logika tiada berguna sama sekali. Disini belum tempatnya buat menguraikan
Logika, tetapi kita tiada pula asing lagi sama Logika itu. Cara yang kita
kemukakan yang dipakai dalam Ilmu Alam ialah cara yang diutamakan dalam Logika.
Kita masih ingat yang cara tiga itu, yakni Induction, Deduction, dan
Verification, seperti yang sudah kita terangkan dahulu. Tiga cara ini ada
perkenaannya dengan 3 cara yang dipakai dalam Matematika, ialah Synthetic,
Analytic dan ad Absurdum. Demikianlah kita sudah berkenalan dengan Logika itu.
Buat
menjawab pertanyaan diatas, tiadalah perlu kita lebih dahulu menguraikan Logika
yang lebar dan dalam. Sambil mengingat yang sudah-sudah, cukuplah kalau kita
majukan disini sifat Logika yang terutama dan bertentangan dengan sifat
Dialektika. Juga perkara ini tidak asing lagi. Sudah kita uraikan bahwa menurut
Logika ya itu ya dan ya itu bukan tidak. Cuma bentuk yang tiada dipakai
dalam buku Logika bukan bentuk yang kita majukan begitu, walaupun maknanya
sama. Bentuk yang lazim dipakai buat menggambarkan Logika, yakni A = A ;
A bukan Non A (tidak A). Jadi Hukum berpikir yang berbentuk A bukan Non A itu,
sama maknanya dengan ya itu bukan tidak. Dalam buku Logika juga sering
dikatakan “sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu”, “a thing is not its
opposite”. Tetapi diatas telah diterangkan, bahwa sesuatu barang itu boleh
lawannya barang itu, A itu boleh Non A, ya itu boleh berarti tidak; bola
bergerak itu pada satu saat boleh disini dan tak disini. Pada satu saat orang
itu boleh hidup dan mati. Pada satu waktu air itu boleh air atau uap, dsb.
Bagaimana
kita bisa damaikan kedua Hukum Berpikir yang berlawanan satu sama lainnya itu?
Atau tiadakah mereka bisa didamaikan, sehingga kalau yang satu hidup yang
lainnya mesti mati? Kalau yang satu dipakai yang lain mesti dibuang? Atau
bolehkah masing-masing kita beri daerahnya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa
pada daerah ini kita pakai terutama Dialektika, dan pada daerah itu kita pakai
terutama Logika?
Memang
kita bisa menentukan daerah masing-masing dan pada daerah masing-masing
berkuasa salah satunya Hukum Berpikir itu. Tetapi tiadalah masing-masing
berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain
dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan
sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika.
Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda berhenti
masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan
tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.
Seperti
pada uraian dahulu kita sudah perlihatkan, bahwa pada Matematika dan Ilmu Alam
rendahan dan tengah, besar sekali kekuasaannya Logika. Sedangkan pada
Matematika dan Ilmu Alam tertinggi, ktia terutama mesti lari pada Dialektika.
Pemikir logika yang sering dimajukan oleh Plechanoff, sebelum bercerai, adalah
guru dan kawan separtainya Lenin, ialah Ueberweg. Memang Ueberweg jitu sekali
mendifinisikan Logika, sesudah Ilmu ini dia bandingkan dengan Dialektika. Kata
Ueberweg: Pertanyaan yang pasti dan berpengertian pasti apakah satu sifat
termasuk pada satu benda, mesti dijawab dengan ya atau tidak.
Marilah
kita ambil satu misal buat menterjemahkan definisi Ueberweg ini. Dihadapan kita
ada satu kotak. Kotak itu seperti biasa mempunyai enam (6) sisi. Sisi depan dan
belakang dicat putih, serta sisi kiri dan kanan dicat hitam. Kalau kita mesti
bertanya menurut Ueberweg, kita mesti menyusun persoalan kita seperti dibawah
ini: Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari muka? Jawab putih. Kalau
dipandang dari sisi kiri? Jawab hitam. Dengan begitu pertanyaan kita adalah
pasti. Kita tanyakan warnanya kotak kalau dipandang dari satu pihak, bukan
warna seluruhnya kotak itu, hanya warna sebagiannya dari kotak tadi. Jawabnya
yaitu putih juga pasti, karena putih bukan hitam (A = A dan A bukan Non A).
Dengan begitu kita memenuhi definisi Ueberweg seperti diatas. Warna kotak kalau
dipandang dari muka, jadi sebagian kotak adalah putih bukan hitam.
Kalau
pertanyaan itu mesti disusun buat seluruhnya kotak dan cocok pula dengan
definisi Ueberweg, kita mesti susun: Apakah warna seluruh kotak itu kalau kita
pandang dari sudut? Disini Ueberweg gagal. Dia tidak bisa menjawab secara
Dialektika, sebab disini kita bertemu dengan perkara yang berseluk-beluk.
Pertanyaan seperti ini kita mesti jawab dengan putih dan hitam, ialah putih dan
tak putih, A dan Non A. Jawabnya kembar, tak bisa dipisahkan.
Tetapi
Ueberweg juga cerdik dan bukan keras kepala. Pada tempat lain, sesudah berpengalaman
lebih banyak, dia juga terangkan kira-kira: Kalau bertemu perkara yang simple,
mudah, kita mesti pakai Logika, tetapi kalau berjumpakan yang sulit, complex,
kita mesti pakai perpaduan dari dua pertentangan. Dia tiada menyatakan
Dialaektika, melainkan perpaduan dua pertentangan, ialah perpaduan putih dan
hitam, A dan Non A yang menurut definisi Ueberweg bermula, tiada boleh terjadi.
Begitu
juga dalam perkara yang termasuk ke dalam daerah pertentangan, maka kita lebih
dahulu mesti tentukan Dialektika dan Logika masing-masingnya. Kalau ditanya
dengan pasti, bagaimanakah putusan Hakim terhadap tuan Halal bin Fulus dengan
petani tadi, kalau dipandang dari pihak Kaum Berpunya, maka kita boleh jawab
dengan pasti: ya. Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti pula, apakah putusan
itu, kalau dipandang dari pihak Kaum Tak Berpunya, kita juga bisa jawab dengan
pasti pula: tidak. Kedua jawab itu pasti, cocok dengan Logika: ya
itu ya ; tidak itu tidak; ya bukan tidak. (A = A ; A itu bukan Non A). Jadi
dalam daerah yang pasti ini, ialah dalam daerah salah satu pihak di antara dua
pihak yang bertentangan, maka kita boleh menjalankan Logika.
Tetapi
dalam bulatnya, abstraknya, pertanyaan tadi sudah tak bisa lagi diselesaikan
dengan Logika. Kita mesti lari kepada Dialektika. Jadi kalau kita bertanya
bulatnya saja, apakah putusan Hakim tadi adil, maka tiadalah lagi bisa diajwab
dengan ya atau tidak saja. Kita mesti jawab dengan ya dan tidak, dengan A dan
non A, kembar. Satu penjawab berdarah Dialektika, walaupun belum dapat latihan
Dialektika, juga menjawab pertanyaan semacam itu dengan pertanyaan pula. Dia
bertanya dipandang dari pihak manakah adil atau tidaknya? Dalam pertanyaan yang
semacam ini, sudah terkandung jawab yang pasti pula.
Buat
penglaksanaan penghabisan, kita ambil perkara yang berkenaan dnegan tempoh.
Memang tempoh penting dalam semua persoalan. Bukan saja Scientist yang tajam,
tetapi juga Strategist, ahli perang, yang maha tangkas dan Diplomat yang piawai
(ulung) tiada boleh melupakan Sang Tempoh. Buat contoh tiadalah perlu kita
panggil kesini Strategis ataupun Diplomat.
Marilah
kita ambil barang biasa saja, seperti air. Kita tahu air dapat memutar roda
kincirnya orang Minangkabau, tetapi air saja berapapun kuatnya dialirkan, tak
bisa memutar roda Lokomotif yang berat itu yang mesti menarik sepuluh atau
lebih gerobak penuh muataan pula. Air itu mesti dimasak dahulu dalam ketelnya
Lokomotif tadi, sampai jadi uap. Uap ini dengan memakai kecerdikan tehnik bisa
memutar roda tadi terus-menerus, dari Jakarta sampai ke Surabaya, kalau perlu
sepuluh kali lebih jauh. Jadi uap yang memutar roda Lokomotif tadi bukan air,
walaupun uap tadi berasal dari air, dan air ini kalau dimasak cukup lama, jadi
cukup membiarkan Sang Tempoh bekerja, akan jadi air uap. Sekarang akan kita
pakai kunci-Ueberweg buat menyelesaiakn persoalan yang pasti seperti berikut:
Bisakah air memutar roda lokomotif? Kita jawab dengan pasti, tidak. Kalau
sebaliknya ditanya dengan pasti juga: bisakah uap keluar dari ketel lokomotif
kita tadi, yakni kalau cukup banyak, memutar rodanya? Kita jawab dengan pasti
pula, bisa (kalau lokomotif rusak tentu jawabnya pula rusak!). Tetapi pada saat
Sang Tempoh, dimasa Sang Tempoh belum lagi berkesempatan menjalankan
kewajibannya pada saat, dimasa air tadi sedang bertukar jadi uap, di masa
sebagian air sedang jadi uap, dan uap masih lekat pada air, pada saat dimasa
panasnya air tepat 100 derajat, disini Ueberweg gagal.
Kalau
kita pakai Kunci-Ueberweg dan bertanya: Bisakah uap kita semacam ini memutar
roda lokomotif, kita tidak bisa jawab dengan ya atau tidak saja, tetapi kita
pakai Kunci-Dialektika dengan menyelesaikan jawabanya dengan ya dan tidak,
kembar. Tidak bisa yakni pada saat ini, pada satu saat, persis, tepat pada
panasnya air 100 º. Pada saat ini Sang Tempoh belum beres lagi kerjanya dan
Sang Lokomotif masih mendesus-desus, seperti naga marah, dan Bung Masinis masih
menunggu dengan sabar. Tetapi belum habis perkataan tidak bisa tadi dikeluarkan
dari mulut si penjawab, roda lokomotif sudah bergerak, seolah-olah membatalkan
jawab tak bisa tadi dengan perkataan bisa. Jadi pada saat panas air persis,
tepat 100 º tadi (umpamanya saja) jawab pertanyaan kita mesti bisa dan
tak bisa, ya dan tidak, kembar, berpadu. Pada saat ini berkuasalah Dialektika:
A = Non A.
Penjawab
yang berdarah Dialektika walaupun belum latihan juga tiada melupakan tempoh
dalam perkara yang berkenaan dengan tempoh. Pertanyaan: Bisakah uap air dimasak
memutar lokomotif, akan dijawabnya dengan pertanyaan pula; sesudah berapa lama?
Sesudah Sang Tempoh dipastikan, barulah bisa dipastikan ya atau tidaknya.
Pada daerah inilah berlaku Hukum Logika A = A ; A bukan Non A
Pasal
3. DIALETIKA IDEALISTIS DAN DIALEKTIKA MATERIALISTIS
Dahulu
sudah kita sebutkan dua jenis Dialektika. Juga sudah kita cantumkan sifat yang
terutama dari kedua jenis itu. Yang pertama berdasarkan Idee, pikiran belaka,
impian belaka. Yang dibelakang berdasarkan benda. Yang pertama dimonopoli oleh
kaum yang memonopoli kekuasaan, harta dan kecerdikan. Yang kedua memonopoli
tindasan, kemiskinan dan kegelapan.
Yang
diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan pikiran pada Zaman Baru, ialah
Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu memang sudah tidak asing lagi pada
zaman Yunani: tetapi di tangan Hegel, makna dan bentuknya sudah berlainan.
ARIESTOTELES, HERACLIT dan DEMOCRIT yang digelari si gelap, sebab mulanya orang
tak mengerti uraian yang dalam dan dialetis itu, banyak memakai perkara itu.
Diantara pemikir Timur, baik di India ataupun di Tiongkok, ada juga yang sudah
cakap memakai senjata berpikir ini.Tetapi sudah tentu, berdasarkan kegaiban
semata-mata. Hegel menyandarkan nama dan pengertian Dialektika itu pada kata
dialogue, soal jawab, terutama dalam persoalan filsafat. Soal jawab dalam
persoalan tentang Hidup dan Alam, Life and Universe. Kuno Fischer yang dikutip
oleh Plechanoff dalam buku “beberapa dasarnya Marxisme” berkata kira-kira:
“Dengan bertambahnya umur dan pengalaman, maka pengetahuan manusia tentang
Hidup dan Alam, bertambah-tambah seperti pengetahuan dua pihak pada satu
soal-jawab yang hangat dan berguna.
Soal
jawab yang hangat dan berguna, yang menambah pengetahuan kedua belah pihak
inilah dialogue. Semacam inilah yang tergambar di otak manusia, yang dinamai
DIALEKTIKA. DIALEKTIKA di tangan Hegel, pada abad ke XIX, dimana Science, Tehnik
dan Kesenian, jauh berbeda dengan kebudayaan Yunani + 2.400 tahun
dahulu, atau dengan Timur, sudahlah tentu lebih kaya dan lebih tersusun dari
pada DIALEKTIKA Yunani atau Timur Asli itu.
Apakah
perbedaan dan persamaan Dialektika Hegel & Co dan Marx-Engels & Co.
Saya ingat bukunya ialah LOGIKA JILID I, tetapi saya lupa halamannya, dimana
Hegel mendefinisikan Dialektika yang kalau di-Indonesiakan berbunyi kira-kira:
Yang kita namakan Dialektika ialah gerakan pikiran, dimana yang
seolah-olah tercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki
yang lain, dan dengan begitu membatalkan perceraian itu.
Pertama,
Dialektika itu masuk jenis gerakan pikiran, geistiche bewegung. Buat Marx,
Dialektika itu bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan Hukum dari
Wirkliche Logik der wirkliche gegenstande, Hukum berpikir sebenarnya, tentang
benda sebenarnya. Kata Engels juga berulang-ulang: Bayangan gerakan “benda
sebenarnya” dalam otak kita, otak kita itu seolah-olah cermin membayangkan
gerakan benda tadi. Atau pikiran kita menterjemahkan gerakan di luar itu dengan
bahasanya sendiri.
Jadi
perbedaan terutama diantara Dialektika Marx-Engels & Co dan gurunya Hegel,
ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee semata-mata
(janganlah dilupakan absoluut Idee, Maha Rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan
Engels menganggap otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan gerakan benda
sebenarnya yang ada diluar otak kita. Dalam perbedaan diantara kedua jenis
Dialektika, adalah pula persamaan. Kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada
ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai itu, menurut Hegel oleh sifatnya
sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan getrennt scheinende, durch sich
selbst, durch das, was sich sind in einander ubergehen.
Jadi
“adil” itu adanya, karena ada “dhalim”, ya itu berkenaan dengan tidak.
Keduanya berseluk-beluk, yang satu mengenai yang lain. Oleh karena adil dan
dhalim tadi kena-mengenai, masuk-memasuki, maka perceraian tadi terbatas, yang
berupa bercerai tadi, jadi berpadu. A jadi Non A; ya itu padu dengan
tidak.
Pergerakan
adil dan dhalim dalam otak kita semacam itu, juga diakui oleh Marx dan Engels.
Disini juga ada persamaan: Kedua pengertian yang berupa terpisah itu,
sebetulnya bisa berpadu. Tetapi oleh Marx dan Engels perpaduan itu dianggap
sebagai hasil perjuangan dua benda yang nyata, ialah dua klas dalam masyarakat.
Perpaduan itu bukan terjadi dengan damai, seperti diterjemahkan kebanyakan
pengikut Hegel sendiri. Hegel sendiri seperti sudah dinyatakan, revolusioner
terhadap kaum Ningrat, tetapi reaksioner terhadap kaum Tak Berpunya.
Perpaduan
itu ialah sebagai hasil perjuangan, menurut Engels, sebagai hasil yang lebih
tinggi derajatnya dari yang sudah, sebagai positive Result. “Negation der
Negation” dari Hegel sendiri “Pembatalan dari Kebatalan” juga mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari thesis atau anti-thesis sendiri-sendirinya. Tetapi
pembatalan kebatalan ini buat Hegel semata-mata berdasarkan pikiran. Sedangkan
buat Marx-Engels yaitu berdasarkan benda.
Barangkali
Thalheimer, yang pada masa belum ada perpecahaan Stalin-Trotsky dalam kalangan
Komintern sebagai ahli Komunis Jerman yang terkemuka, dalam salah satu tulisan,
mendefinisikan: Dialektika itu, bukanlah saja berbentuk Ilmu Berpikir, yakni
Ilmu tentang Undangnya Gerakan Pikiran, tetapi juga Ilmu dari Undangnya Alam
dan Sejarah Bergerak. Yang dibelakang inilah, yang pertama dan dimukalah, yang
kedua. Definisi ini cocok dengan Engels, bahwa undang gerakan Alam dan sejarah
itu, ialah yang pertama itu, terbayang diotak kita, seperti terbayang pada
cermin.
Oleh
karena berbeda dasar yang dipakai kedua pihak pemikir Dialektika itu (Hegel
kontra Marx-Engels), yang satu berdasarkan Idealisme, yang lain berdasarkan
Materialisme, maka berbeda pula kedua pihak menterjemahkan kebenaran yang
terkandung dalam beberapa kalimat dibawah ini:
- Hegel : Dialektika sama dengan
Metaphysika, Ilmu gaip.
Dialektika
Materialis: Dialetika itu berdasarkan Hukum Gerakan Gerakan Benda sebenarnya
dalam alam.
- Hegel: Absolute Idee ialah
pembikin Benda yang nyata.
Dialektika
Materialis: Absolute Idee itu adalah satu abstraksion, satu perpisahan impian
dari gerakan dimana keadaan dan batasnya benda ditentukan.
- Hegel: Keadaan
maju, sesudah diketahui pertentangan dan penyelesaian pertentangan ini
dalam pikiran.
Dialektika
Materialisme: Pertentangan dalam pikiran ialah bayangan dalam otak kita, satu
terjemahan dari pikiran kita, tentang pertentangan dalam Alam, pertentangan
benda dalam Alam ini, disebabkan pertentangan dasarnya. Dasarnya itu ialah
gerakan.
- Hegel: Kemajuan Idee, pikiran itu
mengemudikan kemajuan benda.
Dialektika
Materialisme: Kemajuan benda itu menentukan kemjuan pikiran.
Sedikit
Keterangan:
- Hegel menyamakan
paduan Dialektika itu dengan Metaphisika. Ini bukan saja pendapatan Hegel,
tetapi pendapatan semua pemikir kegaiban. Dialektika, ialah hukum Berpikir
berdasarkan pertentangan atas gerakan itu, asalnya dari dan berpadu dengan
Rohani, dengan Yang Maha Kuasa.
Buat
ahli Dialektika yang berdasarkan Benda, Hukum Berpikir pertentangan yang
mengandung seluk-beluk, tempoh dan gerakan itu tiada lain, melainkan Hukum
Gerakan Benda pada Alam kita yang membayang pada otak manusia, sepeti benda
membayang pada cermin.
- Hegel memulangkan semua benda yang
nyata itu pada Absolute Idee. Absolute Idee itulah yang membikinnya
seperti Maha Dewa Rah menitahkan, memfirmankan semua Benda yang ada.
Buat
ahli Dialektika berdasarkan Benda, Absolute Ideenya Hegel itu tak lain, melainkan
satu Abstraksi. Satu perimpian. Lebih tegas lagi satu pemisahan antara Benda
dan Sifatnya, pemisahan Benda dan Pikiran, seperti dilakukan oleh David Hume.
Pemisahan Benda dengan Gerakan inilah yang menentukan keadaan Benda. Semua
Undang tentangan Gerakan yang membayang dalam otak manusia itulah yang
diabstrakkan, dipisahkan dari Benda. Sebab satu-satunya orang itu fana, hidup
dan mati, maka oleh Ahli Mystika dicarilah barang yang baka, tetap. Dari
sinilah pemisahan abstraksi tadi berasal. Bukan asalnya dari Undang Gerakan
Benda yang membayang pada otak kita, melainkan dari Absolute Idee, Rohani, Maha
Kuasa, Maha Dewa, Maha Budha, dsb yang tak bergerak itu.
- Menurut, Hegel, maka kemajuan
masyarakat kita ini berasal dari kemajuan pikiran semata-mata. Pikiran
kita ini berjumpakan pertentangan dalam otak, umpamanya adil dan lalim.
Dalam bahasa Hegel ini berupa thesis dan anti-thesis, adil dan anti-adil
ialah lalim. Pertentangan ini diselesaikan dalam otak, dengan mendapatkan
pengertian baru sebagai synthesis, yakni peleburan dari thesis dan
anti-thesis. Kita misalkan saja peleburan, synthesis itu “Kemakmuran
bersama”. Pengertian “Kemakmuran Bersama”, yakni hasil pikiran yang
didapat dalam otak ini, akhirnya memajukan benda, memajukan politik,
ekonomi, didikan dan tehnik, pesawat dari masyarakat.
Menurut
ahli Dialektika yang berdasarkan benda, kejadian itu berlaku sebaliknya. Bukan
mulanya berlaku dalam otak semata-mata, melainkan permulaan dalam masyarakat.
Pertentangan dalam Masyarakat itu diantara yang Berpunya dengan Tak Berpunya,
dipertajam oleh pesawat yang pesat majunya. Kemajuan tehnik yang pesat itu
menambah Kaya dan Kuasa yang Kaya dan yang Kuasa dalam masyarakat. Sebaliknya
menambah miskin dan lemahnya Kaum Tak Berpunya. Perpaduan baru, synthesis itu didapat
dalam masyarakat juga. Synthesis, perpaduan baru itu berupa “Kepunyaan
Bersama”, atas perkakas menghasilkan buat mendapat: “Kemakmuran Bersama”.
Synthesis inilah yang membayang dalam otak. Akhirnya politik buat mendatangkan
Masyarakat Baru berdasarkan “Kepunyaan Bersama” buat “Kemakmuran Bersama”
inilah yang mengemudikan klas Tak Berpunya.
- Menurut Hegel kemajuan pikiran
itulah yang mendorong kemajuan Ilmu, seperti Ilmu Alam, Kodrat, Kimia,
Politik, Ekonomi, Sejarah dan Masyarakat sendiri.
Contoh
dengan tiga kesetaraan diatas, ahli Dialektika berdasarkan benda berpendapatan
sebaliknya. Kemajuan dalam masyarkat disebabkan kemajuan pesawat itulah maka
kecerdasan itu bertambah-tambah. Kalau kemajuan pesawat itu tak ada, maka otak
seperti kepunyaan Aristoteles dan Demokrit, tak bisa melampaui batas yang sudah
dicapai oleh kedua manusia luar biasa ini. Pemikir besar di Timur seperti Budha
Gautama, di kaki gunung Himalaya, Guru Kung di daerah Sungai Kuning, Ibnu Resj
di Granada dll, walaupun berapa cerdas dibandingkan dengan orang dalam Tempoh
dan Masyarakatnya, semuanya (terpaut pada) dibatasi oleh kemajuan pesawat dalam
masyarakatnya. Otak cerdas semacam itu tentu akan mendapatkan hasil lain, kalau
dilatih dan dilaksanakan dalam Zaman Listerik kita ini.
Cukuplah
sampai disini keterangan. Walaupun Hegel mendasarkan Dialektika itu pada Idee,
pikiran tiadalah ia melupakan barang yang nyata. Tentu dia tiada bisa melupakan
sebab sifat Dialektika, seperti didefinisikan Hegel sendiri, masuk-memasuki,
kena-mengenai, in einander ubergeben: Yang berupa tercerai itu kena mengenai
dan dengan begitu membatalkan perceraian.
Sebab
itu, meskipun Absolute Idee tadi, Rohani tadi, yang membikin, yang nyata pada
salah satu tempat Hegel berkata: Keadaan Ekonomi itu menjadi sebab, yang
memakai pikiran sebagai perkakasnya. Jadi pada satu tingkat atau tempoh,
keadaan Ekonomi tadi mengemudikan pikiran Manusia. Disini Hegel berjumpa dengan
ahli Dialektika atas benda.
Sebab
Hegel konsekwen, terus memakai “kena mengenai” dalam pertentangan itu, maka
hasil pemeriksaannya selalu mengambil perhatian, Feurbach, jembatan antara
Hegel dan Marx, sesudah melemparkan Idealisme Hegel, melemparkan pula
Dialektika, kurang hasilnya, jayanya, dari bermula, ketika ia masih memakai
Dialektika.
Pun
Marx tak meninggalkan pengaruh dan kepentingan pikiran. Pada satu tempat dia
juga akui kepentingan pikiran itu dengan: “Pada satu ketika pikiran itu menjadi
kodrat yang berlaku atas keadaan ekonomi”. Marx tak melupakan seluk-beluk,
kena-mengena, pukul baliknya, antara pikiran dan benda, paham dan masyarakat.
Bahwa Marx itu automatis, yakni Cuma memperhatikan pengaruh benda atas pikiran,
tidak sebaliknya pikiran atas benda, ini datangnya dari Anti Marx, yang pernah
membaca atau “cuma” mendengarkan Materialisme “masa dahulu”.
Pasal
4. MATTER DAN IDEE
Apakah
Matter dan apakah Idee itu dalam Dialektika ? Yang Matter, yang benda dalam
Ilmu Bukti seperti dulu sudah kita katakan, yaitu yang mengenai pancaindera
kita. Jadi yang nyata, yang boleh dilihat, didengar, dikecap, diraba, dicium.
Yang idee, ialah bentuk pengertian atau pikiran kita tentang benda tadi dalam
otak kita! Benda adalah diluar otak kita dan pikiran itu sebagai bayangan dari
benda tadi adalah dalam otak kita.
Dalam
hal hari-hari mudahlah kita melaksanakan bayangan benda itu dalam otak. Bola
itu berbentuk bulat dalam otak ktia. Salju mengandung pengertian putih dan
dingin dalam pikiran kita. Kinine mengandung pengertian pahit. Keroncong
mengandung pengertian bunyi yang merdu.
Tetapi
berangsur-angsur terlaksanalah bayangan benda yang berhubungan dengan
masyarakat dalam pikiran kita. Pertama: Apakah benda dalam masyarakat itu?
Apakah yang jadi condition, benda yang penting, jadi alat adanya buat ada dan
terus adanya pikiran dalam otak kita itu? (Dulu acapkali). Benda yang
ditermine, artinya yang menentukan pikiran. Sekarang kata ditermine, menentukan
itu, oleh ahli Dialektika dianggap amat mekanis, amat berupa mesti:
berupa, kalau ada ini “sebab”, mesti ada itu kejadian, kalau tak ada itu
“sebab”, maka tak timbul pula kejadian itu akibat. Disini “Rohani”, jadi berupa
sebab dan “Jasmani” jadi bikinan. Ahli Dialektika sekarang memakai kata (nama
pekerjaan) condition, artinya sebaagi alat yang penting saja.
Siapa
yang pernah membaca karangan berdasarkan Dialektika, tentu sering bertemu
dengan kalimat: Keadaan ekonomi itu jadi alat ada dan terus adanya pikiran itu.
Jadi ekonomilah disini yang dianggap sebagai benda. Ekonomi itu adalah terdiri
dari beberapa tiang, bagian penting, seperti : a. Produksi, penghasilan ; b.
Distribusi.
1.Sifat
khususnya bagian Bumi dan Iklim ; 2. Bentuknya pesawat ; 3. Keadaan Ekonomi ;
4. Klas yang memegang Politik Negara. Keempat bagian inilah yang menjadi benda.
Memang semuanya barang yang nyata. Keempat bagian inilah yang jadi alat buat
adanya pikiran, paham atau pengertian tentang masyarakat itu.
Apakah
pula yang jadi bagian penting dari pikiran dalam otak itu, sebagai bayangan
dari benda masyarakat tadi? Ini terdiri dari perkara : 1. Psychology, Tata
Kodrat Jiwa ; 2. Impian, Idaman Manusia. Tata Kodrat jiwa itu terbagi pula atas
Pengetahuan, Perasaan dan Kemauan. Idaman atau Impian itu terdiri atas Perasaan
atau sentimen cara berpikir dan Pemandangan Hidup.
Dipasang menjadi kalimat Dialektika, maka sekarang kita peroleh: 1. Sifat
terkhusus dari Bumi dan Iklim; 2. Bentuk Pesawat; 3. Keadaan Ekonomi; dan 4.
Klas yang memegang Politik Negara. Keempat benda inilah yang jadi alat buat
adanya: 1. Tata Kodrat Jiwa dan 2. Idaman ; atau keempat benda itulah yang jadi
lantai dari bangunan fikiran. Atau, keadan masyarakat menjadi alat pikiran
adanya paham masyarakat.
Tetapi
ini berupa formule, simpulan mekanis, seperti mesin, berupa uraian Dr. Gorter,
penulis Historisch Materialisme, salah ssatu dari komunis Belanda yang sebelum
bercerai dengan Internasionale ke III dianggap sebagai Theorieticus, ahli Teori
Eropa Barat.
Marx
biasanya membalikkan perkara itu. Buat Marx tidak saja keadaan masyarakat
menjadi alat adanya paham masyarakat, tetapi paham tadi pada satu ketika
membalik mempengaruhi masyarakat. Pada tingkat pertama memang benda menentukan
pikiran, tetapi sesudahnya itu pikiran itu melantun, membalik mempengaruhi
benda. Lebih dahulu hal ini sudah kita sebutkan. Seperti pada Hegel juga pada
kena-mengenanya benda dan pikiran. Cuma buat Hegel Idee, pikiran itulah yang
pertama, sedangkan buat Marx ada sebaliknya.
Yang
pura-pura tahu atau tiada tahu perkara itu, ialah mereka yang berkepentingan
buat memusuhi Marxisme. Nanti akan saya laksanakan kena-mengenanya benda dan
pikiran itu dengan beberapa kutipan dari tulisan Marx sendiri.
Sebelum
penglaksanaan tersebut, diatas itu saya lakukan lebih dahulu, saya mesti
uraikan satu perkara yang terkhusus, yang Marx anggap seperti benda. Oleh
Feurbach, pemikir yang berjasa besar buat Materialisme dan buat Marx dan Engels
terkecualinya, perkara ini tidak dianggap sebagai benda, melainkan sebagai
Idee. Perselisihan paham itulah yang menimbulkan thesis, simpulan Marx yang
amat masyhur. Inilah karangan pusaka Marx tentangan hal filsafat yang saya
ketahui, dan inilah pula susunan yang terutama dipakai oleh pemikir sejawatnya,
Co-creator Engels, Mohring dll. Marxisten.
Yang
jadi perselisihan antara Marx dan Feuerbach pada ketika itu, ialah perkara yang
dinamai Wirklichkeit, Sunlichkeit ialah yang nyata itu. Thesis pertama
maksudnya: “Kesalahan semua ahli filsafat sampai sekarang ini diantaranya
termasuk Feurbach, ialah memandag yang nyata itu sebagai objek, buat peramatan
saja, tidak sebagai Fatigkeit, perbuatan manusia tidak sebagai
Praktek-Manusia”.
Baginilah
maksud thesis bagian bermula dan pertama. Jadi buat Marx menscheljk, Fatigekeit
itu, perbuatan manusia, mesti dipandang sebagai yang nyata, jadi yang
sebenarnya, Wirklichkeit, satu kenyataan sebagai benda. Perhubungan tani dan
yang kalanya dengan tanah, mesti dianggap sebagai benda, tenaga yang keluar
dari mata memandang-mandang bintang, dari pelajar Indonesia ke Madagaskar atau
Amerika Tengah lebih dari 2.000 tahun dahulu, seperti juga pelajaran yang jauh
dan berbahaya itu sendiri mesti dianggap sebagai yang nyata, yang sebenarnya.
Bukan orang Indonesia dan sampannya saja mesti dianggap yang nyata, dianggap
benda, tetapi begitu juga segala aksinya, pekerjaannya dan perbuatannya. Bahwa
aksi kerja manusia itu benda yang nyata, tiadalah bisa dibantah sekarang karena
Fatigketi. Kerja itu memang memakai energy, kodrat, labour atau tenaga.
Feuerbach
memandang aksi manusia itu dari penjuru Idealisme, dari penjuru pikiran
semata-mata. Sebab itu hasil pemandangannya juga abstrak, terpisah seperti
hasil pemeriksaan Hume. Juga Feuerbach menghendaki yang nyata, tetapi dia tiada
menganggap pekerjaan manusia itu sebagai yang nyata, yang sebenarnya,
Wirklichkeit, Sinlichkeit. Sebab itu Feuerbach dalam bukunya bernama: “Das
Wesen das Christentums” cuma “Theoritisch Verhalten”, perhubungan dalam teori
yang suci, yang rechtmenschliche, yang cocok drngan kemanusiaan. Sedangkan
praktek sehari-hari, pekerjaan atau kelakukan biasa, dia anggap seperti kotoran
Yahudi saja.
Buat
Marx tentulah pekerjaan, kelakuan, perbuatan sehari-hari yang berhubungan
dengan percaharian hidup itulah yang nyata, yang sebenarnya. Bukan yang
diimpikan dalam buku atau teori saja. Kotor atau bersihnya pekerjaan atau
kelakuan Yahudi misalnya, tergantung pada penjuru pemandangan. Juga tergantung
pada keadaan hidup.
Sebab
Feuerbach tiada memandang pekerjaan manusia itu sebagai yang sebenarnya, maka
ia tinggal memimpikan manusia yang suci, yang tercerai dari masyarakat, satu
Resi. Sedangkan Marx menganggap yang ada itu, pekerjaan manusia itu sebagai
yang sebenarnya, menuntut revolusi masyarakat dan ekonomi sebagai satu
perjanjian buat manusia baru.
Begitulah
kira-kira makna thesis pertama itu, walaupun seluruhnya thesis itu sudah lebih
dari 20 tahun dalam “jembatan keledainya” peringatan, saya tiada mau menyalin
begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Salinan rapi satu persatu kata, dari
Jerman ke Inggris saja sudah begitu susah, dari Jerman ke bahasa Italia boleh
dbilang perkara mustahil, apalagi dari Jerman ke Indonesia, satu bahasa Timur.
Selain kesusahan salin-menyalin, juga kesusahan makna. Sepak terjangnya Marx
menulis, tentulah sepadan dengan sepak terjangnya Pujangga Jerman dalam
lingkunagn kesusasteraan dan filsafat Jerman. Sebab itu saya ambil isinya saja
dengan tambahan disana-sini buat penjelasan. Perkara yang tak berhubungan
dengan masyarkat kita dan ketenagaan panjang yang susah dimengerti, saya
singkirkan saja. Dan saya kira arti yang tepat tiada saya lupakan.
Thesis
ke-2 mempersoalkan apakah dalam berpikir ada termasuk gestandlichtkeit, yang
nayta kebendaan, menurut kata Marx, yakni, bukanlah persoalan teori, bahwa
melainkan persoalan praktek. Cuma dalam praktek, nyata atau tak nyata orang
tahu manusia itu berpikir. Maksudnya Marx sudah tentu pikiran yang membawa
aksi, membawa kekuasaan seperti pikiran revolusioner (atau pikiran yang
berhasil membawa perubahan masyarakat seperti pikiran Edison dll) bukan impian
satu Resi.
Bagian
akhir dari Thesis ke-3 juga berarti: Mengubah masyarakat dan Fatigketi itu,
yang hanya boleh diartikan dengan aksi revolusioner, pekerjaan pemberontakan.
Persoalan
apakah manusia berpikir itu ada atau tidaknya Gegenstandlichkeit, kebendaan
kata Marx seterusnya, adalah hasil yang semata-mata scholastic (cara berpikir
Zaman Tengah yang selalu dihubungkan dengan agama Christen). Kita masih ingat,
pada bagian bermula pada buku ini. disana pikiran itu berasal dari Rohani dan
Jasmani, Dewa Rah yang kosong itu dengan firmannya Ptah bisa menimbulkan Bumi,
Bintang, kodok ular, ya apa saja benda, Gegenstandlichkeit, di alam kita ini.
Filsafat Christen pada Zaman Tengah yang mengasalkan pikiran manusia itu pada
Rohani, Logosnya Plato, tentulah pula terganggu oleh persoalan: Adakah pikiran
manusia itu mengandung zat atau benda pula?
Pada
Thesis ke-5 kekurangan Feuerbach dikemukakan lagi. Bunyinya Thesis ini:
Feuerbach yang tiada puas dengan berpikir terpisah “abstract denken” lari
kepada yang nyata, tetapi dia tiada mengganggap perbuatan pekerjaan manusia itu
sebagai perbuatan yang praktis dan nyata sebagai “Practisch critische
Fatigkeit”.
Thesis
ke-7 menerangkan bahwa: Kehidupan itu sebetulnya praktis berdasarkan pekerjaan
manusia, nyata. Semua kegaiban tentang kehidupan itu, bisa dilemparkan
kegaibannya kalau praktek hidup sehari-hari dipelajari. (Pendeknya tak ada yang
gaib). Semua berasal dan berurat pada penghidupan mencari makanan, minum dan
kesenangan. Kegaiban yang terdapat ialah bikinan Logika Mystika belaka.
Thesis
ke-9 berarti : Materialisme kolot termasuk Materialisme Feuerbach, yakni
materialisime yang tak mengakui perbuatan manusia itu sebagai yang nyata,
berpuncak pada pemandangan seorang individu, pada masyarkat borjuis
(Pemandangan semacam ini seperti pemandangan idealis Hume juga abstrak,
terpisah dari masyarakat).
Pada
Thesis ke-10 Marx mengambil kesimpulan yang penting. Menurut Marx maka
Materialisme kolot itu ialah pemandangan borjuis yang individualistis, terpisah
dari masyarakatnya. Sedangkan pemandangan Materialisme Baru berdasarkan
masyarakat, berdasarkan seseorang dalam masyarakatnya bersama, kolektif.
Akhirnya
pada Thesis ke-11 pada Thesis penghabisan, seperti biasa ia menutup karangannya
dengan seruan gegap gempita, tidak saja lagi sebagai pemikir, tetapi sebagai
pemimpin Proletar Dunia: “Ahli Filsafat sudah menterjemahkan Dunia ini
berlainan satu dengan lainnya. Yang terpenting ialah mengubah dunia ini”.
Jadi
sebagai Thesis penutup Marx kembali lagi pada perbuatan Fatigkeit. Begitulah
pentingnya perbuatan manusia itu sebagai benda dianggap oleh Marx, sehingga 8
Thesis diantara 11 Thesis yang kita bicarakan diatas langsung berhubungan
dengan perbuatan itu. Tiga Thesis sisanya dan sebagian dari beberapa Thesis
yang saya majukan diatas, tiadalah langsung berhubungan. Sebab itulah diatas
tiada pula kita uraikan maknanya.
Kembali
kepada perkara kena-mengenanya perkara perlantunan benda dan paham, maka
dibawah ini saya coba memberi diagram, gambaran tentang perlantunan itu:
DIAGRAM
- Tata Kodrat Jiwa
..............................................................b) Idamanan
Paham.
Perbuatan.
- Sifat Bumi dan
Iklim.
- Bentuk Pesawat.
- Keadaan Ekonomi.
- Keadaan Politik.
KETERANGAN
:
4
Perkara dibawah (1,2,3,4) yang dianggap benda menjadi dasar. Dua perkara (a dan
b) menjadi Gedung pikiran. Yang 4 dibawah membayang ke atas, ke pikiran lihat
panah ke 1. Pikiran melantun mengenai mengubah dasar dengan Perbuatan. Lihat
panah ke 2. Perbuatan ditaruh diantara Benda dan Pikiran, sebab memang
perbuatan yang berhasil mesti berpadu dengan pikiran berhasil pula. Jadi
perbuatanlah yang mempertalikan benda dasar dengan pikiran, yakni pada tingkat
ke 2.
Pasal
5. PELANTUNAN
(MASYARAKAT DAN PAHAM).
Satu
anak menjatuhkan bola dari tangannya ke tanah. Bola naik kembali memukul
tangannya. Inilah yang saya maksudkan dengan “melantun”, Si anak memukul bola
yang melantun tadi dengan telapak tangannya. Makin keras dia memukul, makin
kuat perlantunannya.
Begitulah kira-kira kena-mengenanya benda masyarakat dengan pikiran manusia
menurut Dialektika Materialisme.
Kedasar
laut dekat Merqui, menjelang Rangoon, saya jatuhkan beberapa buku peringatan
saya, di dalamnya bermacam-macam catatan dari buku berdasarkan Dialektika dan
Science. Catatan itu mau saya pakai buat “misal” dalam buku seperti yang saya
tulis sekarang. Dalam buku itu mesti banyak misal yang saya boleh pakai
berhubung dengan pasal seperti diatas. Tetapi yang sudah hilang semacam itu
tentulah tiada berguna disesali lagi. Apalagi kalau nyata kehilangan itu
dibayar dengan keselamatan diri saya. Seperti sudah saya bilang pemeriksaan
douane Rangoon teliti sekali.
Catatan yang dikumpulkan bertahun-tahun dari pelbagai macam buku, majalah dan
surat kabar, tentulah tiada bisa dikumpulkan kembali dengan segera. Tetapi
walaupun ada hak buat membaca kembali, pekerjaan itu tiada bisa dilakukan
sekarang sebab memangnya bermacam-macam buku itu tak ada dan selama perang ini
mustahil bisa diadakan. Kalau besokpun perang selesai, tak juga bisa diadakan
lebih kurang dari 6 bulan, kalau uang ada pula.
Buat
penglaksanaan pasal diatas, saya terpaksa pakai cuma tiga catatan, yang saya
anggap cukup buat maksud ini. ketiganya cuma tersimpan dalam “jembatan keledai”
peringatan saya, sudah bertahun-tahun. Tiada heran kalau sedikit mendapat
perubahan. Bajapun berkarat kalau terlampau lama disimpan.
Pembaca
yang terhormat tentulah akan berbaik hati memberi peringatan kepada saya.
Dengan begitu kesalahan boleh dibetulkan pada cetakan kedua.
MISAL
PERTAMA :
Pada
Thesis ke 3 dari 11 Thesisnya Marx, yang sebagian sudah saya sebut dahulu, kita
bejumpa dengan perlantunan itu. Bagian itu kira-kira berarti, Ilmu
Materialisme, yang mengatakan bahwa seseorang itu ialah hasilnya dari suatu
masyarakat, dan orang lain hasilnya masyarakat lain pula, lupa bahwa masyarakat
itu hasil dari pekerjaan orang pula. Begitulah si pendidik dididik.
Bagaimana
tepatnya perlantunan itu digambarkan oleh thesis, yang belum dikoreksi oleh
Marx itu dan digali oleh Co-creatornya Frederich Engels. Mula-mula masyarakat
itu menghasilkan satu bentuk orang. Seseorang yang berfaham begini atau begitu,
berperasaan begini atau begitu, bertabiat begini atau begitu dan akhirnya
beridaman begini atau begitu. Akhirnya idaman itu, cita-cita itu menyala
berkobar begitu keras dalam hatinya sehingga bisa menggerakkan pesawat
kemauannya buat bekerja mengubah masyarakatnya. Dengan perbuatan revolusioner
itu timbullah pula masyarakat baru. Begitulah mula-mula masyarakat mendidik
orang tadi menjadi revolusioner dan akhirnya revolusioner tadi mendidik
masyarakat itu sendiri jadi masyarakat baru. Perlantunan itu sudah berlaku : Si
pendidik dididik pula.
Contoh
semacam ini tentulah dengan gampang bisa digali dari sejarah Dunia, terutama
sejarah Inggris, Perancis dan Rusia. Tetapi tak ada salahnya kalau kita
meninjau kemasyarakat mereka, yang dimata kita sekarang sangat turun
derajatnya. Tiada sifat kita, cuma mengemukakan yang busuk saja.
Berabad-abad
Lautan Utara yang dahsyat itu mengancam penduduk Tanah-rendah, rendah dari pada
lautan Nederland. Berapa korban yang mesti diberi buat menduduki tanah
berbahaya, tetapi subur itu. Demikianlah Sang Samudra mendidik Belanda menjadi
pelayar, penangkap ikan dan akhirnya penjajah yang berani, tabah, dan insinyur
air yang tak ada bandingannya di dunia. Setelah Belanda terdiri, maka
kepintarannya dipakai buat menguasai lautan itu. Mereka tiada senang dengan dijknya,
parti-lautnya saja dan tanah subur yang dilindungi dijk yang kukuh itu,
melainkan dia dengan Ilmu Airnya yang tinggi mengeringkan laut Zuiderzee
menjadi Propinsi yang baru. Juga disini si pendidik dididik.
MISAL
KEDUA (MARX)
Kodrat
menghasilkan pesawat itu mempertinggi kekuasaan manusia atas Alam kita ini. Ini
membikin perhubungan baru antara manusia dan Alam. Pada zaman Julius Caesar
orang Inggris bertabiat lain dari pada orang Inggris zaman sekarang, zaman
Industri. Jadi tabiat manusia itu memang tiada tetap.
Beginilah
salah satu catatan dari Karl Marx dalam buku Plechanoff: Fundamentals of
Marxism. Tak usahlah kita pergi ke negeri Inggris buat memeriksa arti yang
lebih dalam dari kalimat diatas. Memang bangsa Inggris pada zaman Caesar tiada
aktif seperti zaman Industri ini. Mereka tiada memandang Alam itu sebagai benda
yang bisa dirubah, melainkan sebagai benda yang mesti dijunjung, disembah saja.
Marilah kita ambil misal dari bangsa yang dekat pada Bangsa Indonesia ini:
Ialah Bangsa Jepang.
Belum
selang berapa lama bangsa Jepang cuma tunggu saja apa kemauan Alamnya. Gempa
bumi yang disana maha dahsyat itu memang datang semau-maunya saja, tak bisa
diketahui oleh Jepang Zaman kolot. Selain dari berpangku tangan menunggu
datangnya Sang Gempa, berterima kasih pada Yang Mahakuasa, kalau korban harta
dan jiwa tiada lebih banyak dari yang dideritanya. Selain dari pada berserah
itu Jepang Kolot tiada bisa berlaku! Tetapi industri yang pesat majunya dan
berhubungan dengan ini ilmu Bukti dan Pesawat yang pesat pula mengembangnya,
mengubah tabiat bangsa Jepang dari orang penunggu berpangku tangan “menjadi
manusia” menyingsingkan lengan baju, bersiap sebelum hujan. Sekarang rumah dan
gedung didirikan menurut pesawat dan ilmu baru, dan datangnya gempa itu bisa
diketahui dengan perkakas gempa. Disini juga nyata pesawat itu mempertinggi
kekuasaan bangsa Jepang atas Alam itu. Juga nyata pesawat itu mengubah sifat
passief, penerima, menjadi aktif, penyerang.
Gempa
pada tingkat bermula mendidik orang Jepang menjadi ahli gempa. Pada tingkat
kedua daerahnya gempa itu oleh ahli gempa dijadikan daerah, dimasa sang gempa,
walaupun belum lagi terbasmi, tetapi sudah berkurang, terkendali. Perlantunan
juga berlaku di Jepang. Pada negeri yang dahulunya damai, penerima dengan senyum
seperti senyumnya bunga Chrisantium, bangsa Sakura.
MISAL
KETIGA (MARX).
Manusia
itu dengan berlaku atas Alam diluar dirinya sendiri menukar Alam itu dan
akhirnya menukar dirinya sendiri. Dalam beberapa ratus tahun dibelakang ini,
penduduk Jawa tak perduli atas pimpinan bangsa lain atau tidak! Sudah menukar
Jawa berhutan rimba lebat, menjadi “Kebun Asia”.
Dahulu
Indonesia Jawa terkenal sebagai perantau, pemindah pelajar dan pedagang sampai
ke benua Afrika dan Amerika Tengah. Sekarang itu ternama sebagai penduduk
“honkvst blijft zitten in zijn dessa”, melekat pada desanya, sesudah bermacam
tipuan halus atau kasar dijalankan, baru dia tinggalkan desanya buat pergi ke
“Seberang”, sedangkan dahulu kala seberang ini dianggap tak berapa jauh dari
dapurnya, sekarang Seberang itu berupa Negeri entah-berentah, entah dimana
letaknya dan entah berapa jauhnya dari desanya.
Tiada
mengherankan, pada Zaman dahulu dia meninggalkan desa juga, terutama juga sebab
tiada jauh dari desa itu ada rawa yang selalu mengancam dia dengan penyakit
demam kura atau hutan rimba yang penuh ular dan macan yang berbahaya kalau
dilalui, laut Jawa yang boleh dibilang tenang dan penuh ikannya, melambaikan
ombaknya putih-putih memanggil dia, mengombak mengayunkan dia ke pantai pulau
lain di Indonesia dimana penghidupan sebagai petani, penangkap ikan atau
pedagang cukup memadai. Pulang balik dari pantai ke pantai menjadikan dia
pelajar yang berani, cakap dan cinta pada ombak dan hawa laut. Dengan
berangsur-angsur ia menyeberangi kedua Samudera Besar di dunia ini, dan
seberang-menyeberang itu menjadi kebiasaan yang tiada bisa lagi diceraikan
dengan impian, idaman serta pemandangan dunianya.
Tetapi
rawa, hutan dan rimba beberapa abad di belakang ini sudah bertukar menjadi
sawah, ladang dan kebun. Pohon sawoh yang lebat buahnya, pohon manggis yang
rindang itu disudut rumahnya, sawah dengan padi yang menghidupkan
pengharapannya dan akan bininya, bunyi gamelan yang menghentikan lelahnya,
semuanya ini mengikat hati dan pikirannya pada desanya. Walaupun desanya sudah
sesak padat, tanah dan terkanya tak mencukupi lagi, dan kebun yang besar-besar
bukan kepunyaan dia serta tindakan dan isapan merajalela, tetapi hatinya masih
terikat oleh desanya.
Perubahan
hutan rimba menjadi sawah, kebun tadi, menukar penduduk Jawa umumnya dari
perantau menjadi pelekat desa. Tetapi perlantunan Dialektika masih berlaku dan
syukurlah akan terus berlaku. Sekarang sudah kelihatan akibatnya.
Dengan
semuanya sendiri atau tidak, pada beberapa puluh tahun di belakang ratusan ribu
Indonesia Jawa terpaksa meninggalkan desanya buat pergi ke seberang. Di
Seberang terutama Sumatera mereka sekarang banyak jadi tani makmur, yang lebih
sehat dan pintar dari kawan sejawatnya di desa Jawa. Di jalan dari Medan sampai
ke Lampung saya bertemu dengan mereka, yang sekarang “honkvast” terletak pula
pada sawah ladang, rumah dan kebunnya yang baru, lebih besar dan lebih berhsil
dari di Jawa. Banyak diantara mereka kalau “pulang” ke Jawa, lekas pulang
kembali ke Sumatera, karena tiada senang lagi pada desanya dulu. Banyak pula
yang balik “pulang” ke Seberang itu, walaupun dengan perahu layar saja. Kalau
tiada begitu susah seperti sekarang di bawah pemerintah Balatentara Jepang ini
dia akan membawa teman baru ke “Seberang” itu.
Desakan
penduduk di Jawa, yang bertambah dengan 500.000 setahun, pada hari depan akan
menjadi persoalan; pindah ke Seberang itu, satu persoalan yang hangat dan
penting sekali. Pemindahan itu kelak akan menukar semangat “melekat pada desa
itu” jadi perantau seperti penduduk Jawa sebelum Zaman Hindu, atau Minangkabau
dan Bugis Sekarang.
Kita
lihat pada perlantunan yang kedua. Jawa sebagai Kebun Asia menyebabkan penduduk
sesak. Penghidupan bertambah susah dan pemindahan (walaupun diadakan
industralisasi) menjadi persoalan penting dan hangat. Pemindahan akan
berangsur-angsur mengubah sifat “pelekat” ke desa itu menjadi “perantau”
mula-mula ke Seberang, kemudian siapa tahu ke seluruh pelosok dunia, seperti
pada Zaman Besar Bangsa Indonesia Asli ialah zaman sebelum Hindu. Juga disini
penduduk Jawa menukar sifat Alamnya dengan begitu menukar tabiatnya sendiri.
Marx
tiada perlu menukar lain lagi. Tiga simpulan diatas saja sudah lebih dari cukup
buat menggambarkan perlantunan antar Benda dan Pikiran dalam Dialektika Materialistis
itu. Perlantunan antara Benda masyarakat dengan pikiran atau paham manusia
adalah terang sekali. Tidak saja benda masyarakat jadi alat adanya pikiran itu,
tetapi sebaliknya kelak Pikiran atau paham manusia dalam masyarkat itu melantun
jadi alat adanya Masyarakat Baru.Tuduhan bahwa dalam Marxisme, pikiran itu
semata-mata mekanis menerima saja seperti mesin jalan kalau ada kodrat dan
berhenti kalau kodrat (uap atau listerik) itu berhenti, tuduhan semacam itu tak
beralasan sama sekali.
Saya
pikir perkataan kita perlantunan cukup jitu buat menggambarkan kena-mengenanya
Benda dan Pikiran dalam masyarakat itu. “Tanah” dalam misal kita diatas,
tiadalah menerima saja bola yang dijatuhkan atau dipukulkan si anak. Melainkan
ia melantunkan bola itu kembali, makin kuat datangnya bola, makin deras
lantunnya. Begitulah pikiran tadi tiada berhenti, berpangku tangan saja,
menerima bayangan masyarkat, seperti cermin menerima bayangan benda, melainkan
melantun mengubah masyarakat itu sendiri.
Pasal
6. BENDA (MASYARAKAT) MENGENAI PIKIRAN.
Misal
dari pasal ini banyak sekali. Di dalam penghasilan otaknya Karl Marx yang
terutama, yang tetap akan jadi tanda peringatan dalam sejarahnya para ahli
pikir dunia , ialah “DAS KAPITAL”, penuh contoh, dimana benda masyarakat itu
menjadi alat adanya dan terus adanya pikiran itu. Banyak sekali contoh yang
saya kumpulan dalam buku peringatan yang dicemplungkan ke laut dengan Merqui
itu. Tetapi beberapa misal di bawah ini sudah cukup buat penglaksanaan itu.
Dalam
pasal Filsafat sudah saya uraikan, bahwa buat Hegel, Absolute Idee, Rohani
itulah yang “membikin” sejarah masyarakat manusia. Sedangkan buat Marx
pertarungan klas dalam masyarakat itulah yang memajukan masyarakat itu dari
tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Demikianlah sejarah menyaksikan perubahan
masyarakat perbudakan (Yunani, Romawi) berubah, bertukar menjadi masyarakat
Feodalisme keningratan (Eropa pada Zaman Tengah dan Majapahit). Zaman
Feodalisme itu berubah, bertukar pula menjadi Zaman Kapitalisme, Kemodalan yang
masih umum sekarang. Sedangkan akhirnya Zaman setengah Feodal dan setengah
Kapitalisme itu di Rusia pada tahun 1917 berubah, bertukar menjadi Zaman
Sosialisme, berdasarkan Kolektivisme tolong-bertolong ..............sampai ke
zaman Komunisme.
Bermula
pada Zaman perbudakan, kaum budak itulah yang bekerja buat mengadakan hasil
Negara. Budak itu dianggap seperti benda mati atau sebagai Hewan dipunyai
manusia lain. Seperti barang yang dipunyai boleh pula dibeli atau dijual.
Kaum
serve pada Zaman Feodal, tiadalah manusia yang boleh dijual atau dibeli lagi.
Tetapi mereka terikat pada tuan Lord, Ningrat, tuan Tanah. Mereka bekerja buat
Tuan Tanah itu. Selebih dari hasil yang perlu buat dipakainya dengan anak
isterinya, mesti dipulangkan pada Tuan Tanah. Serves tadi tinggal di desa dan
gandengannya journey-men tinggal di kota. Journey-men ini terikat pada
guildmaster, kepada dari kumpulan tukang yang mempunyai Undang yang keras dan
kaum buruh pada Zaman kapitalisme kita ini tiadalah boleh dijual atau dibeli
seperti budak. juga tiada terikat pada tanah atau kumpulan tukang seumur
hidupnya. Mereka diakui merdeka oleh Undang-undang Negara. Mereka merdeka
menjual atau tak mau menjual tenaganya buat mencari penghidupannya dan anak
bininya. Tetapi sebab dia tiada berpunya, tak mempunyai perkakas, tanah atau
modal sendiri, buat bekerja jadi tuan sendiri, dia terpaksa menjual tenaganya
pada mereka kaum modal, yang mempunyai perkakas, mesin atau modal. Atau pada
Tuan Tanah yang mempunyai tanah. Sebab persaingan mencari kerja dari pada kaum
tak berpunya keras sekali, harga tenaganya amat rendah sekali. Tetapi buat
hidup mereka mesti terima berapapun rendahnya harga tenaganya itu. Disini
mereka bekerja, kuatnya menurut kemauan kapitalis dan lamanya menurut kemauan
Kapitalis juga. Dari hari kesehari mereka menghasilkan dari harga tenaganya,
dari gaji yang diterimanya dari kapitalis, Nilai Lebih (Merhrwert : Karl Marx).
Itu semua masuk ke dalam kantong kapitalis, yang sehari kesehari bertambah kaya
dan bertambah kuasa.
Pada
Zaman Pekerja, zaman kolektivis, tenaganya tidak merdeka lagi buat dijual
belikan. Tenaganya sudah dikumpulkan menjadi Tenaga Negara yakni Negara Kaum
Pekerja. Begitu juga perkakas, menghasilkan seperti tanah, logam bahan pabrik,
bengkel, kereta, kapal laut, kapal udara, gudang dll, tiada lagi kepunyaan
seseorang atau kepunyaan satu klas, melainkan sudah kepunyaan Negara. Tenaga
buat Negara itu menggerakkan perkakas Negara buat mendapatkan hasil untuk
Negara, ialah Negara Pekerja.
Pada zaman Perbudakan, pertarungan itu terjadi antara Budak dan Tuan. Peraturan
ini sengit sekali pada masyarakat Rumawi. Pada zaman Feodalisme, pertarungan
itu berlaku antara Budak serves melawan Ningrat dan Raja dan Journeymen melawan
Guild-master disampingnya. Pertarungan itu berpuncak pada Revolusi Inggris,
pada pertengahan abad ke XVII dan pada Revolusi Besar di Perancis pada hampir
penghabisan abad ke XVIII. Akhirnya pada Zaman Kemodalan kita ini, pertarungan
antara Proletar dan Kapitalis itu berlaku di Rusia pada tahun 1917, ialah permulaan
abad ke XX.
Walaupun
semua macam pertarungan tadi bersifat pertarungan klas juga, tetapi sebab sifat
klas di dalam masyarakat tadi berubah bertukar, maka berubah bertukarlah pula
sifatnya pertarungan itu. Dengan bertukarnya masyarakat, bertukarlah pula klasnya,
dan dengan begitu bertukarlah pula lakonnya pertarungan klas itu dalam sejarah
masyarakat itu. Pertarungan Budak menentang Tuan pada Zaman masyarakat Romawi,
bertukar pertarungan Serves dan Journeymen menentang Tuan Tanah serta Raja dan
Tuan perkumpulan Tukang dan pada Zaman Tengah. Pertarungan terakhir ini
bertukar menjdi pertarungan Proletar menentang Kapitalis pada Zaman Kemodalan
ini.
Apakah
perkara atau benda yang bertukar sifat masyarakat klas dan akhirnya menukar
sifat pertarungan klas itu ?
Kata
Marx: “Orang itu memasuki sesuatu penghasilan sosial, yakni masyarakat
berdasarkan perhubungan yang tentu. Perhubungan ini ditentukan, yakni tiada
bergantung pada kemauannya sendiri, oleh perhubungan menghasilkan. Jumlah semua
perhubungan menghasilkan inilah yang menjadi susunan Ekonomi. Diatas susunan
Ekonomi inilah berdirinya Politik dan Undang Negara (salinan bebas oleh
penulis).
Jadi
orang yang lahir dan memasuki masyarakat perbudakan tadi memasuki perhubungan
yang ada pada masyarakat semacam itu: ialah perhubungan Budak dan Tuan.
Tiadalah bisa dia keluar dari perhubungan semacam itu. Begitu pula kalau ia
memasuki masyarakat Feodalisme, perhubungan mesti terikat pada perhubungan
Feodalisme tadi. Lahir dalam masyarakat Kapitalisme, ialah : Buruh dan
Kapitalis, yang Berpunya dan Tak Berpunya. Akhirnya kalau dia memasuki Zaman
Komunisme, maka perhubungannya ialah perhubungan yang ada dalam masyarakat
semacam itu pula: Perhubungan satu Pekerja dengan teman sejawatnya Pekerja
pula.
Perhubungan
dalam masing-masing jenis masyarakat tadi pasti, tetapi tiada ditentukan oleh
kemauannya sendiri, melainkan bergantung kepada cara menghasilkan yang umum
dalam masyarakat ini: pada tenaga Budak di Zaman Perbudakan, pada tenaga Serves
dengan perkakasnya di zaman Feodalisme atau pada tenaga Buruh dan mesin tuannya
pada Zaman Kemodalan.
Perhubungan
satu klas dengan klas lainnya, satu golongan dengan golongan lainnya dalam
pekerjaan menghasilkan; itulah yang menjadi Susunan Ekonomi. Jadi Susunan
Ekonomi dalam Zaman Perbudakan ialah perhubungan Budak dan Tuannya dalam hal
menghasilkan. Perhubungan Kaum Buruh dan Kaum Bermodal dalam hal menghasilkan
yang menjadi Susunan Ekonomi pada Zaman Kapitalisme ini.
Akhirnya
menurut catatan di atas tadi, juga Susunan Ekonomi itulah pula yang menjadi
dasar dari Undang dan Politik Negara. Pada Zaman Feodalisme, Susunan Ekonomi
dalam Negara Feodalistis itulah yang menjadi benda dasar Undang dan Politik
dalam Negara Feodalis itu. Sedangkan dalam dunia Kemodalan sekarang, Susunan
Ekonomi ialah perhubungan Buruh dan Kapitalis dalam hal menghasilkan itulah
pula yang jadi dasar dari Undang dan Politik dalam Negara Kapitalistis itu.
Hal
ini juga dikeraskan oleh Marx dengan kalimat lain pada tempat lain. Dua kalimat
yang masyhur dalam kalangan Dialektika berbunyi: Susunan Ekonomi menimbulkan
Susunan Undang dan Politik, serta Susunan Undang dan Politik berpengaruh pasti
pada Tata Kodrat Jiwa Manusia sebagai Mahluk Masyarakat.
“Di
atas berjenis-jenis bentuknya harta (properties) atas kehidupan dalam
masyarakat, didirikan superstructure (gedung) impian, cita-cita kebiasaan
berpikir, perasaan dan pemandangan dunia”.
Demikianlah
manusia lahir dan dapat didikan dalam masyarakat, yang berdasarkan atas susunan
ekonomi Feodalistis itu tiada luput dari semangat Undang dan Politik Feodalisme
itu. Dan mereka yang lahir dan dapat didikan dalam masyarakat yang berdasar
Kapitalistis ini, tiada luput pula dari semangat Undang, Politik dan Kebudayaan
kapitalistis itu.
Thesis
berada di hadapan Anti Thesis. Undang dan Politiknya Tuan dalam Zaman
Perbudakan itu, jadi alat adanya Undang dan Politik kaum Budak. Spartacus,
keluarga Crachus dan Catalina membadani Politik anti-Tuan Tanah membela kaum
Budak dan Tak Berpunya pada zaman Romawi.
Pertentangan
klas dalam Zaman Feodalisme, akhirnya menimbulkan pertarungan klas yang dahsyat
antara Borjuis Revolusioner (Madame Roland, Vrgnaud dan Brissot) pada satu
pihak dan Kaum Ningrat dikepalai oleh Rajanya pada pihak lain. Akhirnya
pertarungan klas, antara kaum Proletar di bawah piminan Lenin dan Partai
Bosjewiki dengan kaum Borjuis di bawah Pimpinan Prof. Miljukoff dengan Partai
Liberalnya dibantu oleh Karensky dengan Partai Sosialisnya.
Teranglah
sudah, bahwa Sejarah manusia itu tiada kebetulan saja. Sembarangan,
semau-maunya saja, tuval atau accident saja. Juga tiada semaunya Kodrat diluar
Undangnya Masyarakat sendiri. Seperti kemauan yang Maha Kuasa, Rohani, Sejarah
Manusia itu berjalan menurut Undang Masyarakat sendiri.
Nyatalah
sudah Sejarah mansuia itu melalui garis merahnya pertarungan klas, dari satu
tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Dari tingkat Masyarakat Perbudakan ke
Masyarakat Feodalisme, dari sini ke Masyarakat Kapitalis dan dari sini naik ke
tingkat Masyarakat Pekerja. Dalam sejarahlah mulanya berlaku Thesis, anti-Thesis
dan Synthesis.
Teranglah
pula bahwa pertentangan dalam Susunan Ekonomi itu, membayang pada pikiran kedua
golongan yang bertentangan dalam masyarakat itu. Pada satu pihak Kaum Berpunya
dan Berkuasa yang berpemandangan dan berpolitik, mau mempertahankan Undang dan
Tata Negara yang cocok dengan keamanan Harta dan Kekuasannya. Pada pihak lain
Kaum Tak Berpunya dan Tertindas yang berpemandangan, beridaman dan bercita-cita
Perlawanan dengan Undang dan Politik yang ada. Akhirnya kalau Kaum Revolusioner
cukup sadar, tersusun, cukup sifat dan banyak kaumnya, cukup besar pengaruhnya
dan cakap pimpinannya, menanglah dia dalam pertarungan.
Jadi
manusialah yang membikin sejarah. Tetapi seperti kata Marx pula, bukan seperti
semuanya sendiri, melainkan menurut alat yang dia peroleh dalam masyarakatnya.
Kemauan Napoleon tiada bisa melewati batas yang ditentukan oleh kaum hartawan
yang muda dan kaum tani yang cerai-berai itu. Kemauan Lenin tiada bisa
melampaui daerah yang ditentukan oleh industri dan kemesinan Rusia yang muda
remaja itu. Akhirnya kemauan Stalin, Baja, tiada bisa mengabaikan sisa borjuis
besar dan kecil di Rusia sendiri dan Imperialisme Besar dan Kecil di luar
Rusia.
Barang
siapa percaya, bahwa seseorang yang berapapun keras kemauannya dengan
pengikutnya bisa menimbulkan Masyarakat Baru, yang melebihi dari pada alat
seperti pesawat, kebudayaan dll yang dipusakakan oleh masyarakat itu, maka yang
percaya semacam itu sudah meninggalkan Dunia Bukti dan memasuki Dunia Mimpi:
Utopist.
Pasal
7. BAYANGAN MASYARAKAT.
Bagian
1. Sebagai pemandangan dunia : Weltanschauung.
“Bumi
terletak diatas ikan. Ikan terletak diatas telur. Telur terletak dipuncak
tanduk kerbau. Kadang-kadang lalat menggigit kerbau, maka bergoyanglah kerbau
tadi. Karena ia bergoyang, maka bergoyanglah pula telur diujung tanduk kerbau
tadi. Dengan begitu goyanglah pula ikan. Dan akhirnya goyang ikan tadi
menyebabkan bumi kita kadang-kadang bergoyang, gempa bumi”.
Beginilah
seluk-beluknya Bumi dan Gempa menurut Pandangan Dunia terbikin di Minangkabau.
Memang kerbau lebih-lebih di zaman dahulu di Minangkabau penting buat
segala-galanya. Bukan saja kodratnya dipakai buat membajak sawah atau menarik
pedati, tetapi dari puncak tanduknya sampai ke ampas yang dibuangkannya itu,
dipakai sama sekali. Nama “Alam Minangkabau” boleh jadi atau bukan diambil dari
kemenangan kerbaunya orang Sumatera Tengah, atas kerbaunya orang dari Jawa
Timur, tetapi tiada mustahil jago-jago dari Majapahit dan kuat kebal dari
Minangkabau sudah lelah berperang, buntu. Kemudian putusan diserahkan pada
cerdik pandai kedua belah pihak! Boleh jadi pula Raden Panji dan Raja dari
Majapahit dan Datuk-datuk Gadang bertuah dari Minangkabau, setuju masing-masing
akan takluk pada hasilnya peraduan dua ekor kerbau. Selainnya dari pada itu
dalam cerita Minangkabau yang paling dicintai ialah “Cindur Mata”, kerbau
bernama si Benuang mengambil bagian yang besar sekali dalam sebuah pertempuran.
Begitu
pentingnya kerbau itu dalam penghidupan orang Minangkabau, lebih-lebih pada
masa dahulu. Penting bagi makanan, penting bagi perkakas mencari penghidupan
dan penting dalam bahaya, sehingga kerbau itu dapat tempat yang penting sekali
dalam segala-gala persoalan yag timbul dipikirannya. Tiada heran kalau sumbe dari
penghidupannya itu dia anggap sebagai Maha Kodrat, yang menahan dan
menggoyangkan bumi kita ini.
Kalau
kita pergi ke dusunnya ipar kita yang menduduki pulau Irian (Papua dulu!) itu,
kita juga akan berjumpakan hal semacam itu. Pokok enau itu penting buat
segala-gala buat mereka. Tak ada yang terbuang. Lagi pula sangat memudahkan
hidup Indonesia Irian. Sesudah 5-7 tahun pokok itu sudah memberi hasil, yang
boleh dipakai buat makanan, rumah, perkakas, atau senjata. Jadi kalau seseorang
mempunyai cuma 5-7 batang enau dari umur 1 sampai 7 tahun, bereslah hidup orang
itu. Satu tahun ditebang satu, dan ditanam satu buat gantinya. Satu pokok itu
bisa memberi makan buat satu tahun. Ijuknya buat atap rumah, rujungnya boleh
dipakai buat lantai dinding atau tembok penangkap ikan atau binatang hutan.
Menanam satu pokok yang tak perlu dilayani lagi itu bukanlah pekerjaan yang
memeras tenaga dan otak. Begitu faedahnya pokok enau itu buat Indonesia Irian,
sehingga pohon ini juga menjadi pokok dalam persoalan dunia dan akhirat dalam
“Weltanschauung”, pemandangan hidupnya Ipar Raksasa kita di Pulau Raksasa itu.
Dalam filsafat yang terlampau digembar-gemborkan, ialah filsafat Hindu, dalam
Mahabarata, Upanishad dan Ramayana itu, maka kita saksikan pula, bahwa isinya
Kitab Suci Hindustan itu, tak lain dan dari bayangan masyarakat mereka juga.
Menurut filsafat Hindu, maka Jiwa itu ialah satu barang yang terpisah sama
sekali dari badan. Kalau orang itu mati, maka jiwa itu berpindah
(Re-incarnation) kepada badan lain. Kalau dia hidup sebagai orang bijak, maka
jiwa itu pindah pada jasmani yang lebih baik, kalau dia hidup berdosa, maka
boleh jadi jiwanya turun ke tangga di bawah lagi. Kalau beruntung sekali ia
tiada kembali lagi ke dunia yang dianggap “busuk kotor” yang mesti ditinggalkan
ini. dengan jalan pertapaan, puasa dan menyiksa diri, jiwa yang sudah merdeka
dari kotor, sebab nafsunya yang kotor itu, bisa terus ke Nirwana. Paling malang
jiwa itu kembali ke dunia dalam badan hewan.
Bermula
sekali masyarakat Hindu sudah dibagi atas 4 kasta terbesar.
- Kasta Brahmana,
ialah kasta pendeta. Kasta ini kasta tertinggi. Dari kasta inilah jiwa
itu bisa melayang terus ke Nirwana Surga, lepas sama sekali dari dunia
ini. boleh juga jiwa Brahmana itu turun ke kasta lebih rendah.
- Satria, ialah
Kasta Raja dan Ningratnya. Jiwa dari kasta ini setelah orangnya mati,
bisa naik ke kasta Brahmana tetapi boleh juga turun ke kasta rendahan.
- Kasta Waisa,
yang terdiri dari golongan saudagar, magang, tukang atau tani.
- Kasta Sudra,
ialah kasta orang “jembel”, seperti penyamak kulit atau tukang sapu
jalan.
Keempat
kasta diatas tiada bisa campur satu sama lainnya, tiada boleh campur makan atau
tidur. Apalagi kawin. Kalau ada juga perkawinan, maka “turunan” semacam itu
masuk ke dalam kasta “paria”, untouchable, tak boleh dipegang kasta, kasta
najis katanya. Ini cuma 5 kasta terutama. Sebenarnya tiap-tiap kasta itu dibagi
lagi menurut pekerjaan masing-masing. Dalam kasta Waisa umpamanya ada lagi
kasta tukang menatu, tukang jahit. Kasta Brahma dan Satria terbagi-bagi pula
sampai sebetulnya l.k ada 3.000 kasta yang tiada boleh campur dan kawin satu
sama lainnya. Dasar pisahan segala kasta itu terutama pekerjaan, tetapi juga
atas kebangsaan. Kasta Brahmana itu terutama dari turunan Bangsa Aria, bangsa
yang digembar-gemborkan oleh Adolf Hitler.
Disini
nyata, bahwa keadaan masyarakat yang terdiri dari ribuan kasta yang terpisah
itu sama lainnya, itulah yang terbayang dalam filsafat Hindu itu. Pencarian
hidup cara mengadakan hasil, itulah terutama ahli yang jadi dasar buat Kasta
itu. Pencarian itu tetap pada sesuatu kasta. Umpamanya pekerjaan mencuci kain,
tetap pada kasta mencuci kain itu.
Seseorang
dari kasta menyapu jalan umpamanya kalau dia manut, menerima nasib, dia ada
harapan, sesudah mati naik pangkat. Dia akan kembali ke dunia fana ini, sebagai
anggota dari satu kasta yang lebih tinggi. Tetapi di dunia fana ini tak ada
harapan buat penyapu jalan tadi, buat bercampur gaul dengan seorang Satria atau
Brahmana, kecuali kalau puluh miliun anggota kasta Sudra dan Paria, kasta,
“najis” itu menyapu bersih semua kasta Satria dan Brahmana, menyapu bersih
Kapitalisme Hindustan itu. Ini tiadalah mustahil, karena 99 diantara 100 calon
suwarga dari kasta Brahmana itu hidupnya dengan membungakan uang, seperti kasta
Sayid di Indonesia ini juga. Kasta Satria berpuncak pada Raja atau Maha Raja,
alias perampok gadis itu, tiada lain melainkan Tuan Tanah penghisap tani
Hindustan, kaki tangannya Imperialisme Inggris.
Filsafat,
pemandangan Dunia Hindu tak lain dari bayangan dari masyarakat terkutuk yang
anggota pekerjaannya mesti dimanutkan masyarakat, dinina-bobokan, dicandul
dengan “janjian” sesudah mati bisa naik ke kasta lebih tinggi dan kembali ke
dunia ini, kalau tukang peras lembu itu terus memeras lembu, tukang cukur terus
mencukur, dsb,
Bagian
2. SEBAGAI IDAMAN.
Berburu
itu amat penting sekali buat bangsa Indian penduduk asli Amerika, sebelum
terdesak, terpukul, terampas, terbunuh oleh bangsa Eropa, yang meninggalkan
negerinya di Eropa, karena perasaan merdeka baik dalam Politik atau Agama.
Berburu itu mengambil tempoh, tenaga dan pikirannya bangsa Indian. Juga satu
pekerjaan yang menambah kekuatan dan menimbulkan minat yang baik. Berburu itu
menimbulkan perasaan kolektif, sosial, tolong-bertolong, gotong-royong, sebab
perburuan itu mesti dijalankan bersama-sama, bertoboh. Kekuatan badan dan
kekuatan moral masyarakat Indian, yang acap mengagumkan kita dan musuhnya;
lahirnya dari pekerjaan berburu itulah pula.
Dari
perburuan yang berhasil, orang Indian mendapat makanan dan pakaian dan rumah
dari kulitnya dsb. Tak heran kalau pekerjaan berburu itu menjerat pikiran dan
idaman sehari-hari. Dia terpaut pada lapangan negerinya dan pemburuannya. Maka
surga yang diidamkannya tak lain, melainkan keterusan dari lapang dan
pekerjaan yang berguna, sehat dan memberi kesukaan itu. Surga buat dia, ialah
padang yang penuh dengan bison yang besar dan gemuk.
Janganlah
tuan pembaca marah, tetapi periksalah surga yang tuan idamkan itu. Kalau tuan
seorang Kristen, bukankah surga tuan itu bayangan dari Zaman, bila agama tuan
lahir! Bukankah Tuhan dan Malaikat yang bertingkat-tingkat itu tergambar, pula
pada masyarakat masa itu: Raja dipuncaknya dan Ningrat dari bermacam-macam
pangkat di bawahnya.
Kalau tuan seorang Islam, bukanlah surga tuan juga bayangan dari masyarakat dan
Bumi Arab? Bukankah Air Zamzam dalam surga itu, barang yang luar biasa di gurun
pasir Benua Arab? Bukankah bidadari yang matanya seperti mata merpati itu
idaman Arab, dan Badui yang terutama. Sadarlah tuan dan jangan marah dan
dogmatis!
Pakailah
pikiran nuchter, jernih! Lihatlah sekitar tuan saja! Bukankah “feramfuan” suatu
barang yang nomer wahid buat tuan Said, turunan Nabi MUHAMMAD SAW? Begitu
penting ini barang, sampai ketika dua kali saya lalui dan singgah di Mesir,
kaum Ibu masih disimpan baik-baik diantara 4 batu tembok, tak boleh keluar.
Yang keluar mesti dikudungi betul-betul, tak boleh manusia lain, orang Islam
pun melihatnya.
Bagian
3. SEBAGAI IMPIAN.
“Made
in Java” (Catatan Raffles, menurut sumber yang dipercayai waktu itu dari
pelbagai pihak!). Menurut Jayabaya yang hidup pada kira-kira tahun 800, maka
hari depannya Tanah Jawa di nujumkan :
Tahun
Jawa
|
Tahun
Masehi
|
Ramalan
|
1738
|
1801
|
Pada
tahun ini Surakarta lenyap. Tempat kedudukan Pemerintah pindah ke Katanga.
Kota inipun kelak akan musnah, dan pemerintah berpindah ke Karang Baja pada
tahun jawa 1870 = Th. Masehi 1933 (Ini nujum gagal).
|
1877
|
1940
|
Pada
tahun ini kedudukan Pemerintah akan pindah ke Kediri kembali. Orang Eropa
datang (??) Sesudah menaklukan Jawa akan mendirikan Pemerintahan pada Th Jawa
1822 = Th Masehi 1945. (Nujum ini pun meleset).
|
1887
|
1950
|
Raja
Keling (? ?) mendengar penaklukan itu oleh orang Eropa, mengirimkan laskarnya
dan akan mengusir orang Eropa dari Jawa. Sesudah dikembalikan tanah Jawa pada
orang Jawa sendiri, Raja Keling akan kembali ke negerinya (Mana Raja Keling
itu ?)
|
1947
|
2010
|
Pemerintah
Jawa Nasional Baru pindah ke Karang Baja. Sebab inipun tempat yang malang,
pindah lagi ke Waringin Kuba (kuba) dekat gunung Ngamarta Laja. Ini terjadi
pada th 1947 (Semua nama sekarang tak ada)
|
2027
|
2090
|
Pada
tahun ini Tanah Jawa akan lenyap sama sekali
|
Semua
nujumnya sampai tahun 1942 gagal, meleset sama sekali. Tenungan Pak Belalang
belaka. Dari jempol mana Jayabaya isap lagi kejadian tahun 1947 dan 2027?
Tentu
ini juga tak akan terjadi : Jawa tak akan lenyap !
Jayabaya
hidup dalam masyarkat yang goyang dan Bumi yang goyang. Kerajaan pada masa itu
tak ada yang tetap dan peletusan gunung seperti sekarang, sering terjadi. Naik
turunnya sesuatu kerajaan dan peletusan gunung yang memisahkan Sumatera dan
Jawa, ialah menurut Babad jawa, memberi sedikit suluh pada pikiran jayabaya
yang selalu melayang-layang itu.
Seorang
geolog yang cerdaspun atau ahli politik yang pintar, tak berani menentukan
“tempo” yang pasti itu, buat sesuatu kejadian, tiap-tiap keadaan itu berseluk
beluk, kena mengena dan berubah dari hari ke minggu, dari minggu ke tahun. Tak
ada satu manusia bisa menujumkan kejadian bumi atau politik lebih dari tempoh
yang singkat sekali. Kalau bukti membenarkan sesuatu nujum itu, perkara ini
boleh dianggap “kebetulan”, accident, belaka.
Tetapi
sebagai impian, yakni bayangan yang liar dari masyarakat kita ini dan akibat
pengaruh Hindu yang tebal melekatnya (Ingat Raja Keling), contoh yang diatas
masyur dan masih dipercaya itu, tak ada salahnya kalau dikutip sepenuhnya.
Pasal
8. MASYARAKAT DAN SENI
Bagaimana
bergantungnya SENI pada MASYARAKAT itu, sekarang sudah lebih umum kita ketahui
di Indonesia ini dari pada beberapa tahun dahulu. Tiadalah SENI itu kita anggap
lagi suatu barang yang semata-mata hasil idaman, impian dan ketukangan seorang
ahli seni. Melainkan kita sudah insyaf, bahwa seni itu bayangan masyarakat.
Walaupun kadang-kadang jauh melebihi keadaan masyarakat itu sendiri
.
Disini juga ada perlantunan. Begitulah pula mestinya sifatnya seni tulen itu.
Masyarakat menggambarkan idaman dan cita-citanya seni. Seni yang lama-kelamaan
mempunyai undangnya sendiri pula seperti semua ideologi, paham lain-lainnya
mempunyai undang sendiri, juga seni itu mempengaruhi, sepatutnya memperbaiki
masyarakat itu kembali.
Masyarakat
Indonesia pada Zaman Purbakala pun sudah menimbulkan ahli arca, peulpture.
Tidak saja diatas Gunung Dieng, dipertemukan Kali Progo dan Elo, di Kediri,
Bali, Sumatera, Borneo, dan Semenanjung Tanah Malaka, kita bertemukan
bermacam-macam patung yang menggambarkan idaman dan cita-cita yang berdasarkan
Hinduisme dan Budhisme, tetapi lama sebelum itu bangsa Indonesia sejati dengan
kayu atau bambu, sudah bisa menggambarkan idaman masyarakatnya yang berdasarkan
Dynamisme dan Animisme. Sekejap kita memandang pada patung kayu atau bambu,
nenek moyang kita itu seperti sekarang sisanya di pulau Nias, di Batak atau
Toraja, kita sudah tahu bawa patung itu menggambarkan hantu yang murka, atau
semangat yang baik. Sang Hantu Murka mesti dibujuk, diumpan dengan makanan dan
disembah. Semangat yang baik itu mesti diperdekat, diminta pertolongannya
dengan kurban atau sembah.
Demikianlah
juga dari pagi sekali dalam sejarah dunia ini, idaman, pemandangan filsafat dan
cita-cita measyarakat kita ini, sudah dibayangkan pada syair dan pantun yang
berlainan kata dan susunannya dari pada pembicaraan biasa.
Tari
menaripun yang terutama sekali digemari oleh bangsa Indonesia purbakala di
seluruh kepulauan Indonesia dan Kamboja, seperti juga di Siam serta di Birma
tiada lain dari bayangan masyarakat purbakala itu.
Sekarang
di tengah bangsa Indonesia yang hidup dalam dunia kemodalan, perniagaan dan advertensi,
sudah timbul pula seni baru yang cocok dengan permintaan Kapitalisme. Pada
papan istimewa atau batu tembok di kota-kota besar, atau dekat stasiun, kita
melihat gambar yang menarik hati atau menggelikan. Pabrik Bata menggambarkan
sepatunya dengan niat supaya orang membelinya. Pabrik Listrik menggambarkan
kebaikan dan kecantikan barang-barangnya, begitu baik, kuat, cantik dan murah,
janganlah si pemakai kiranya membeli pada pabrik lain lagi. Pabrik Jintan
mengeluarkan gambarnya yang maksudnya buat memberi keyakinan pada pembeli,
bahwa tak ada didunia ini obat sakit perut yang lebih manjur dari Jintan itu.
Pada
beberapa contoh terakhir ini sudah lebih nyata lagi, bahwa tidak saja seni itu
berkenaan dengan masyarakat, tetapi juga nyata perhubungan seni itu dengan
pencarian hidup. “Art for Art”, seni itu cuma buat seni saja, bukan buat
mencari uang, susah kalau tidak mustahil didapat pada dunia himpit menghimpit,
sikut-menyikut dan tolak-menolak buat mencari makan ini. Cuma pada Zaman Depan,
dimana pertanggungan hidup itu sudah menjadi pertanggungan bersama, dan seni
itu sudah menjadi gambaran masyarakat semacam itu, disini ahli seni, orang yang
betul berdarah seni dengan sepenuh hati, pikiran dan semangatnya bisa
menjalankan talent, retaknya. Pada zaman ini bisa terjadi perpaduan kehidupan
dan seni: Kehidupan buat Seni dan Seni buat kehidupan.
Pada
masyarakat yang primitive, tingkat sederhana sekali, perhubungan seni dengan
masyarakat itu lebih nyata dari pada masyarakat yang sudah tinggi pesawat dan
kebudayaannya. Pada masyarakat tingkat sederhana itulah nyata sumbernya seni
itu. Saya sendiri tiadalah ahli dalam hal seni itu. Tetapi ahli seni
membandingkan benarnya kalimat di atas ini dengan bermacam-macam seni daerah di
seluruh kepulauan Indonesia ini. Menurut pemandangan saya yang terbatas itu,
erat sekali dan nyata sekali perhubungannya “Fatigkeit” (Marx), pekerjaan,
perbuatan hari-hari dari beberapa suku bangsa Indonesia ini, dengan tari,
nyanyi, pantun dan syairnya. Saya pikir tiada susah kita mencari perhubungan
antara mananam, menyabit dan menumbuk padi dengan tari, nyanyi dan pantun yang
bersangkutan.
Gerakan
badan ketika menumbuk padi terutama, kuat lemahnya gerakan, tempoh antara satu
gerak dengan gerak lain, pendeknya yang dalam seni dikatakan rythme dalam
pekerjaan itu, pindah kepada gerakan badan ketika menari, kepada suara ketika
menyanyi atau berpantun dan bersyair. Tari, pantun dan syair yang berhubungan
dengan pertanian, tidaklah susah dicari di Indonesia, lebih-lebih dimana seni
itu sampai ke puncak, ialah di Jawa dan Bali.
Saya
memang sudah lama berniat hendak mempelajari wayang lebih dalam. Tetapi
sekarang belum ada kesempatan. Serba sedikit tentu saya ketahui perkara itu.
Walaupun saya seandainya lebih tahu, lebih dalam mengetahui perkara wayag,
tentulah tiada dalam buku ini, ataupun pasal ini, saya mesti memberi uraian.
Kalau buat yang berhubungan dengan pasal dan buku ini, saya pikir sudah cukup
dikemukakan, yang diantara kaum terpelajar, juga umum, diketahui, bahwa wayang itu
bukan berasal Hindu, melainkan kepunyaan Indonesia. Perhatikan sejarahnya
Wayang Purwa (Baca Dr. Hazeu). Kedua, wayang itu berhubungan dengan perusahaan
bersawah dan Animisme, ialah permuliakan arwah nenek moyang, Dewa atau
memanggil dan minta pertolongan, nasehat atau pimpinan batin pada arwah itu
dalam marabahaya.
Jadi
wayang, bayang, memang tepat berarti satu bayangan masyarakat nenek moyang
bangsa Indonesia, walaupun bukan arti semacam ini yang dimaksud nenek moyang
kita. Melainkan bayangan boneka di atas kain layar (kelir).
Kewajiban
ahli seni Indonesia Muda saya pikir, ialah buat mempelajari perhubungan antara
wayang dengan arti bayangan masyarakat dengan mempelajari masyarakat itu
sendiri. Perkara yang mesti diperiksa, saya anjurkan :
- Berapa jauh wayang
sebagai seni Indonesia tulen, yakni wayang pada Zaman sebelum Hindu,
menggambarkan masyarakat itu.
- Berapa jauh
cerita dalam wayang bisa memberi jawab atas pertanyaan yang penting buat
seorang Indonesia: Apa sebab pada Pra-Hindu, Indonesia Asli itu lebih
praktis, matter of fact, atas bukti, lebih berniat, lebih berani memulai
pekerjaan baru walaupun besar bahayanya dibanding dengan bangsa apapun di
dunia pada masa itu dan dibanding dengan Indonesia sendiri semenjak
bercampur dengan bangsa asing? (Baca : Weltgechichte! dsb).
- Berapa jauh
cerita dan sejarah wayang bisa mengemukakan hal, fakta yang nyata dalam
masyarakat Pra-Hindu itu, seperti Teknik dan Ekonomi, yang menjadi sebab,
maka :
- Dynamisme dan
Animisme Indonesia Tulen, bisa didesak ke sudut sekali oleh Hinduisme,
Budhisme dan Islamisme, walaupun Dynamisme dan Animisme itu sampai
sekarangpun belum hilang dan selama “kepercayaan” mustahil sekali bisa
hilang.
- Kenapa para
Satria dalam cerita Indonesia Tulen bisa diganti, didesak ke sudut atau
diperolok-olokkan (Petruk, Gareng dan Semar) oleh cerita Hindu dan Arab,
sedangkan satria Indonesia ialah pemimpin dari masyarakat sebenarnya.
Pertanyaan
di atas mudah ditambah banyaknya, susah menjawab dan mesti banyak sekali
mengambil tempo. Selain dari itu pekerjaan seseorang pemeriksa akan percuma
buat kemajuan Indonesia, kalau semangat dan penjuru memandang “point of view”
dari si pemeriksa, tak lebih dari seorang terpelajar luhur, penyusun “Aceh
Woordenboeken”. Edeller Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat. Semangat mesti
semangat orang merdeka yang mencari perubahan baik dan penjuru mesti sudut
masyarakat Indonesia dan keperluan Indonesia, bukan semangat seorang Hussein
Djajadiningrat, walaupun ia seorang “Prof”.
Bahan
buat diperiksa tiada sedikit, tetapi sudah didapat. Sejarah wayang dari semua
macam wayang, di seluruh pulau Jawa mesti dibandingan dengan cerita suku
Indonesia Asli yang kurang sekali atau sama sekali tiada dipengaruhi Hinduisme
dan Arabisme. Cerita atas dongeng yang didapat seperti di negeri Batak, Dayak
atau Toraja, niscaya banyak bisa memberi keterangan atau suggestion, petunjuk.
Sebab masyarakat Batak, Dayak dan Toraja yang tulen, tentu tak berapa bedanya
dengan Jawa tulen, Jawa Pra Hindu.
Kita
tak boleh lupa, bahwa Indonesia Dayak umpamanya, tiada kurang kepandaian
tentang besi dari bangsa manapun di Asia, sebelum diajar Eropa modern. Dan
pekerjaan mengayau buat mencari kepala manusia itu tiada boleh disalahkan
menurut moral yang diajarkan oleh agama saja. Pekerjaan itu mesti
diperhubungkan dengan masyarakat Dayak, iklim, cacah jiwa, ekonomi, dan
kepercayaan pada Dynamisme dan Animisme (Kepala itu menurut kepercayaan asli,
ialah pusatnya kodrat. Mengupulkan kepala berarti mengumpulkan kodrat).
Bahwa
wayang yang dipengaruhi cerita Hindu ataupun Arab, sebaliknya dari menambah
kecerdasan dan meninggikan inisiatif itu sudah lama jadi keyakinan saya.
Bangsa
Hindu yang tetap tinggal disini pada zaman dahulu kala sudah tentu membawa
kebudayaan dan sejarah Hindustan. Kasta sistem tiada akan longgar, dan sudah
mestinya dipererat. Kasta yang tertinggi, ialah Brahmana dan Satria, sudahlah
tentu dimonopoli penjajah bangsa Hindu yang sedapat-dapatnya mereka jaga
ketulenannya. Sedangkan saudagar, tukang dan tani Hindu di Hindustan sendiri
itu sudah dianggap seperti Waisya dan Sudra, apalagi pula saudagar, tukang dan
tani Indonesia yang tiada tahu bahasa Sanskreta atau lain bahasa Hindsutan itu.
Karena kedua Kasta Hidnu penjajah tadi tentu kecil golongannya di banding
dengan bangsa Indonesia, maka penjajah Hindu mesti cari tali yang erat buat
menetapkan keadaan Hindu diatas Indonesia itu. Tali itu didapat pada agama,
kebudayaan dan bahasa. Ketiganya mendapat pokok yang baik seperti benalu
mendapatkan pokok langsat, kalah langsat karena benalu seperti pepatah adat Minangkabau,
yang berarti tamu yang mengalahkan yang punya rumah. Benalu mengisap zat yang
diambil dengan susah payah oleh urat dan daun pokok langsat buat membesarkan
dan menguatkan pokoknya sendiri. Si penghisap bertambah kuat dan besar, si
terhisap, seperti pokok langsat jadi layu.
Bagitu
halus hisapan dan tindasan yang dijalankan oleh penjajah Hindu, dengan jalan
agama, kebudayaan dan bahasa dengan memakai Wayang sebagai perkakas sampai
dengan tiada ketahuan: Cerita Hindu dalam masyarakat Hindu di Hindustan,
memakai bahasa Hindu tulen, disangkanya cerita oleh orang Indonesia.
Pokok
benalu di dahannya pokok langsat itu dipandang dari luar berupa pokok langsat
juga. Begitulah orang Indonesia ialah Kasta Sudra yang meti Jawa dengan bahasa
kromo dan lutut lemas, pertanyaan yang dimajukan dengan bahasa Ngoko kepadanya,
menganggap kasta Ningrat dan Pendeta Hindu itu bangsanya sendiri. Semua yang
terjadi di Hindustan dalam cerita Mahabarata itu terjadi di Jawa ini orang
Indonesia anggap, bahwa Hanoman itu bertapa dekat Gunung Merbabu. Kali serayu
digali oleh Bima, dsb (Asia Raya, 22 Sept 1942).
Hilang
matter of fact, hilang bukti kenyataan, hilang nuchterheid, hilang kenyalangan
mata! Sejarah tidak lagi menaiki kecerdasan intelek, melainkan sebaliknya.
Tidak lagi menaikan semangat dan inisiatif, melainkan melemahkan. Jayabaya
menanti-nanti Raja Keling buat memerdekakan Jawa. Begitu yang Rakyat Indonesia
sampai sekarang, masih terlampau percaya sama pertolongan luar itu. Tiada lagi
ia mau menyingsingkan tangannya sendiri.
Dizaman
Pra-Hindu ia menyingsingkan tangan dan pandang sebagai suluhnya dengan mata
terbuka (nucter) buat merantau sampai lebih dari 2/3 keliling bumi. Wayang
sebagai pendidik rakyat Jelata, boleh jadi tiada bisa menyamai gambar hidup,
tetapi tiada pula boleh dimasukkan k ke dalam musium bulat-bulat begitu saja.
Dipakai yang baik, dibuang semua yang busuk.
Buat
penulis gamelan dan suasana di sekitarnya tak ada caranya di dunia ini. Gerakan
badan dalam tari serimpi rasanya mengangkat kita dari dunia fana ini. lima
derajat dalam lagu Jawa sering menimbulkan perasaan sedih, halus, dalam dan
gaib. Keberatannya barangkali sebab terlampau halus, buat perjuangan. Wayang
seluruhnya kalau dibaharui diperhubungkan dengan yang baik dari gambar hidup
dan cerita modern, mungkin bisa dipakai pendidik Murba Nasional. Tetapi
semuanya membutuhkan talen dan tempo.
Pasal
9. PERKENAAN DAN PERLANTUNAN ANTARA BENDA DAN BENDANYA MASYARAKAT.
Pertama,
dahulu saya tunjukkan antara benda, masyarakat dan pikiran, paham.
Kedua,
bagaiman masyarakat mengenal paham. Pengenaan maksud saya, ialah yang mempunyai
satu arah, umpamanya dari kiri ke kanan. Tetapi perlantunan mempunyai dua arah
bertentangan, ialah dari kiri ke kanan dan kemudian dari kanan ke kiri.
Sekarang saya akan tunjukkan perkenaan dan perlantunan di antara benda dan
benda, dan benda dalam masyarakat itu sendiri.
Saya peringatkan lagi lebih dahulu, berapa perkara yang dianggap sebagai benda,
barang yang nyata, sebagai dasarnya paham dalam masyarakat itu.
Bagian 1.
Sifat Bumi dan Iklim;
Bagian 2.
Bentuk pesawat;
Bagian 3.
Keadaan ekonomi;
Bagian 4.
Klas berpolitik (lihat muka 118).
Bagiamana
keadaan ekonomi mengenai undang dan politik (3 mengenai 4) sudah pula diuraikan
dengan panjang lebar (lihat pasal benda masyarakat mengenai pikiran, muka 123)
bagian 1, lihat halaman 127.
Tinggal
lagi yang akan dibicarakan pengenaan dan perlantunan antara 3 perkara pertama
(bermula) yang penting dalam masyarakat itu. Pertama Sifat bumi dan Iklim ;
Kedua: Bentuk pesawat ; Ketiga : Keadaan ekonomi.
- SIFAT
BUMI DAN IKLIM MENGENAI BENTUK PESAWAT.
Juga
idealis Hegel ada memperhatikan kena-mengenanya sifat bumi dan iklim yang
terkhusus dengan masyarakat. Tetapi Materialisme Marx tentulah lebih jitu
melaksanakan perkara yang semacam ini. Kata Marx pada salah satu tempat,
kira-kira : “Sifat bumi dan iklim yang terkhusus itu tiada saja jadi alat
adanya (condition) makanan, tetapi juga jadi alat adanya pesawat buat
menghasilkan makanan itu”.
Jadi
menurut Marx, makanan dan pesawat itu amat bersangkut dengan keadaan bumi dan
hawa atau iklim pada bagian bumi itu juga. Kalau dalam bumi itu tak ada besi
atau tembaga, maka penduduk bumi itu tentulah tak bisa mengerjakan besi atau
tembaga buat dijadikan perkakas. Penduduk semacam itu akhirnya tiadalah bisa
memakai perkakas besi atau tembaga buat berburu, memotong sagu atau membajak
dan buat membikin rumah serta pakaian. Perkakas yang lazim tentu tiada akan
bisa lebih tinggi dari batu dan kayu.
Walaupun
Indonesia tulen Pra-Hindu sudah pandai mengerjakan tembaga dan besi sebelum
sampai merantau ke Indonesia Raya ini dari Asia Tengah, tetapi kalau Indonesia
tulen tadi tak mempunyai tanah tambang yang mengandung logam tembaga dan besi,
sudah tentulah kepandaian tadi akan hilang lenyap sesudah satu atau dua
keturunan.
Meskipun
bangsa Indian, penduduk asli Mexico, tak kurang sopan dan gagah perwira dari
Cortez dan lasykar Spanyol yang menyerbu ke Mexico itu, lasykar Indian kalah
dalam peperangan mati-matian sebab yang terutama dalam kekalahan itu, ialah
ketiadaan kuda di Mexico dan Amerika seluruhnya. Kuda sebagai kodrat, perkakas
dalam pertanian, pengangkutan dan peperangan adalah lebih kurang seperti kerbau
Minangkabau terkhususnya dan Indonesia umumnya pada contoh di Mexico juga
nyata, sifat bumi dan iklim membentuk pesawat dan penghidupan.
Pada
bagian bumi terlampau sejuk seperti di Kutub Utara atau Selatan, pnenduduk tak
akan sampai ke tingkat pertanian. Pencarian hidup tak akan lebih dari memburu,
menangkap ikan atau memelihara binatang seperti bangsa eskimo. Kalau tak ada
pula besi atau tembaga di dalam tanahnya, maka ikan itu cuma bisa ditangkap
dengan tangan saja, atau ditombak dengan tombak batu. Begitu juga kalau hawa
terlalu panas dan makanan terlampau mudah didapat seperti di Indonesia ini,
penduduk asli seperti Irian besar dan kecil (Negrito) tak perlu memikirkan
membikin perkakas tembaga atau besi. Dengan tangan telanjang atau dengan tombak
batu atau sumpitan ikan atau burung bisa ditangkap dan buah-buahan boleh
dipetik.
Kalau
orang Indonesia yang datang dari Asia Tengah itu tiada membawa kepandaian
membuat perkakas dari tembaga atau besi ke kepulauan ini, sudahlah pasti, bahwa
mereka tiada akan perdulikan perkakas lain dari yang dipakai ipar kita di Irian
atau di Ulu Pahang, di Malaya atau di pegunungan, di pulau Luzon itu sampai
pada masa ini.
Tiadalah
subur atau kurusnya tanah semata-mata yang menentukan kemajuan masyarakat dan
pesawat ekonominya. Kemajuan itu pada masa dahulu kala timbul pada iklim
sedang, tiada terlalu sejuk dan terlalu panas, seperti di daerah Sungai Kuning
di Tiongkok, Sungai Indus di Hindustan, Sungai Nil di Egypte dan Sungai Eufrat
dan Tigris di Messopotamia. Disamping hawa sedang itu terdapat pula
bermacam-macam tumbuhan buat makanan dan barang logam buat dipakai jadi
pesawat. Disini dari tingkat ke tingkat kemajuan dalam hal pesawat buat
penghidupan, kebudayaan dan pertahanan mulanya berlaku. Atas kemajuan yang
diperoleh pada tingkat bermula, pada iklim sedang dan tanah mengandung logam,
seperti tambaga dan besi itu, atas kemajuan itulah berdirinya kemajuan dunia
zaman kita ini.
Indonesia
Asli merantau ke kepulauan Indonesia membawa pengetahuan yang sudah tinggi juga
tentang pesawat, pertukangan, pertanian dan Ilmu Bintang. Kepandaian itu tiada
hilang karena bisa dilaksanakan. Pulau-pulau Indonesia yang besar dan subur
ini, yang penuh dengan sungai besar-besar, lagi pula mudah diperhubungkan satu
dengan lainnya oleh Indonesia Asli dengan menyebrangi lautan. Perpisahan disebabkan
pegunungan yang tinggi atau hutan berlukar lebih menyukarkan perhubungan satu
tempat dengan tempat yang lain dari perpisahan disebabkan lautan, yakni kalau
perkakas sampan sudah ada. Karena mudahnya perhubungan, maka lama kelamaan
orang Indonesia dari perantau di daratan, nomaden, seperti bangsa asalnya,
ialah bangsa Tartari, menjadi perantau di Lautan. Pelayaran yang mulanya
barangkali dari Semenanjung Malaka ke Sumatera saja, dari tepi ke tepi sungai,
dari muara ke hulu sungai saja, lama-lama jadi pelajaran dari pantai ke
kepulauan Indonesia ini. Akhirnya menimbulkan pengetahuan, keberanian,
kebiasaan dan keminatan menyeberangi dua Samudra terbesar di dunia ini. Sifat
Bumi dan Iklim Indonesia pembentuk perkakas buat Indonesia Asli, perkakas terpenting
buat kehidupannya “perahu memakai cerdik”. Perahu ini, walaupun berapa lebarnya
lautan dan besarnya gelombang boleh dibilang mustahil bisa tenggelam.
- PESAWAT
MEMBENTUK KEADAAN EKONOMI
a.
Perkakas pesawat.
Bukan
satu atau dua buku, melainkan beberapa buku seorang ahli pesawat mesti menulis,
buat menguraikan sejarahnya perkakas yang dipakai manusia dalam riwayatnya
lebih dari 500.000 tahun itu. Berapa ribu tahun, mesti berlalu dan berapa
tingkat yang mesti didahului oleh perkakas batu sampai ke perkakas tembaga.
Dari tembaga ke besi! Beberapa perubahan yang diderita oleh perkakas besi itu
baru sampai jadi maha mesin atau mesin raksasa dizaman sekarang.
Buat
melaksanakan teori diatas ini, yakni pesawat membentuk ekonomi, terpaksalah dan
lebih dari cukup, malah lebih terang kalau kita ambil perubahan perkakas yang
nyata kelebihan: yang melompat dari tingkat rendah ke tingkat tinggi.
Kita
kembali ke zaman Tengah di Eropa. Kita masuki satu Gilde, Guild, satu Kongsi
Pertukangan. Kongsi para tukang besi umpamanya. Kongsi ini banyak sekali
mempunyai aturan, statuten, yang mesti diikuti oleh anggotanya masing-masing.
Semua aturan itu boleh kita pelajari sekarang, karena ada tertulis dengan nyata
dan masih disimpan. Berlainan dengan sejarah kita! Memang dalam segala-gala
yang mengandung sejarah barat itu, di Zaman Yunani sampai sekarang betul-betul
sejarah; hal yang terjadi; barang yang ada; bukan impian tak senonoh seperti di
negeri kita. Saya lebih suka mengambil contoh yang ada di Indonesia, tetapi apa
boleh buat, keterangan yang saya peroleh tiada cukup dan tiada syah. Tetapi
boleh dikatakan pasti, bahwa di beberapa bagian Sumatera, seperti Minangkabau,
Aceh, dan Palembang, di Jawa pada masa Pajajaran dan Majapahit, golongan tukang
besi itu ada sederhana tinggi derajatnya dalam pergaulan dan ekonomi. Sejarah
mengatakan, kaum pandai atau empu, ialah pandai besi yang dari Pajajaran
diterima dan diperlindungi oleh Majapahit. Tetapi aturan, statuten mereka dan
tata kerja; werkprogram mereka, perkara hasil, harga, upah dan sebagainya yang
tertulis yang dipakai oleh kaum pandai itu, perhubungan pemimpin dengan
anggotanya, kepala dengan pekerja sejawat (gezel) atau muridnya (leerling) dan
aturan antara satu pertukangan besi (apar namanya di Minangkabau) dengan
pertukangan lain atau dengan pemerintah, tiada saya peroleh.
Zaman
Tengah: Bagaimana juga perkakas yang dipakai oleh Kongsi Tukang di Eropa pada
zaman Tengah, tak ada berapa bedanya dari yang dipakai oleh pandai besi kita
pada masa itu. Perbedaan barangkali sekali didapat pada bentuknya atau jenis
perkakas. Tetapi persamaan juga pasti ada: Semua perkakas boleh diangkat dengan
tangan. Lain dari itu besi sama dipadu dengan api dihidupkan dengan arang atau
kayu. Sama diembus dengan blaasblag, dua pompa kembar di Eropa dijalankan
dnegan ari. Besi panas sama ditempa dengan martil yang diangkat dengan tangan.
Zaman
Sekarang: Apar itu, bukan lagi pondok atau rumah kecil, melainkan gedung besar,
bukan satu atau dua, gedung dari beton, penuh dengan mesin raksasa. Dengan
Bessemer-Methode, udara itu ditiup dengan keras, besi juga dilebur dengan
listerik, yang ditimbulkan oleh pabrik listrik yang besar. Martil penimpa besi,
tiada lagi martil yang diangkat dengan tangan. Martil uap (steam hammer)
sekarang bukan lagi satu atau setengah kilogram, melainkan sampai seratus dua
puluh lima ribu kilogram.
b.
Perkara Hak Milik
Aggota
Kongsi Tukang di Eropa atau pandai besi Indonesia (juga?) mempunyai sendiri
perkakas itu (martil, bahan dan arang !). Tetapi complex atau gabungan pabrik
pada masa sekarang buat membikin baja atau membikin mesin sendiri itu, bukan
lagi kepunyaan seorang. Modal buat complex-pabrik yang sampai berjuta-juta
rupiah itu, buat bahan yang berjuta-juta rupiah pula, buat motive-force, kodrat
menjalankan mesin seperti uap atau litrik yang mahal pula; modal buat pembayar
buruh, mandor, tukang, insinyur dan administratur yang berjuta-juta rupiah
pula, tiadalah keluar dari kantong seorang atau dua orang lagi, melainkan dari
golongan orang, bernama kaum kapitalis. Tiada ada diantara golongan yang pegang
andil atau pegang modal baru, bernama debenture-holder (pegang surat bunga
uang) yang bisa bilang: Ini martil sayalah yang punya! Tidak ada satu bagian
satu biji pakupun yang dimiliki seseorang, melainkan semua yang mengeluarkan
modal itu memiliki semua perkakas mengadakan hasil itu. Bagitu juga tidak lagi
satu orang memiiki hasil yang keluar, satu jarumpun, melainkan semua hasil itu
ialah buat semua pemegang andil atau pemegang surat debenture (surat terima
bunga uang).
Tetapi
yang nyata tidak bermiik ialah satu golongan besar, yang dulu berpunya, yakni:
Buruh, proletar.
Buat
menjadi buruh, proletar, tak berpunya, maka pak tani atau si tukang Zaman
Tengah mesti “dimerdekakan” dalam dua hal: 1. Medeka dari kongsinya; 2. Merdeka
dari atau lepas dari perkakasnya, artinya dihilangkan perkakasnya. Kewajiban
revolusi borjuis ialah menimbulkan “kemerdekaan” semacam ini. Sekarang si
proletar, tak berpunya, “merdeka” pula menjual tenaganya pada pasar yang
“merdeka”. Disini dia dengan ribuan teman sejawatnya “merdeka” tawar-menawar
dengan kaum Modal, kaum yang mempunyai segala-gala.
c.
Perkara Kemerdekaan dan Kepandaian.
Tukang
besi pada satu kongsi di Zaman Tengah di Eropa atau seorang pandai besi di
Majapahit atau Minangkabau ialah seorang merdeka, seorang yang dihargai dalam
Masyarakat. Walaupun pada masyarakat Majapahit kaum pandai itu cuma masuk kasta
Waisya, kasta ketiga, ia ada mempunyai kedudukan yang baik juga. Pandai besi
zaman Majapahit atau Minangkabau yang mendapat kris yang kuat artinya sama
dengan pendapat (inventor) atau Insinyur, pembentuk kapal terbang atau kapal
silam zaman sekarang. Kris itu adalah senjata luhur zaman Sriwijaya dan
Majapahit, seperti kapal terbang dan kapal silam zaman sekarang. Kalah menangnya
perang pada masa itu selain dari semangat dan moral kebatinan, tergantung pada
kuat dan jitnya kris seperti sekarang terutama pada kuat dan jitnya kapal udara
dan kapal silam itu. Tukang besi zaman dahulu itu, ialah seorang yang
berinisiatif sendiri, merdeka sendiri, dalam hal bentuk-membentuk.
Begitu
di Eropa, begitu pula tentu di Indonesia. Rahasia melebur besi, kepandaian
membentuk senjata yang maha tangkas, tersimpan dalam otaknya pandai besi,
walaupun pekerjaan anggota kongsi tukang di Eropa itu di bawah penilikan
pemimpin, ialah pemimpin kongsinya sendiri, tetapi masih banyak kemerdekaan
yang tinggal padanya. Ia merdeka merubah segala-galanya!
Tetapi
sekarang, si buruh atau tukang di dalam pabrik, tak mempunyai kemerdekaan
semacam itu. Si punya andil atau debenture dengan perantaraan inventor,
insinyur dan managernya, membentuk mesin dan hasil. Si buruh cuma sebagai
bagian dari mesin, mengawasi mesin bekerja itu saja.
Craftsmen
di Eropa, ialah tukang di Indonesia, memangnya seorang tukang, seorang berpikir
mengubah dan membentuk. Tetapi si proletar, buruh, si tak berpunya, ialah
seorang yang tiada boleh berpikir, berinisiatif, mengubah dan membentuk;
inventor dan si insinyurlah yang mengubah dan membentuk, mesinlah dan si
insinyurlah yang mengubah dan membentuk, mesinlah yang menjalankan, dan si
buruh jatuh pada golongan mesin yang tak bernyawa itu pula. Skill, yakni tukang
atau pandai, pada zaman dahulu bertukar dengan dexterity, keawasan, ketika
menjaga mesin di zaman sekarang. Si buruh cuma buat mengawasi mesinnya saja.
Mesinnya tak boleh berputar terlampau lama atau kurang lama. Lebih-lebih dia
mesti jaga supaya tangan, kaki atau lehernya sendiri jangan terputar oleh mesin
itu. Merdeka pada zaman dahulu berganti jadi budak mesin zaman sekarang.
d.
Perkataan division of Labour (Pembagian Kerja).
Pada
permulaan sekali dari sejarah manusia sudah terjadi division of Labour itu,
yakni antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Yang pertama kerjanya berburu
atau menangkap ikan. Yang dibelakang tinggal di rumah melakukan pekerjaan
rumah, memasak, bertenun, menjahit, mencuci, menjaga anak dll. Pekerjaan yang
pertama adalah lebih berat dan berbahaya dari yang kedua. Walaupun banyak
diantara kaum ibu yang berani, tetapi ada temponya tiap-tiap ibu dalam
kelemahan sendiri, ialah dalam keadaan mengandung dan menjaga si anak yang
lemah.
Lagi
pula pembagian kerja yang besar terjadi dalam sejarah manusia, yakni: Pertanian
dan kerajinan. Pertanian dilakukan di sawah, ladang atau kebun, dan mempunyai
pusat pergaulannya di desa. Kerajinan dilakukan di kota atau bandar. Tentu ada
juga pak tani melakukan kerajinan di rumahnya, seperti membikin bajak, jala
dsb; sedangkan isteri dan anak gadisnya membikin kain, menjahit dan seterusnya.
Tetapi pada tingkat masyarakat yang lebih tinggi, pembagian kerja itu lebih
umum, karena dengan pembagian kerja itu hasil berlipat ganda. Seorang yang
umpamanya pencahariannya berhubungan dengan sepatu saja, tentu pengetahuannya
tentang bahan buat sepatu itu seperti kulit dan benang, tentang bentuk yang
disukai atau tidak lagi tentang pasar dan langganannya dan banyak perkara
lain-lainnya, lebih tinggi dari seseorang yang menjalankan 13 ambachten, 13
macam pekerjaan. Si spesialis yang mengerjakan sesuatu, teristimewa itu,
tangannya lebih cepat dan tepat serta matanya lebih tajam.
Pada
zaman manufacture saja, ialah zaman diantara kongsi tukang, (gilde) dan
industri (kemesinan), pembagian kerja itu sudah pesat sama sekali. Arloji saja
umpamanya, seperti diuraikan beberapa ribu bagian. Kunci, per, sekrup, plaat
dll. Seseorang kerjanya lain tidak dari mengerjakan bagiannya saja, bagian yang
lain, dia tak perlu ketahui. Kemudian semua bagian itu dipasang oleh seorang
yang kerjanya memasang saja.
Pada
zaman sekarang pembagian kerja itu, lebih dilanjutkan lagi. Kapal terbang itu
umpamanya terbagi atas beberapa ribu bagian pula. Tiap-tiap bagian dikerjakan
pada pabrik atau mesin istimewa. Dengan begitu hasilnya bertimbun-timbun
(mass-production). Yang menjadi alat adanya pembagian kerja itu pertama cacah
jiwa. Kalau penduduk sesuatu negara atau tempat masih jarang sekali,
sekali-sekali dan “Standard of Living”, takaran hidupnya masih rendah sekali,
maka keperluannya tentulah sedikit sekali pula. Umpamanya Desa Anu cuma dua
tiga puluh saja penduduknya.
Pada
masa Lebaran (Hari Raya) cuma empat lima orang saja yang memakai sepatu.
Sesudah habis lebaran, sepatu tadi terus disimpan baik-baik sekali buat dipakai
di tahun depan. Satu kongsi sepatu, yang datang buka pabrik sepatu, dengan cara
mass-production, kalau mesti bergantung pada “langganan” dari Desa Anu ini saja
tentu akan segera terpaksa gulung tikar. Dia bisa mengadakan seratus sepatu
dalam satu jam umpamanya, jadi belum lagi menyamai mass-production Amerika.
Tetapi pembeli kemana dicarinya?
Kedua,
dan inilah yang berhubungan dengan pasal ini : Kemajuan perkakas. Umpamanya
seorang warga Republik Indonesia, berinisiatif berdarah industrialis atau
dagang, baru pulang dari Amerika tiba di salah satu kota besar di Indonesia. Si
Indonesia pulang dari Amerika tadi mempunyai segala-gala, dari kepandaian
sampai keuangan. Dia periksa dengan tiliti dan yakin, bahwa perusahaan kapal
terbang dengan cara mass-production akan bisa memberi untung. Uang ada atau
gampang boleh dipinjam dari Bank Nasional umpamanya, karena namanya peminjam
itu baik. Langganan pasti banyak dan tetap. Ialah dari tentara, kongsi kapal
terbang dll. Memang buat tehnik dan pengetahuan Rakyat Jelata, buat dagang,
pengangkutan, lebih-lebih buat pertahanan Negara, industri kapal terbang itu
penting sekali. Pemerintah Republik memberi izin leluasa sekali. Tetapi ada dua
perkara yang kurang dan satu perhubungan erat dengan yang lain. Pertama, mesin
bukan mesin kapal terbang itu sendiri, yang bernama aero-engine, tetapi mesin mesti
bikin aero-engine ini pula. Kedua aero-engine itu sudah barang yang sulit!
Apalagi mesin ibu yang mesti melahirkan aero-engine itu.
Dia
menoleh ke kiri-kanan, memang dia bertitel Insinyur dan berdarah praktek. Dia
masuki pabrik dan bengkel Indonesia. Memang dia berpengaruh, karena keluaran
dari keluarga hartawan dan politik-wan. Tetapi dia cuma berjumpakan mesin buat
menggiling tebu, pemisahkan timah dan emas, penyaring minyak tanah, dan paling
tinggi pembikin sayap kapal terbang. “Semuanya pusaka Belanda” katanya dalam
hatinya, memang dia Nasionalis patriot. Ingat dia pada Indonesia Raya, Zaman
Sriwijaya dan Majapahit. Tetapi pada zaman ini dia cuma berjumpa dengan pahat,
kampak, martil, semuanya kecil-kecil.
Pekerjaan
tidak bisa dijalankan dengan lekas. Tetapi dia aktif, berinisiatif, divide,
memang berpemandangan jauh dan cinta pada bangsanya. Dia mau lekas, mau naikkan
bangsanya, dari bangsa di bawah sepatu bangsa lain, sampai jadi bangsa yang
duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa manapun juga di kolong
langit ini. dia jumpakan para pembesar negeri anggota Parlemen sampai Menteri
Keuangan, serta anggota keluarga, bekas teman sekolah, kawan separtai atau
sahabatnya. Akhirnya dia dapat perjanjian dari yang berpengaruh, berkuasa,
beruang. Kalau pasal uang sama sekali tak akan menjadi keberatan. Kami akan
bantu.
Si
Nasionalis tadi bukan seorang bertitel Insinyur saja. Dia seorang yang praktis.
Dia berpikir terus, walaupun sesudah empat atau lima bulan atau setahunpun akan
didapat mesin ibu, buat bikin aero-engine. Tetapi dimana dia peroleh ratusan,
ya ribuan banyaknya buruh, tukang, opzicter dan Insinyur yang berpengalaman,
buat menjalankan pekerjaan masing-masing bagian, dengan “efficiency”, ini
perkataan Amerika pula yang sudah jadi pedoman dalam semua pekerjaannya. Berapa
lama buruh halus dan kasar yang penting itu, dia mesti dilatih dalam teori dan
praktek, supaya jangan banyak waste, ialah tenaga, tempo dan barang yang
dibuang-buang, karena kekurangan kepandaian dan pengalaman. Insinyur Nasionalis
Indonesia tadi, insyaf sekali akan division of labour, pada industri baru
beralasan mass-production, seperti pada industri kapal terbang itu. Dia tafakur
dan insyaf, beberapa perkakas, pesawat, berhubungan dengan division of labour
dan berapa keduanya ini mempengaruhi ekonomi. Walaupun banyak syarat yang ada
padanya, dia mesti menunda menjalankan idamannya jauh lebih lama dari pada yang
dikehendakinya. Sekarang dia yakin, bahwa walaupun bangsanya sudah merdeka
dalam politik, kaya dengan uang dan hasil bumi, tetapi masih rendah sekali
dalam hal pesawat dan industri-berat (heavy industry).
Dia
berbisik, Majapahit tak bisa meninggalkan pusaka lain dari kampak dan palu.
Sebab memang pada zaman itu tak ada perkakas yang lebih tinggi di seluruh dunia
ini. tetapi Belanda! Ya, kalau dia tiada memikirkan untung yang lekas dan
banyak didapat saja dengan gula atau teh, barangkali, ya, sudah tentu dia tak
akan mengalami kejadian yang sudah-sudah. Indonesia tentu akan punya perkakas
heavy industry dengan semua bagian, skilled atau un-skilled labor, buruh halus
atau kasarnya.
e.
Perkara sosial, pergaulan.
Mudah
kita menggambarkan pergaulan antar pekerja dan pemimpinnya pada zaman dimasa
perkakas masih digerakkan dengan tangan.
Mudah
kita gambarkan satu gilde, dimana pekerjaan dan pemimpin pekerja bersama-sama
pada satu tempat, bercakap-cakap dalam keadan duduk sama rendah, tegak sama
tinggi .Tinggi rendah cuma terbawa oleh pengetahuan dan batinnya si pemimpin,
bukan karena kelahiran bangsawan atau kekuasaan uang. Si pemimpin bukan orang
yang jatuh dari langit sepreti Raja, melainkan orang yang dipilih kaum pekerja
diantara pekerja sendiri buat mengawasi keperluan bersama menurut aturan,
statuten, yang ditentukan dan dimufakati pada pekerja. Betul pada kira-kira Abad
ke-XV, pertentangan semakin tajam antara pekerja dan pemimpin yang menjadi
kaya, lebih-lebih di Jerman dan tak kurang hebat di Inggris antara master dan
journey-men atau yeomen. Tetapi pertentangan itu di Inggris berakhir dengan
pengawasan, supervision dan pemeriksaan (controle) dari kaum masters, dan lagi
bertambah majunya pesawat pula yang berakhir kepada kemesinan dan kepabrikan.
Pada masa belakang ini peraturan gilde, perkongsian tukang, berganti dengan
Trade Union, perkumpulan kaum pekerja, pada satu pihak dan perkumpulan majikan
pada pihak lainnya.
Gambaran pergaulan para pekerja dengan pemimpinnya pada zaman Gilde +
Abad ke-XIII dan XIV berlakon paternal, bapak dan anaknya pada masyarakat
Tionghoa, yang memang cocok dengan dasar pelajaran Guru Kung. Sisa peraturan
Gilde, “tong” namanya dalam bahasa Tiongkok Selatan masih bisa kita lihat
dikota-kota Tiongkok ataupun Indonesia. Membikin tong buat tolong-menolong
diantara satu-satu golongan pekerja, memang sudah jadi darah daging Tionghoa.
Dimana suasana politik ada kejam, maka tong kaum pekerja tadi menjadi
perkumpulan bersifat poitik. Dr. Sun Yat Sen dengan Kuo Min Tang-nya banyak
mendapat bantuan politik dari tong yang jadi masyhur, karena campur merobohkan
kekuasan Mancu itu. Kumpulan itu bernama Kola Hue (Hue juga berarti tong!).
Maka pada sesuatu kumpulan pekerja itu masih bisa saksikan perhubungan yang
paternal, seperti bapak dan anak itu. Mereka masih makan dan minum
bersama-sama. Beda pemimpin dengan anggota, adalah seperti perbedaan antara
yang lebih tua, lebih berpengalaman, dan juga lebih berani dengan yang masih
muda.
Tiada
susah bagi kita buat menggambarkan perhubungan para pekerja dengan ketuanya,
pada satu apar di Minangkabau atau pertukangan besi atau kapal di tanah Jawa.
Lebih kurang seperti bapak dengan anak itu juga, atau saudara tua dengan
saudara mudanya.
Tetapi
bagaimana perhubungan itu pada zaman ini, dimana martil beratnya 125.000 kg,
pipa minyak di Palembang sampai 300 KM panjangnya?
Kemesinan
zaman sekarang, Kapitalisme Modern, tidak lagi berupa Kongsi atau perkumpulan,
melainkan dari kongsi, kompeni, sudah naik ke dasar yang lebih lebar jajahannya
dan banyak pekerjaannya, ialah syndikat. Dari syndikat yang masih kurang
terpusat dan teratur (rationalized) itu, dia naik ke atas jadi trust. Dari
trust ke Combine-trust, ialah gabungan dari beberapa trust, tidak saja diantara
yang ada dalam Negeri, tetapi juga gabungan dengan beberapa trust diluar Negeri
sendiri.
Misal
sudah ada di Indonesia. Menoleh kita ke perusahaan yang terpenting dalam banyak
tehnik, perniagaan dan politik dunia, ialah minyak tanah. Buat tehnik minyak
itu adalah jiwanya mesin, penjalankan mesin. Buat perniagaan dia mengadakan
untung yang besar dan tetap. Sebab itu ia jadi minyaknya politik Nasional dan
Internasional kaum kapitalis, lebih-lebih yang sudah sampai berbentuk
Imperialis.
Royal
Dutch, sebagaimana yang terkenal di seluruh dunia, Koninklijke Nederlands
Petroleum Maatschappij namanya dalam bahasa Belanda, didirikan pada tahun 1890.
Pada tahun 1912 kongsi ini bergabung dengan Kongsi Minyak Inggris di Borneo
bernama Shell. Gabungan minyak Belanda-Inggris ini sendiri tiada mengurus
perusahaan minyak, melainkan mencari dan mengawasi uangnya dari lebih 100
dochter maatschappijen, cabangnya. Royal Dutch inilah satu contoh dari sistem
Amerika, bernama Holding Company, kongsi pengikat. Royal-Dutch kongsi pengikat,
inilah walaupun ia tak mengurus perusahan yang jadi puncak seluruh industri
minyak di Indonesia. Diantar cabangnya, yang masyhur juga bernama BPM.
Ia
kini yang menggali (boren) minyak dan menyaring minyak: Raffinaderijen, Anglo
Saxon Cy, kongsi Inggris dengan NI Tank Stoomboot Cy mengangkut dan membagikan
minyak tadi. Asiatic Petroleum Cy menguras penjualan di Asia Timur. Kantor
pusat dari Royal Shell tadi ialah di London; kita semua kenal akan Deterding,
seorang Belanda sebagai kepalanya. Kantor pusat dari BPM ialah (dahulunya) di
Den Haag.
Mesin
dan perkakas yang dipakai buat menggali, membersihkan dan mengangkut minyak
keseluruh pelosok dunia ini, tiada lagi terbikin pada satu apar ditempa dengan
tangan, seperti di Minangkabau atau Majapahit, melainkan didatangkan dari
seluruh pelosok dunia sesudah melalui bermacam-macam tingkat perusahan
kemesinan pula: Dari tanah tambang ke besi kasar (pigiron), dari besi kasar ke
baja dan dari baja ke mesin. Boleh jadi tanah tambangnya diambil di Cuba,
besinya atau bajanya digembleng di Amerika dan mesinnya di bikin di Amerika
atau Inggris.
Perusahaan
minyak tidak lagi lokal, pada satu daerah kecil saja atau nasional, melainkan
sebab pesatnya kemajuan pesawat sudah betul-betul Internasional. Keuangan buat
menjalankan perusahaan yang berdasarkan Internasional ini, tiada lagi keluar
dari kantongnya anggota atau kepala kongsi, melainkan dari beberapa Bank: Bank
Negara atau Bank seseorang, dari seluruh penjuru dunia pula terutama Inggris
dan Belanda.
Bersangkutan
dengan hal ini, maka tiadalah lagi kita dapati pergaulan para buruh dengan
pemimpinnya pada Zaman Tengah di Tiongkok atau pada masa Majapahit. Buruh halus
dan kasar Indonesia tiadalah bisa lagi duduk atau makan bersama-sama tuan
Deterding. Tidak saja antara tempat berjauhan, tetapi antara kedudukan sosial
dalam masyarakat zaman sekarang ada berjauhan seperti bumi dengan langit. Kalau
ada perhubungan antara tuan “besar” dengan kuli di pabrik atau galian minyak,
maka perhubungan itu biasanya dijalankan oleh tingkat yang menghubungkan tangan
tuan besar dengan kepala kuli. Atau kata yang lain dipakai yang menghubungkan
mulut tuan besar dengan telinga kuli ialah perkataan God verdmome.
C.
PERLANTUNAN.
Sudah
diterangkan pada bagian A, perkenaan sifat Bumi dan Iklim sebagai Perkakas dan
pada bagian B (a, b, c, d, e) perkenaan perkakas dengan keadaan Ekonomi.
Sekarang akan ditunjukkan perlantunan diantara ketiga perkara itu.
Pada
gerakan pertama kita lihat arah gerakan itu dari sifat Bumi dan Iklim menuju ke
Pesawat dari sini menuju keadaan Ekonomi (Perlantunan antara sifat Bumi dan
Iklim dengan perkakas juga ada, tetapi hal ini nanti akan dibicarakan).
Sekarang kita akan perlihatkan arah membalik dari Keadaan Ekonomi ke Pesawat,
dan dari Pesawat ke Sifat Bumi dan Iklim.
Pada
gerakan pertama kita saksikan. Sifat Bumi dan Iklim. Jadi alat adanya
(condition) Pesawat dan Pesawat jadi alat adanya keadaan Ekonomi. Pada gerakan
membalik kita akan saksikan keadaan Ekonomi, akan jadi alat adanya Pesawat dan
pesawat akan jadi alat adanya sifat Bumi dan Iklim.
Kita
sekarang sudah sampai pada keadaan ekonomi yang bersifat kapitalis. Hal ini
oleh semua yang berpolitik sudah umum diketahui di Indonesia. Surat kabar dan
berjenis-jenis perkumpulan sudah cukup membicarakan hal ini. Dua sifat dari
peraturan ekonomi kapitalis, dua sifat yang berkenaan dengan pasal ini, saya
akan kemukakan disini.
- Penghasilan
liar, anarchy in the production ;
- Persaingan (concurency).
Pada
zaman pra-monopoly, sebelum monopoli zaman sekarang, maka penghasilan liar itu
umum sekali. Satu industrialis tak tahu-menahu dengan kapitalis lainnya,
walaupun senegara. Banyaknya hasil perusahaannya dan harga barangnya ia
tetapkan sendiri. Dia tiada rembukan tentang banyaknya hasil dan harganya itu
dengan kawannya. Pada zaman yang umumnya zaman monopoli ini, terutama Amerika,
beberapa perusahaan bergabung. Gabungan ini menentukan banyak hasil dan harga
barang buat seluruh gabungan, serta banyak hasil dan harga barang buat
masing-masing perusahaan yang bergabung. Jadi dalam monopoli itu anarchy in
production, penghasilan liar, sudah jadi planned production, penghasilan
dirancang, diatur lebih dahulu. Tetapi terhadap monopoloi lain, baik dalam atau
pun diluar negara, penghasilan liar tadi masih bersimaharajalela. Satu monopoli
tiada berembuk dengan monopoli lain tentang berapa hasil atau harga yang dia
mau adakan.
Akibatnya
atau sejajar dengan penghasilan liar tadi ialah persaingan yang hebat. Pada
zaman yang di Inggris dinamai Free Trade, persaingan itu pesat sekali dan
dimuliakan sekali oleh seseorang kapitalis dan pujangganya ahli ekonomi. Kata
mereka, persaingan mati-matian itu mengadakan hasil terbanyak dan termurah. Seperti
dalam Alam, Darwin punya struggle for existence itu, jadi alat adanya hewan dan
anggotanya yang lebih baik, begitu pertarungan mati-matian dalam lapangan
Ekonomi itu jadi alat adanya perusahaan pabrik dan mesinnya yang maha tangkas.
(Berapa pabrik yang tak jalan dan berapa kaum buruh yang terlantar, menganggur,
tiada dibicarakan disini!).
Dalam
satu monopoli Gajah, Mammoth Organisation, zaman sekarang memang persaingan itu
antara satu anggota dan anggota lain dalam Monopoli itu memang sudah hilang,
bergantikan koperasi, tolong-bertolong. Tetapi persaingan itu terus berlaku
antara satu mammoth organisation dengan mammoth yang lain. Awasi saja bagaimana
gajah Koninklijke Nederlands Petroleum My di negeri kita ini berjuang dengan
gajah Standard Oil.
Kalah
menangnya satu hewan dengan hewan lain atau dengan Alam sendiri, terutama
ditentukan oleh anggota pertarungannya. Singa oleh kuku dan taringnya,
begitulah dalam pertaruan ekonomi itu, pesawat itu, tehnik itu jadi kuku dan
taringnya. Selain dari factor lain-lain seperti pimpinan, susunan, penjualan
dsb, pesawat itulah yang jadi kuncinya kemenangan.
Pesawat
ini memukul pada dua pihak, dia menoleh ke penjuru kapitalis saingan. Saingan
yang mempunyai mesin yang absolute, kolot, kurang cepat dan kurang efficient,
kurang mencukup, mesti kalah oleh mesin yang lebih cepat dan mencukupi lebih
efficient. Harga barang yang dihasilkan yang di belakang ini lebih murah dan
tahan dan lebih bagus. Pada pihak yang lain, si Kapitalis menoleh kepada
buruhnya. Makin tinggi gaji buruh, kalau dibanding dengan harga mesin, ialah
makin rendah untungnya. Makin tinggi harga mesin kalau dibanding dengan bayaran
gaji buruh, makin tinggi untungnya. Seperti kata Marx, makin tinggi capital
structure, susunan kapital, makin besar untungnya.
Contoh
dari Marx dikeluarkan dari “jembatan keledai” saja. Sudah 20 tahun lebih
disimpan dalam otak. Maaf kalau ada kesalahan. Angkanya saya bikin sendiri.
Andaikan
5 modal :
Mesin Rupiah
|
Gaji
Buruh Rupiah
|
Jumlah
Modal
|
Surplus
Valus (nilai lebih) 100 % gaji buruh
|
Untung
50 % nilai buruh
|
50
|
50
|
100
|
50
|
25
|
70
|
30
|
100
|
20
|
15
|
80
|
20
|
100
|
20
|
10
|
84
|
16
|
100
|
16
|
8
|
90
|
10
|
100
|
10
|
5
|
Andaikan 5 modal itu kepunyaan seorang kapitalis. Yang 1 ialah modal kebun
kapas ; 2. buat membersihkan kapas ; 3. buat memintal benang ; 4. menenun kain
; 5. buat mencat. Jumlah lima modal R. 500,- Jumlah untung R. 63,- Pukul rata
untungnya 63/5 = R 12,60.
Modal 1 yang mesinnya seharga R 50,- kurang R 12,40
Modal 2 yang mesinnya seharga R 70,- kurang R 2,40
Modal 3 yang mesinnya seharga R 80,- lebih R
2,60
untung pukul rata R. 12,60
Modal 4 yang mesinnya seharga R 85,- lebih R 4,60
Modal 5 yang mesinnya seharga R 90,- lebih R 7,60
Jumlah
modal 1 dan 2 kurang R. 14,80 dari pukul rata, ialah R 12,60
Jumlah
modal 3, 4 dan 5 lebih R. 14,80 dari pukul rata, ialah R 12,60
Dengan
kenaikan modal buat mesin dari 80 ke 84 ke 90 naik pula kelebihan untung dari
pukul rata dari R 2,60 ke R 4,60 dan ke R 7,60. Tentu pemakian mesin ada
batasnya. Harga mesin tak bisa sampai ke 100. ini berarti tak memakai buruh
lagi.
Tetapi
dalam batas ini memang kenaikan modal mesin berarti kenaikan untung dari untung
pukul rata. Diatas dimisalkan 5 modal kepunyaan satu orang kapitalis. Artinya
sama kalau 5 modal ini kepunyaan 5 orang, berlain-lain kapitalis. Karena 5
kapitalis inipun masuk satu kaum atau Klas.
Seligi
tajam balik tertimbal, tak ujung pangkal mengena, kata kapitalist. Pesawat baru
itu memukul kedua pihak, kepada saingan dan kepada kaum buruh tiada heran kalau
kapitalis selalu mendekati inventor, pendapat. Pada tiap-tiap perusahaan besar
juga terdapat laboratorium yan modern dengan inventor atau calon inventor yang
cerdas. Memang pemakaian invention, pendapat baru itu pada zaman
monopoli ini ada terbatas, tidak lagi seperti pada masa “Free trade”, pesawat
baru itu tetap tinggal jadi perkakasnya kapitalis buat menewaskan musuh
saingannya atau kaum buruh. Sedikit panjang ktia menyimpang diatas, tetapi
tiada bisa dihindarkan.
Sekarang
kita kembali pada pangkal persoalan. Ekonomi menjadi alat adanya Pesawat dan
Pesawat menjadi alat adanya Bumi dan Iklim. Dalam keterangan dibelakang yang
rupanya menyimpang tadi sudah termasuk kepastian, bahwa keadaan ekonomi jadi
alat adanya pesawat. Siapa yang melihat film yang banyak sekali memberi
pelajaran itu, saya maksud “Edison the man” dia bisa pastikan, bagaimana
keadaan ekonomi, disini juga mengandung arti sempit, ialah keadaan ekonomi
Edison sendiri, dalam perusahaan listerik, kepunyaan dan di bawah pimpinannya
itu, memaksa dia mendapat pesawat yang baru.
Begitulah
juga tiap-tiap perusahaan dengan laboratoriumnya mencoba membentuk pesawat yang
baru, yang bisa mengadakan hasil lebih banyak, lebih cepat, lebih mufah dan
lebih tahan serta bagus.
Perang
itu bengis, memusnahkan jiwa muda, jiwa sehat kuat, dan berani dan banyak
mengandung pengarapan buat masyarakat, memusnahkan harta berjuta-juta,
memperdalam dendam kesumat satu Negara dengan Negara lain. Tetapi satu Negara
yang berperang dengan Rakyat Negara lain itu tak kenal-mengenal satu sama
lainnya. Janganlah pula bermusuhan. Bala hidup semacam itu sukur, diantara
orang Indonesia tidak sedikit yang mengerti, sudah tidak dianggap lagi sebagai
kemauan Tuhan. Perang itu semata-mata kemauan dan perbuatan manusia, dan boleh
dikehendaki dan diperhentikan oleh manusia pula. Perang tidak lain melainkan
penjelmaan persaiangan ekonomi yang terakhir: buat merebut pasar, merebut bahan
dan merebut tempat buat menanam kapital sendiri dengan aman dan untung banyak.
Perang ialah bentuk terakhir dari persaingan ekonomi. Disinilah pula terbentuk
sejelas-jelasnya kebenaran, bagaimana keadaan ekonomi itu (baca persaingan
kapitalisme) membentuk pesawat membunuh.
Ratusan
otak yang maha cerdas di Asia, Amerika dan Eropa pada ketika saya menulis buku
ini, dipakai oleh pemerintahnya masing-masing buat mendapatkan kapal terbang
yang lebih cepat terbang, cepat berputarnya dan berat serta jitu menembaknya.
Tank yang maha cepat, maha kebal dan maha tangkas tembakannya. Kapal penempur
yang maha kebal dan maha dahsyat tembakannya. Kapal selam yang bisa paling lama
di bawah laut dan paling jitu tembakannya.
Kini
saya mau teruskan uraian saya pada arah terakhir, dimana pesawat menjadi alat
adanya sifat Bumi dan Iklim Baru. Bukankah keadaan Bumi Jepang sebetulnya
berubah, sesudah tunel, tembusan, terowongan di bawah laut diantara Jepang dan
Korea diadakan? Bukankah keadaan bumi Inggris dan Eropa akan berubah, kalau
sekiranya idaman Napoleon lebih dari seratus tahun lalu dijalankan ? Bumi
Indonesia pun berubah. Rawa besar-besar di Sumatera Timur yang dahulu dengan
nyamuk anophelesnya, musuh besar bangsa Indonesia, sekarang sudah jadi tanah
yang subur dimana penduduk berkembang biak. Bumi Indonesia niscaya akan bisa
berubah, ya, dibentuk baru sama sekali. Tunggulah dengan sabar.
Begitu
juga negeri Belanda! Pesawat sudah cukup maju sehingga laut pun sudah ditukar
menjadi daratan. Tiada mustahil lagi bahwa iklim bisa dibantah. Dimana iklim
tiada memberi hujan, pesawat sudah bisa mengadakan hujan itu. Iklim itu sudah
bisa dibataskan dan kalau menurut teori saja dan tehnik saja sudah bisa
dibentuk. Sifat dan iklim tidak lagi sifat yang tak bisa dirubah, melainkan
sifat di bawah daerah perkakas. Cuma sang tempo saja sedikit meminta kesabaran.
Pasal
10. ICHTISAR.
Buat
membulatkan perlantunan dan perkenaan antara beberapa benda dasar Masyarakat
dengan Tata Jiwa, Idaman, Masyarakat itu, saya beri ichtisar dibawah ini :
Bagian
1. PERLANTUNAN BESAR ANTARA MASYARAKAT DAN PAHAM
Mula-mula
sesuatu masyarakat itu jadi alat adanya (condition) paham dan sampai pada satu
tingkat, mata paham tadi melantun menjadi alat adanya Masyarakat Baru.
Khususnya:
Pada permulaan, sesuatu masyarakat yang timbul pada sesuatu bagian bumi yang
mempunyai sifat dan iklim yang tentu, mengadakan sesuatu macam pesawat, sesuatu
macam ekonomi dan sesuatu macam klas yang berpolitik Negara. Masyarakat semacam
itu menjadi alat adanya tata jiwa, pemandangan, idaman dan impian masyarakat
itu. Pada satu ketika tata jiwa, pemandangan, idaman dan impian masyarakat jadi
melantun menjadi alat adanya klas berpolitik, ekonomi, pesawat, ya, Bumi dan
Iklim yang semuanya baru.
Misal
pertama: Masyarakat feodal Perancis sebelum tahun 1789 menjadi alat
adanya paham revolusioner, dan paham tadi pada tahun 1789 melantun menjadi
adanya masyarakat Borjuis (Kapitalisme).
Misal
kedua: Masyarakat semi-kapitalistis di Rusia sebelum tahun 1917 menjadi alat
adanya paham Komunistis dan paham ini akhirnya cukup mendapat pengikut buat
mengadakan masyarakat Soviet Rusia.
Bagian
2. PERLANTUNAN KECIL.
Sifat
Bumi dan Iklim yang menjadi alat adanya perkakas itu menjadi alat adanya
keadaan ekonomi, yakni perhubungan manusia dalam sesuatu cara penghasilan.
Sampai ke tingkat ini dengan perantaraan klas yang berkuasa, arah perkenaan
tadi membalik menjadi alat adanya perkakas baru dan sifat Bumi dan Iklim yang
baru.
Misal
: Keadaan Kapitalis menimbulkan persaingan antara satu kapitalis dengan
kapitalis lain, dan perbantahan antara Kapitalis dan Buruh. Persaingan dan
perbantahan itu jadi alat adanya perkakas baru yang lebih efficient. Perkakas
itu sekarang sudah sampai ke tingkat begitu tinggi, sampai sudah bisa menjadi
alat adanya Bumi baru. (Iktisar ini sebetulnya sudah termauk pada bagian 1,
diatas. Ditulis disini guna buat melebarkan arti bagian benda dari masyarakat).
Bagian
3. PERKENAAN (SATU ARAH).
Sifat
Bumi dan Iklim jadi alat adanya pesawat. Pesawat itu jadi alat adanya
perhubungan ekonomi. Perhubungan ekonomi itu menjadi alat adanya klas yang
berkuasa. Dua perkakas ini, yakni perhubungan Ekonomi dan Undang serta politik
klas yang berkuasa menjadi alat adanya Tata Jiwa beberapa klas dalam masyarakat
itu. Tata Jiwa itu akhirnya menjadi alat adanya pemandangan, cara berpikir,
idaman dan impian dunia beberapa klas dalam masyarakat itu.