Pancasila dalam pandangan Islam
Akhir-akhir
ini banyak bermunculan upaya-upaya yang dilakukan baik oleh golongan yang pro
maupun yang kontra terhadap keberadaan Pancasila. M. Syafi’i Anwar
mengklasifikasikan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia
kaum muslimin, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri tentang Islam
sebagai dasar negara Indonesia. Pertama, Substantif-Inklusif,
yang memandang dan meyakini bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan
konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik, apalagi kenegaraan. Kedua,
Legal-Eksklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam bukah hanya
agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal
dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan
kehidupan umat manusia.
Dua
kelompok besar ini juga tampak secara jelas di negara Indonesia. Satu kelompok
yang berupaya keras untuk mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi pondasi
NKRI, dan kelompok lainnya getol dan rutin selalu mengobarkan semangat tentang
konsep negara Islam (dan al-Qur’an) sebagai pilar negara Indonesia.
Makalah
ini mencoba untuk memaparkan secara singkat tentang Pancasila dalam pandangan
Islam, pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI, pandangan Islam
terhadap kesanggupan Pancasila dalam menjawab problematika bangsa, dan konsepsi
Islam dalam penerapan ideologi bangsa.
a.
Pancasila dalam pandangan Islam
Dalam
suatu negara dibutuhkan suatu tata aturan yang bisa mengakomodir seluruh
masyarakat di bawah naungan negara tersebut.
Demikian
halnya dengan Indonesia sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah bahwa
sejak lama Pancasila telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan
agama yang ada di Indonesia. Pancasila dirasa sangat sesuai dan tepat untuk
mengakomodir seluruh ras, suku bangsa, dan agama yang ada di Indonesia. Hal ini
dibuktikan bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan apa yang telah tergaris
dalam al-Qur’an.
Ketuhanan
Yang Maha Esa. al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
mengesakan Tuhan (misalkan QS. al-Baqarah: 163). Dalam kacamata Islam, Tuhan
adalah Allah semata. Namun, dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang
mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan dan bersikap adil (Qs.
al-Maa’idah: 8). Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap
adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam.
Persatuan
Indonesia. Semua agama
termasuk Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersatu dan menjaga
kesatuan dan persatuan (Qs. Ali Imron: 103).
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Pancasila dalam sila keempat ini
selaras dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam selalu mengajarkan untuk selalu
bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Shaad: 20) dan
selalu menekankan untuk menyelesaikannya dalam suasana demokratis (Ali Imron:
159).
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila yang menggambarkan terwujudnya rakyat adil, makmur, aman dan damai. Hal
ini disebutkan dalam surat al-Nahl ayat 90.
Namun,
di sisi lain Hizbut Tahrir Indonesia (Zahro, 2006:98-99) secara tegas menolak
keabsahan UUD 1945. Asas demikrasi yang dianut oleh UUD 1945 merupakan titik
awal penolakan mereka terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Mereka memandang UUD
1945 dan Pancasila tidak sesuai dengan nurani ajaran al-Qur’an. Hal ini
didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1.
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang
untuk menetapkan hukum atas segala perbuatan adalah akal manusia. Hal ini
sangat bertentangan dengan Islam, di mana yang berwenang menetapkan segala
hukum adalah Allah, bukan akal.
2.
Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan
agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini memang tidak mengingkari eksistensi
agama, namun ia menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara.
Konsekuensinya adalah akidah ini memberikan kewenangan kepada manusia untuk
membuat peraturan kehidupannya sendiri.
3.
Ide pokok demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat sebagai sumber
kedaulatan, menyebabkan rakyat dapat menetapkan konstitusi, peraturan dan
undang-undang apapun berdasarkan pertimbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan
yang mereka perlukan. Dengan begitu, rakyat melalui para wakilnya berhak
melegalkan perbuatan murtad, keyakinan paganisme atau animisme, perzinahan,
homoseksual, dan perbuatan lainnya yang diharamkan oleh syari’at Islam.
4.
Asas nasionalisme yang terkandung pada UUD 1945 merupakan bagian dari ta’assub
(kefanatikan) yang dilarang dalam Islam. Semua aktivitas politik umat Islam
seharusnya ditujukan untuk kejayaan Islam dan umatnya secara universal. Nasionalisme
secara tidak langsung memecah-belah kesatuan teritorial Islam yang universal.
b.
Pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI
Dalam
pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, Islam harus dijalankan secara kaffah,
menyeluruh, total dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memandang bahwa
penegakkan syari’at Islam tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia harus mutlak dan
segera untuk diterapkan. Untuk itu, Hizbut Tahrir tidak mengenal adanya tadarruj
(penahapan) dalam proses penerapan syari’at Islam dalam suatu wilayah muslim.
Hal ini didasarkan pada Qs. al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Hizbut
Tahrir memandang bahwa setelah turunnya ayat ini, kaum muslimin dituntut secara
global untuk melaksanakan dan menerapkan seluruh hukum Islam secara penuh.
Menurut
Hizbut Tahrir, kegamangan negara-negara muslim dalam mengaplikasikan
hukum-hukum Islam secara kaffah sebagaimana konsep mereka di atas,
adalah disebabkan oleh pengaruh-pengaruh ideologi penjajah Barat yang berupa
sosialisme, kapitalisme dan demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari. Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa pendirian Daulah
Islamiyah merupakan syarat yang utama untuk melestarikan dan menjamin
berlakunya hukum Islam secara kaffah. Tanpa itu, maka syari’at Islam tidak
dapat lestari dan terjamin penerapannya dalam setiap aspek kehidupan. Daulah
Islamiyah itu sendiri mempunyai beberapa aspek pokok yaitu: al-Khalifah,
al-Mu’awinun (para pembantu Khalifah), al-Wulat (para Gubernur), al-Qudat
(para hakim), al-Jihaz al-Idary (aparat administrasi negara), al-Jaisy
(angkatan bersenjata) dan Majlis al-Shura. Kesemua aspek-aspek pokok
dalam Daulah Islamiyah tersebut harus ada secara sempurna. Namun jika
salah satu dari aspek-aspek Daulah Islamiyah tersebut tidak ada, maka
hal tersebut tidak menjadi masalah selama sang Khalifah masih ada,
karena menurut Hizbut Tahrir, Khalifah tunggal merupakan aspek yang
utama dalam pendirian Daulah Islamiyah, tanpanya Daulah Islamiyah
tidak bisa berdiri. (Zahro, 2006: 97-98)
Namun,
satu kesulitan terbesar yang akan dihadapi oleh konsep Daulah Islamiyah
adalah negara Indonesia yang majemuk, yang hidup didalamnya berbagai ras, suku
bangsa dan agama. Sehingga ketika Daulah Islamiyah benar-benar
diterapkan dan konsekuensinya adalah aturan-aturan dan perundang-undangan yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits pun diaplikasikan, maka yang terjadi adalah
tabrakan dan benturan pemahaman antara Islam dengan agama-agama lain, yang mana
hal ini akan semakin memicu permasalahan yang semakin besar.
Islam
dalam pandangan yang lebih egaliter menilai bahwa Pancasila mampu untuk
mengakomodir berbagai bentuk keanekaragaman di Indonesia. Dalam semua sila
Pancasila berbagai etnis bangsa dapat terayomi. Demikian halnya dengan
agama-agama yang ada di Indonesia. Dan hendaknya Pancasila dipelajari dengan
penuh penghayatan, bukan hanya sekedar menjadi hapalan wajib saja.
al-Qur’an
menjelaskan bahwa hidup adalah untuk berta’abbud, beribadah kepada Yang
Maha Esa (Qs. ad-Dzariyat: 56). Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya
dilakukan dalam ritual resmi sholat saja, melainkan dalam berbagai bidang
kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud. Sehingga ketika
kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya adalah
keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap
alam; kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha
untuk menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada
dasarnya Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang
dalam segala hal.
Hal
ini selaras dengan apa yang tercermin dalam sila Pancasila. Sila ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi core dari semua sila Pancasila lainnya. Sila
kemanusiaan yang adil dan beradab diterapkan dengan dilandasi oleh sila
pertama. Sila persatuan Indonesia harus dilaksanakan atas dasar sila pertama.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan juga dilandasi oleh sila pertama. Dan sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia pun demikian (Tafsir, 2007).
Dengan
demikian Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan
Indonesia, sehingga tidak mungkin dipaksakan konsep khilafah untuk diterapkan
di negeri ini. Indonesia bukan negara Islam, dan Islam pun tidak memerintahkan
untuk menciptakan negara Islam. Nabi Saw. telah mengajarkan dan memberikan
teladan kepada kita tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai
perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub
dalam Piagam Madinah. Bahkan dalam suatu sabda beliau: Antum a’lamu bi umuri
dunyakum (kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian). Mengenai
urusan keduniaan kita diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus
dilandasi oleh ta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini niscaya
kehidupan yang kita jalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.
Rujukan:
- Zahro, Ahmad, at. al., Antologi Kajian Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006.
- Tafsir, Ahmad. Filasafat Ilmu, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar