Senin, 05 Mei 2014

Pancasila dalam pandangan Islam



Pancasila dalam pandangan Islam
Akhir-akhir ini banyak bermunculan upaya-upaya yang dilakukan baik oleh golongan yang pro maupun yang kontra terhadap keberadaan Pancasila. M. Syafi’i Anwar mengklasifikasikan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum muslimin, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia. Pertama, Substantif-Inklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik, apalagi kenegaraan. Kedua, Legal-Eksklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam bukah hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.
Dua kelompok besar ini juga tampak secara jelas di negara Indonesia. Satu kelompok yang berupaya keras untuk mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi pondasi NKRI, dan kelompok lainnya getol dan rutin selalu mengobarkan semangat tentang konsep negara Islam (dan al-Qur’an) sebagai pilar negara Indonesia.
Makalah ini mencoba untuk memaparkan secara singkat tentang Pancasila dalam pandangan Islam, pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI, pandangan Islam terhadap kesanggupan Pancasila dalam menjawab problematika bangsa, dan konsepsi Islam dalam penerapan ideologi bangsa.
a. Pancasila dalam pandangan Islam
Dalam suatu negara dibutuhkan suatu tata aturan yang bisa mengakomodir seluruh masyarakat di bawah naungan negara tersebut.
Demikian halnya dengan Indonesia sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah bahwa sejak lama Pancasila telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Pancasila dirasa sangat sesuai dan tepat untuk mengakomodir seluruh ras, suku bangsa, dan agama yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.
Ketuhanan Yang Maha Esa. al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan (misalkan QS. al-Baqarah: 163). Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata. Namun, dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan dan bersikap adil (Qs. al-Maa’idah: 8). Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam.
Persatuan Indonesia. Semua agama termasuk Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersatu dan menjaga kesatuan dan persatuan (Qs. Ali Imron: 103).
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Pancasila dalam sila keempat ini selaras dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam selalu mengajarkan untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Shaad: 20) dan selalu menekankan untuk menyelesaikannya dalam suasana demokratis (Ali Imron: 159).
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila yang menggambarkan terwujudnya rakyat adil, makmur, aman dan damai. Hal ini disebutkan dalam surat al-Nahl ayat 90.
Namun, di sisi lain Hizbut Tahrir Indonesia (Zahro, 2006:98-99) secara tegas menolak keabsahan UUD 1945. Asas demikrasi yang dianut oleh UUD 1945 merupakan titik awal penolakan mereka terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Mereka memandang UUD 1945 dan Pancasila tidak sesuai dengan nurani ajaran al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1. Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang untuk menetapkan hukum atas segala perbuatan adalah akal manusia. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam, di mana yang berwenang menetapkan segala hukum adalah Allah, bukan akal.
2. Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini memang tidak mengingkari eksistensi agama, namun ia menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Konsekuensinya adalah akidah ini memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan kehidupannya sendiri.
3. Ide pokok demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat sebagai sumber kedaulatan, menyebabkan rakyat dapat menetapkan konstitusi, peraturan dan undang-undang apapun berdasarkan pertimbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan yang mereka perlukan. Dengan begitu, rakyat melalui para wakilnya berhak melegalkan perbuatan murtad, keyakinan paganisme atau animisme, perzinahan, homoseksual, dan perbuatan lainnya yang diharamkan oleh syari’at Islam.
4. Asas nasionalisme yang terkandung pada UUD 1945 merupakan bagian dari ta’assub (kefanatikan) yang dilarang dalam Islam. Semua aktivitas politik umat Islam seharusnya ditujukan untuk kejayaan Islam dan umatnya secara universal. Nasionalisme secara tidak langsung memecah-belah kesatuan teritorial Islam yang universal.
b. Pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI
Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, Islam harus dijalankan secara kaffah, menyeluruh, total dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memandang bahwa penegakkan syari’at Islam tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia harus mutlak dan segera untuk diterapkan. Untuk itu, Hizbut Tahrir tidak mengenal adanya tadarruj (penahapan) dalam proses penerapan syari’at Islam dalam suatu wilayah muslim. Hal ini didasarkan pada Qs. al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Hizbut Tahrir memandang bahwa setelah turunnya ayat ini, kaum muslimin dituntut secara global untuk melaksanakan dan menerapkan seluruh hukum Islam secara penuh.
Menurut Hizbut Tahrir, kegamangan negara-negara muslim dalam mengaplikasikan hukum-hukum Islam secara kaffah sebagaimana konsep mereka di atas, adalah disebabkan oleh pengaruh-pengaruh ideologi penjajah Barat yang berupa sosialisme, kapitalisme dan demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa pendirian Daulah Islamiyah merupakan syarat yang utama untuk melestarikan dan menjamin berlakunya hukum Islam secara kaffah. Tanpa itu, maka syari’at Islam tidak dapat lestari dan terjamin penerapannya dalam setiap aspek kehidupan. Daulah Islamiyah itu sendiri mempunyai beberapa aspek pokok yaitu: al-Khalifah, al-Mu’awinun (para pembantu Khalifah), al-Wulat (para Gubernur), al-Qudat (para hakim), al-Jihaz al-Idary (aparat administrasi negara), al-Jaisy (angkatan bersenjata) dan Majlis al-Shura. Kesemua aspek-aspek pokok dalam Daulah Islamiyah tersebut harus ada secara sempurna. Namun jika salah satu dari aspek-aspek Daulah Islamiyah tersebut tidak ada, maka hal tersebut tidak menjadi masalah selama sang Khalifah masih ada, karena menurut Hizbut Tahrir, Khalifah tunggal merupakan aspek yang utama dalam pendirian Daulah Islamiyah, tanpanya Daulah Islamiyah tidak bisa berdiri. (Zahro, 2006: 97-98)
Namun, satu kesulitan terbesar yang akan dihadapi oleh konsep Daulah Islamiyah adalah negara Indonesia yang majemuk, yang hidup didalamnya berbagai ras, suku bangsa dan agama. Sehingga ketika Daulah Islamiyah benar-benar diterapkan dan konsekuensinya adalah aturan-aturan dan perundang-undangan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits pun diaplikasikan, maka yang terjadi adalah tabrakan dan benturan pemahaman antara Islam dengan agama-agama lain, yang mana hal ini akan semakin memicu permasalahan yang semakin besar.
Islam dalam pandangan yang lebih egaliter menilai bahwa Pancasila mampu untuk mengakomodir berbagai bentuk keanekaragaman di Indonesia. Dalam semua sila Pancasila berbagai etnis bangsa dapat terayomi. Demikian halnya dengan agama-agama yang ada di Indonesia. Dan hendaknya Pancasila dipelajari dengan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar menjadi hapalan wajib saja.
al-Qur’an menjelaskan bahwa hidup adalah untuk berta’abbud, beribadah kepada Yang Maha Esa (Qs. ad-Dzariyat: 56). Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya dilakukan dalam ritual resmi sholat saja, melainkan dalam berbagai bidang kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud. Sehingga ketika kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya adalah keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap alam; kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha untuk menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada dasarnya Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang dalam segala hal.
Hal ini selaras dengan apa yang tercermin dalam sila Pancasila. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menjadi core dari semua sila Pancasila lainnya. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab diterapkan dengan dilandasi oleh sila pertama. Sila persatuan Indonesia harus dilaksanakan atas dasar sila pertama. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan juga dilandasi oleh sila pertama. Dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun demikian (Tafsir, 2007).
Dengan demikian Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia, sehingga tidak mungkin dipaksakan konsep khilafah untuk diterapkan di negeri ini. Indonesia bukan negara Islam, dan Islam pun tidak memerintahkan untuk menciptakan negara Islam. Nabi Saw. telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada kita tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah. Bahkan dalam suatu sabda beliau: Antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian). Mengenai urusan keduniaan kita diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi oleh ta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini niscaya kehidupan yang kita jalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.
Rujukan:
  • Zahro, Ahmad, at. al., Antologi Kajian Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006.
  • Tafsir, Ahmad. Filasafat Ilmu, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar