Kamis, 08 Mei 2014

ARTI MARHAENISME

ARTI MARHAENISME
 
BAB I PENDAHULUAN
.1. Latar Belakang
Marhaenisme bukanlah istilah yang baru dalam bahasa kehidupan sehari-hari terutama dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. Istilah Marhaenisme bahkan lebih tua dibandingkan dengan usia Republik Indonesia, karena istilah tersebut telah muncul pada masa sebelum diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia sebagai sebuah alat sekaligus teori perjuangan yang digunakan untuk mewujudkan kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, rezim orde baru memiliki peranan penting dalam upaya menghancurkan Soekarno berserta pemikirannya dengan mengkaitkannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi komunisnya . Orde baru Dan Soekarno adalah tokoh yang pertama kali mencetuskan istilah Marhaenisme. Karena Marhaenisme merupakan rumusan teori perjuangan Soekarno. maka dari itu, antara Soekarno dan Marhaenisme merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Namun dewasa ini, istilah tersebut sudah jarang terdengar apalagi untuk mengenal makna kata Marhaenisme. Istilah Marhaenisme mencapai puncak kepopulerannya pada saat Soekarno tampil di panggung politik serta memiliki kekuasaan sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Setelah Soekarno surut dari panggung politik, maka lambat laun istilah Marhaenisme jarang terdengar.
Istilah Marhaenisme pertama kali diawali dengan munculnya istilah Marhaen yang dicetuskan oleh Soekarno dalam pidato-pidatonya di berbagai tempat ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927, dan semakin sering dicetuskan oleh Soekarno pada tulisan-tulisannya di beberapa media cetak saat itu seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Rakyat, dan Pemandangan.
Universitas Sumatera Utara menjalankan upaya tersebut secara sistematis dan sangat intensif sehingga tidak hanya menghancurkan kekuatan Soekarno secara fisik, tetapi juga mental ideologis.
Salah satu bentuk operasionalnya adalah pendistorsian ideologi: dengan slogan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde baru membunuh makna kata sebenarnya dari Pancasila dan UUD 1945, antara lain melalui penataran P4. Disamping itu, dengan sengaja orde baru mengacaukan pengertian Marhaenisme, Marxisme, dan Komunisme. Bahkan Tap MPRS No. XXXIII tahun 1967 tentang pelarangan ajaran Bung Karno belum dicabut hingga kini
Marhaenisme sebagai teori perjuangan dirumuskan oleh Soekarno untuk membebaskan rakyat Indonesia saat itu dari penderitaan dan kesengsaraan akibat praktek feodalisme oleh bangsa sendiri dan kapitalisme, imperialisme dan Selain itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai kekuatan politik di luar Soekarno yang menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya, telah berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1975. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penting mengapa istilah Marhaenisme semakin jarang didengar kata maupun maknanya. Meskipun, sampai saat ini masih ada beberapa Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang masih menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya seperti Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Gerakan Rakyat Marhaen (GRM), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), namun peranan beberapa Ormas tersebut dalam panggung politik masih lemah, maka apa yang menjadi asas dan tujuan mereka pun kurang bergema dalam percaturan politik di Indonesia.
(Drs. Budi Mulia Bangun dalam Bagin, Pemahaman Saya Tentang Ajaran Bung Karno. Jilid I. Jakarta : KKJ Berdikari, 2004, hal vii).
Kolonialisme bangsa asing, terutama Belanda. Menurut Soekarno di dalam tulisannya yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”,Salah satu langkah konkret yang dijalankan Soekarno guna merealisasikan konsep Marhaenisme tersebut adalah dengan membentuk Partai Politik pada tahun 1927 yang kemudian dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI). Untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tersebut, Soekarno menegaskan bahwa PNI harus menyusun massa aksi dan bersikap non kooperasi terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Soekarno meyakini hanya dengan cara tersebut kemerdekaan dapat diraih. Namun ketika imperialisme Belanda berganti kepada imperialisme Jepang, sikap dan cara tersebut diubah oleh Soekarno. Soekarno justru bekerja sama dengan pemerintah Kolonial Jepang. Hal tersebut banyak menuai kontroversi. Meskipun dihujat oleh beberapa kalangan radikal, Soekarno meyakini bahwa pilihan untuk bekerja sama dengan Jepang adalah cara paling baik untuk dijelaskan bahwa untuk membebaskan diri dari sistem yang menciptakan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia tersebut adalah dengan jalan revolusi kemerdekaan. Kemudian setelah kemerdekaan diraih maka jalannya revolusi diarahkan pada pembangunan suatu masyarakat yang adil dan makmur tanpa sistem yang menindas tersebut. Untuk mencapai kemerdekaan dan masyarakat yang adil dan makmur maka harus disusun suatu metode dan cara perjuangan yang revolusioner pula. Maka dari itulah Soekarno merumuskan Marhaenisme sebagai teori perjuangan untuk mencapai cita-cita tersebut.memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mencoba merasionalisasikan bahwa kekuatan Jepang diperlukan guna mempersiapkan revolusi.
(Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 257).
Namun, akibat kebijakan-kebijakannya yang anti kapitalisme, Soekarno menjadi musuhnya kaum yang menjalankan sistem penindasan tersebut. Kaum kapitalis baik domestik maupun asing menilai kebijakan Soekarno tersebut mengancam eksistensi sistem kapitalisme yang tentunya juga mengancam Kemudian setelah kemerdekaan berhasil diraih, dan Soekarno pun secara aklamasi diangkat menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno tidak mengatakan bahwa kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme telah lenyap seiring berhasil direbutnya kemerdekaan dari tangan imperialis. Soekarno semakin lantang meneriakkan anti kapitalisme dalam bentuk apa pun. Soekarno sendiri, tidak menyia-nyiakan kesempatannya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menerapkan pemikirannya tentang Marhaenisme tersebut ke dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti dalam bidang politik menetapkan Demokrasi Terpimpin sebagai landasan politik dan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama Komunis) dan lain sebagainya. Dalam bidang ekonomi, Soekarno mencetuskan kebijakan pembangunan semesta berencana dengan landasan ekonomi berdikari. Bahkan dalam hubungan internasional, Soekarno berani menyatakan Indonesia keluar dari PBB karena dinilai lembaga internasional tersebut menjadi kaki tangannya kaum kapitalis. Kemudian dalam setiap kesempatannya tampil di muka umum, Soekarno tidak pernah lupa untuk mengajak rakyat untuk tetap bersatu melawan sistem yang menindas tersebut dalam bentuk apa pun dengan menjalankan cara perjuangan Marhaenisme.
(Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta : PT. Gunung Agung, 1966, hal. 217).
Eksitensi mereka. Akhirnya, Soekarno pun berhasil dijatuhkan melalui suatu upaya konspirasi kapitalis asing dan kompradornya di dalam negeri dengan menuduh Soekarno bertanggung jawab sebagai pimpinan tertinggi dalam Republik Indonesia atas peristiwa G 30 S/1965 yang merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira Tentara Nasional Indonesia sehingga memicu pertumpahan darah dan perang saudara diantara rakyat Indonesia. Setelah Soekarno jatuh dari kekuasaannya dan akhirnya wafat, tidak ada lagi kekuatan politik yang mampu menggantikan Soekarno untuk terus mempraktekkan cara perjuangan Marhaenisme dengan tidak memberikan tempat bagi tumbuh suburnya kapitalisme di Indonesia. Rezim setelah Soekarno, atau lebih dikenal dengan orde baru yang dipimpin Soeharto justru menjalankan kebijakan yang bertolak belakang dengan apa yang telah dirumuskan oleh Soekarno sebelumnya.
Di luar Indonesia, kapitalisme tengah mengalami suatu perkembangan pasca Perang Dunia II. Praktek imperialisme secara fisik tidak lagi diterapkan, namun modus dominasi penjajahan tetap dilanggengkan dengan cara yang lebih halus yakni dengan membantu pembangunan negera-negara yang baru merdeka. Era tersebut dikenal sebagai era developmentalism.
Dalam konteks ini, kapitalisme dalam cara produksinya menjaga kelanggengannya dengan menguasai baik secara geopolitik maupun ekonomi negara-negara koloni sebagai daerah ekspiloitasi sekaligus sebagai pasar produksinya. Konsep penjajahan dilakukan secara halus yakni dengan cara tetap menjaga hegemoni atau dominasi cara pandang dan ideologi yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam era ini. Negara-negara yang baru merdeka pasca perang dunia II adalah bekas negara koloni yang tetap dijadikan obyek pasar kapitalis dengan menjalankan pembangunan berupa donasi (finansial) dan alih teknologi di negara koloni tersebut namun pada kenyataannya berusaha menciptakan ketergantungan. Negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan adalah yang banyak mengalami ketergantungan pada negara-negara maju (kapitalis).
(Awalil Rizky, dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta : E Publishing, 2008, hal. 221).
Perkembangan yang lebih mendasar adalah mengenai peranan lembaga-lembaga internasional sebagai alat kaum kapitalis. Sebelum abad 20, alat utama kaum kapitalis adalah negara nasional (nation state), selain korporasi (perusahaan) mereka sendiri. Berikutnya, korporasi mereka tumbuh pesat dengan surplus ekonomi yang sangat besar, sehingga menjadi perusahaan multinasional atau Multi-National Corporations (MNCs) dan perusahaan transnasional atau Trans-National Corporations (TNCs). Ada juga lembaga-lembaga internasional lain yang dikemas sedemikian rupa sesuai fungsi dan peranannya, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan sebagainya yang pada dasarnya dibentuk sebagai instrumen kapitalisme global. Pada era ini, dapat dikatakan kapitalisme telah menjadi mainstreams (arus utama) dan mendominasi hampir seluruh negara-negara di dunia melalui peran lembaga-lembaga internasional tersebut terhadap negara-negara di dunia bahkan hingga dewasa ini.
Konsep pembangunan tersebutlah yang menjadi rujukan rezim orde baru dalam menyelenggarakan pemerintahan di Indonesia. Artinya di masa rezim orde baru, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan mendukung tumbuh suburnya kapitalisme di Indonesia. Salah satu kebijakan yang paling mendasar adalah lahirnya Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Secara positif, kebijakan tersebut disambut oleh para investor asing untuk menanamkan modalnya secara lebih leluasa setelah sebelumnya tidak mendapatkan tempat untuk mengoperasikan modalnya bahkan dinasionalisasi pada masa pemerintahan Soekarno. Selain itu, intervensi bahkan dominasi lembaga-lembaga internasional seperti IMF, IGGI, CGI, dan sebagainya sangat kuat dalam memberikan arahan dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan melakukan liberalisasi di berbagai sektor.
Rezim developmentalisme orde baru akhirnya berakhir ketika terjadi krisis moneter tahun 1997. Banyak argumentasi yang bermunculan dan saling silang pendapat seputar penyebab krisis tersebut baik dari pemerintah, lembaga-lembaga internasional, pengamat, maupun dari masyarakat awam. Kalangan ekonom mainstreams yang dimotori oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan sebagainya menilai bahwa penyebab krisis adalah dari internal dalam negeri Indonesia seperti adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang parah, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian, adanya kesalahan strategi pembangunan ekonomi orde baru, dan semacamnya. Sedangkan faktor eksternal hanyalah pemicu saja. Maka dari itu, mereka memberikan solusi agar kebijakan pemerintah harus lebih kapitalistis terutama kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi kepada pasar serta lebih terbuka dengan pihak asing dalam segala aspek.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan pemerintah Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya, bahkan semakin liberal. Ada istilah baru dalam negeri Indonesia di era reformasi yakni neoliberalisme. Kebijakan pemerintah Indonesia dikatakan mengadopsi konsep neoliberalisme akibat tunduknya pemerintah di hadapan lembaga-lembaga internasional terutama IMF dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan lembaga internasional tersebut. Antara lain di bidang ekonomi ada istilah kebijakan privatisasi, deregulasi, dan sebagainya; di bidang politik, menggemanya wacana demokratisasi, otonomi daerah, good governance and clean governance, dan sebagainya; serta di bidang-bidang lainnya seperti kewajiban masuk dan terlibat aktifnya Indonesia ke dalam World Trade Organization (WTO) bahkan hingga melakukan amandemen konstitusi dasar UUD 1945. Namun kenyataan yang dialami rakyat tidaklah mengalami perubahan yang signifikan atas nasib mereka melalui segala macam istilah kebijakan yang menjadi propaganda kapitalisme global tersebut. Data Badan Pusat Statistik tahun 2007 saja menunjukkan dari 230 juta lebih penduduk Indonesia, sekitar 20 % penduduk Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan. Lebih dari 10 % penduduk usia kerja terpaksa menjadi pengangguran. Sementara utang luar negeri Indonesia masih menumpuk. Data Bank Indonesia per 31 Maret 2008 menunjukkan total utang luar negeri Indonesia mencapai USD 145,47 milyar. Ketika ada upaya-upaya dari beberapa kalangan yang mengkritisi dan melalukan gerakan untuk menentang sistem kapitalisme melalui berbagai tindakan yang berusaha menciptakan suatu perubahan mendasar, upaya tersebut berhasil dipatahkan atau hilang dengan sendirinya karena sifatnya yang pragmatis, konservatif atau terlalu sektarian. Mengutip perkataan Soekarno, bahwa tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori yang revolusioner, maka penulis berusaha mengangkat kembali teori atau ideologi yang pernah besar di masa kebesaran Soekarno yaitu Marhaenisme sebagai antitesis sekaligus sintesis atas tantangan zaman di era kapitalisme saat itu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian analitis terhadap relevansi teori marhaenisme dalam menjawab tantangan zaman di era kapitalisme global dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar