ARTI MARHAENISME
BAB I PENDAHULUAN
.1. Latar Belakang
Marhaenisme bukanlah istilah yang baru dalam bahasa kehidupan sehari-hari terutama dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. Istilah Marhaenisme bahkan lebih tua dibandingkan dengan usia Republik Indonesia, karena istilah tersebut telah muncul pada masa sebelum diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia sebagai sebuah alat sekaligus teori perjuangan yang digunakan untuk mewujudkan kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Marhaenisme bukanlah istilah yang baru dalam bahasa kehidupan sehari-hari terutama dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. Istilah Marhaenisme bahkan lebih tua dibandingkan dengan usia Republik Indonesia, karena istilah tersebut telah muncul pada masa sebelum diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia sebagai sebuah alat sekaligus teori perjuangan yang digunakan untuk mewujudkan kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, rezim orde baru memiliki
peranan penting dalam upaya menghancurkan Soekarno berserta pemikirannya
dengan mengkaitkannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi
komunisnya . Orde baru Dan Soekarno adalah tokoh yang pertama kali
mencetuskan istilah Marhaenisme. Karena Marhaenisme merupakan rumusan
teori perjuangan Soekarno. maka dari itu, antara Soekarno dan
Marhaenisme merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Namun
dewasa ini, istilah tersebut sudah jarang terdengar apalagi untuk
mengenal makna kata Marhaenisme. Istilah Marhaenisme mencapai puncak
kepopulerannya pada saat Soekarno tampil di panggung politik serta
memiliki kekuasaan sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Setelah
Soekarno surut dari panggung politik, maka lambat laun istilah
Marhaenisme jarang terdengar.
Istilah Marhaenisme pertama kali diawali
dengan munculnya istilah Marhaen yang dicetuskan oleh Soekarno dalam
pidato-pidatonya di berbagai tempat ketika memimpin Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada tahun 1927, dan semakin sering dicetuskan oleh
Soekarno pada tulisan-tulisannya di beberapa media cetak saat itu
seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Rakyat, dan Pemandangan.
Universitas Sumatera Utara menjalankan upaya tersebut secara sistematis dan sangat intensif sehingga tidak hanya menghancurkan kekuatan Soekarno secara fisik, tetapi juga mental ideologis.
Universitas Sumatera Utara menjalankan upaya tersebut secara sistematis dan sangat intensif sehingga tidak hanya menghancurkan kekuatan Soekarno secara fisik, tetapi juga mental ideologis.
Salah satu bentuk operasionalnya adalah
pendistorsian ideologi: dengan slogan melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Orde baru membunuh makna kata
sebenarnya dari Pancasila dan UUD 1945, antara lain melalui penataran
P4. Disamping itu, dengan sengaja orde baru mengacaukan pengertian
Marhaenisme, Marxisme, dan Komunisme. Bahkan Tap MPRS No. XXXIII tahun
1967 tentang pelarangan ajaran Bung Karno belum dicabut hingga kini
Marhaenisme sebagai teori perjuangan
dirumuskan oleh Soekarno untuk membebaskan rakyat Indonesia saat itu
dari penderitaan dan kesengsaraan akibat praktek feodalisme oleh bangsa
sendiri dan kapitalisme, imperialisme dan Selain itu, Partai Nasional
Indonesia (PNI) sebagai kekuatan politik di luar Soekarno yang
menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya, telah berfusi ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia pada tahun 1975. Hal tersebut merupakan salah satu
faktor penting mengapa istilah Marhaenisme semakin jarang didengar kata
maupun maknanya. Meskipun, sampai saat ini masih ada beberapa Ormas
(Organisasi Kemasyarakatan) yang masih menggunakan Marhaenisme sebagai
asasnya seperti Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Gerakan Rakyat Marhaen
(GRM), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), namun peranan
beberapa Ormas tersebut dalam panggung politik masih lemah, maka apa
yang menjadi asas dan tujuan mereka pun kurang bergema dalam percaturan
politik di Indonesia.
(Drs. Budi Mulia Bangun dalam Bagin, Pemahaman Saya Tentang Ajaran Bung Karno. Jilid I. Jakarta : KKJ Berdikari, 2004, hal vii).
Kolonialisme bangsa asing, terutama Belanda. Menurut Soekarno di
dalam tulisannya yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”,Salah satu
langkah konkret yang dijalankan Soekarno guna merealisasikan konsep
Marhaenisme tersebut adalah dengan membentuk Partai Politik pada tahun
1927 yang kemudian dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI). Untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia tersebut, Soekarno menegaskan bahwa PNI
harus menyusun massa aksi dan bersikap non kooperasi terhadap pemerintah
Kolonial Belanda. Soekarno meyakini hanya dengan cara tersebut
kemerdekaan dapat diraih. Namun ketika imperialisme Belanda berganti
kepada imperialisme Jepang, sikap dan cara tersebut diubah oleh
Soekarno. Soekarno justru bekerja sama dengan pemerintah Kolonial
Jepang. Hal tersebut banyak menuai kontroversi. Meskipun dihujat oleh
beberapa kalangan radikal, Soekarno meyakini bahwa pilihan untuk bekerja
sama dengan Jepang adalah cara paling baik untuk dijelaskan bahwa untuk
membebaskan diri dari sistem yang menciptakan kesengsaraan bagi rakyat
Indonesia tersebut adalah dengan jalan revolusi kemerdekaan. Kemudian
setelah kemerdekaan diraih maka jalannya revolusi diarahkan pada
pembangunan suatu masyarakat yang adil dan makmur tanpa sistem yang
menindas tersebut. Untuk mencapai kemerdekaan dan masyarakat yang adil
dan makmur maka harus disusun suatu metode dan cara perjuangan yang
revolusioner pula. Maka dari itulah Soekarno merumuskan Marhaenisme
sebagai teori perjuangan untuk mencapai cita-cita
tersebut.memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mencoba
merasionalisasikan bahwa kekuatan Jepang diperlukan guna mempersiapkan
revolusi.
(Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 257).
Namun, akibat kebijakan-kebijakannya yang
anti kapitalisme, Soekarno menjadi musuhnya kaum yang menjalankan sistem
penindasan tersebut. Kaum kapitalis baik domestik maupun asing menilai
kebijakan Soekarno tersebut mengancam eksistensi sistem kapitalisme yang
tentunya juga mengancam Kemudian setelah kemerdekaan berhasil diraih,
dan Soekarno pun secara aklamasi diangkat menjadi Presiden pertama
Republik Indonesia, Soekarno tidak mengatakan bahwa kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme telah lenyap seiring berhasil direbutnya
kemerdekaan dari tangan imperialis. Soekarno semakin lantang meneriakkan
anti kapitalisme dalam bentuk apa pun. Soekarno sendiri, tidak
menyia-nyiakan kesempatannya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk
menerapkan pemikirannya tentang Marhaenisme tersebut ke dalam
kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti dalam bidang politik menetapkan
Demokrasi Terpimpin sebagai landasan politik dan konsep Nasakom
(Nasionalis, Agama Komunis) dan lain sebagainya. Dalam bidang ekonomi,
Soekarno mencetuskan kebijakan pembangunan semesta berencana dengan
landasan ekonomi berdikari. Bahkan dalam hubungan internasional,
Soekarno berani menyatakan Indonesia keluar dari PBB karena dinilai
lembaga internasional tersebut menjadi kaki tangannya kaum kapitalis.
Kemudian dalam setiap kesempatannya tampil di muka umum, Soekarno tidak
pernah lupa untuk mengajak rakyat untuk tetap bersatu melawan sistem
yang menindas tersebut dalam bentuk apa pun dengan menjalankan cara
perjuangan Marhaenisme.
(Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta : PT. Gunung Agung, 1966, hal. 217).
Eksitensi mereka. Akhirnya, Soekarno pun
berhasil dijatuhkan melalui suatu upaya konspirasi kapitalis asing dan
kompradornya di dalam negeri dengan menuduh Soekarno bertanggung jawab
sebagai pimpinan tertinggi dalam Republik Indonesia atas peristiwa G 30
S/1965 yang merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira Tentara
Nasional Indonesia sehingga memicu pertumpahan darah dan perang saudara
diantara rakyat Indonesia. Setelah Soekarno jatuh dari kekuasaannya dan
akhirnya wafat, tidak ada lagi kekuatan politik yang mampu menggantikan
Soekarno untuk terus mempraktekkan cara perjuangan Marhaenisme dengan
tidak memberikan tempat bagi tumbuh suburnya kapitalisme di Indonesia.
Rezim setelah Soekarno, atau lebih dikenal dengan orde baru yang
dipimpin Soeharto justru menjalankan kebijakan yang bertolak belakang
dengan apa yang telah dirumuskan oleh Soekarno sebelumnya.
Di luar Indonesia, kapitalisme tengah
mengalami suatu perkembangan pasca Perang Dunia II. Praktek imperialisme
secara fisik tidak lagi diterapkan, namun modus dominasi penjajahan
tetap dilanggengkan dengan cara yang lebih halus yakni dengan membantu
pembangunan negera-negara yang baru merdeka. Era tersebut dikenal
sebagai era developmentalism.
Dalam konteks ini, kapitalisme dalam cara
produksinya menjaga kelanggengannya dengan menguasai baik secara
geopolitik maupun ekonomi negara-negara koloni sebagai daerah
ekspiloitasi sekaligus sebagai pasar produksinya. Konsep penjajahan
dilakukan secara halus yakni dengan cara tetap menjaga hegemoni atau
dominasi cara pandang dan ideologi yang dominan melalui produksi
pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam era ini.
Negara-negara yang baru merdeka pasca perang dunia II adalah bekas
negara koloni yang tetap dijadikan obyek pasar kapitalis dengan
menjalankan pembangunan berupa donasi (finansial) dan alih teknologi di
negara koloni tersebut namun pada kenyataannya berusaha menciptakan
ketergantungan. Negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan adalah yang banyak mengalami ketergantungan pada negara-negara
maju (kapitalis).
(Awalil Rizky, dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta : E Publishing, 2008, hal. 221).
Perkembangan yang lebih mendasar adalah
mengenai peranan lembaga-lembaga internasional sebagai alat kaum
kapitalis. Sebelum abad 20, alat utama kaum kapitalis adalah negara
nasional (nation state), selain korporasi (perusahaan) mereka sendiri.
Berikutnya, korporasi mereka tumbuh pesat dengan surplus ekonomi yang
sangat besar, sehingga menjadi perusahaan multinasional atau
Multi-National Corporations (MNCs) dan perusahaan transnasional atau
Trans-National Corporations (TNCs). Ada juga lembaga-lembaga
internasional lain yang dikemas sedemikian rupa sesuai fungsi dan
peranannya, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International
Monetery Fund (IMF), World Bank, dan sebagainya yang pada dasarnya
dibentuk sebagai instrumen kapitalisme global. Pada era ini, dapat
dikatakan kapitalisme telah menjadi mainstreams (arus utama) dan
mendominasi hampir seluruh negara-negara di dunia melalui peran
lembaga-lembaga internasional tersebut terhadap negara-negara di dunia
bahkan hingga dewasa ini.
Konsep pembangunan tersebutlah yang menjadi
rujukan rezim orde baru dalam menyelenggarakan pemerintahan di
Indonesia. Artinya di masa rezim orde baru, kebijakan-kebijakan yang
dirumuskan mendukung tumbuh suburnya kapitalisme di Indonesia. Salah
satu kebijakan yang paling mendasar adalah lahirnya Undang-Undang
tentang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Secara positif, kebijakan
tersebut disambut oleh para investor asing untuk menanamkan modalnya
secara lebih leluasa setelah sebelumnya tidak mendapatkan tempat untuk
mengoperasikan modalnya bahkan dinasionalisasi pada masa pemerintahan
Soekarno. Selain itu, intervensi bahkan dominasi lembaga-lembaga
internasional seperti IMF, IGGI, CGI, dan sebagainya sangat kuat dalam
memberikan arahan dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan
melakukan liberalisasi di berbagai sektor.
Rezim developmentalisme orde baru akhirnya
berakhir ketika terjadi krisis moneter tahun 1997. Banyak argumentasi
yang bermunculan dan saling silang pendapat seputar penyebab krisis
tersebut baik dari pemerintah, lembaga-lembaga internasional, pengamat,
maupun dari masyarakat awam. Kalangan ekonom mainstreams yang dimotori
oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan
sebagainya menilai bahwa penyebab krisis adalah dari internal dalam
negeri Indonesia seperti adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
yang parah, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian, adanya
kesalahan strategi pembangunan ekonomi orde baru, dan semacamnya.
Sedangkan faktor eksternal hanyalah pemicu saja. Maka dari itu, mereka
memberikan solusi agar kebijakan pemerintah harus lebih kapitalistis
terutama kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi kepada pasar serta
lebih terbuka dengan pihak asing dalam segala aspek.
Pasca krisis moneter, memasuki era
reformasi, ternyata kebijakan pemerintah Indonesia tidak bergeser
sedikitpun dari pola sebelumnya, bahkan semakin liberal. Ada istilah
baru dalam negeri Indonesia di era reformasi yakni neoliberalisme.
Kebijakan pemerintah Indonesia dikatakan mengadopsi konsep
neoliberalisme akibat tunduknya pemerintah di hadapan lembaga-lembaga
internasional terutama IMF dengan mengikuti garis-garis yang telah
ditentukan lembaga internasional tersebut. Antara lain di bidang ekonomi
ada istilah kebijakan privatisasi, deregulasi, dan sebagainya; di
bidang politik, menggemanya wacana demokratisasi, otonomi daerah, good
governance and clean governance, dan sebagainya; serta di bidang-bidang
lainnya seperti kewajiban masuk dan terlibat aktifnya Indonesia ke dalam
World Trade Organization (WTO) bahkan hingga melakukan amandemen
konstitusi dasar UUD 1945. Namun kenyataan yang dialami rakyat tidaklah
mengalami perubahan yang signifikan atas nasib mereka melalui segala
macam istilah kebijakan yang menjadi propaganda kapitalisme global
tersebut. Data Badan Pusat Statistik tahun 2007 saja menunjukkan dari
230 juta lebih penduduk Indonesia, sekitar 20 % penduduk Indonesia masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Lebih dari 10 % penduduk usia kerja
terpaksa menjadi pengangguran. Sementara utang luar negeri Indonesia
masih menumpuk. Data Bank Indonesia per 31 Maret 2008 menunjukkan total
utang luar negeri Indonesia mencapai USD 145,47 milyar. Ketika ada
upaya-upaya dari beberapa kalangan yang mengkritisi dan melalukan
gerakan untuk menentang sistem kapitalisme melalui berbagai tindakan
yang berusaha menciptakan suatu perubahan mendasar, upaya tersebut
berhasil dipatahkan atau hilang dengan sendirinya karena sifatnya yang
pragmatis, konservatif atau terlalu sektarian. Mengutip perkataan
Soekarno, bahwa tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori
yang revolusioner, maka penulis berusaha mengangkat kembali teori atau
ideologi yang pernah besar di masa kebesaran Soekarno yaitu Marhaenisme
sebagai antitesis sekaligus sintesis atas tantangan zaman di era
kapitalisme saat itu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian analitis terhadap relevansi teori marhaenisme dalam menjawab
tantangan zaman di era kapitalisme global dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar