Senin, 05 Mei 2014

Islam dan Politik



Islam dan Politik

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

Syari'ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.

Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.

Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.

Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.

Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.

Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.

Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.

Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.

Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.

Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.

Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.

Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.

Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi di Kendal, 4 Maret 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar