SEJARAH (ISLAM) INDONESIA
Peringatan
Hari Pahlawan 10 November mengingatkan kita pada teriakan “Allahu Akbar,
Allahu Akbar…” Bung Tomo, arek-arek Suroboyo, dan pasukan non reguler
muslim Hizbullah-Sabilillah. Peristiwa ini didahului dengan fatwa Resolusi Jihad
dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan agar umat Islam melakukan
jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah untuk mengusir penjajah
yang ingin menguasai sebuah “darus salam” yang baru saja diproklamirkan.
Buku-buku
sejarah yang dicetak di era Orde Baru hampir tidak pernah menyebut Resolusi
Jihad itu sebagai bagian dari sejarah. Buku babon Sejarah Nasional Indonesia
juga tidak menyebut kata Resolusi Jihad. Dengan model penulisan konvensional
yang terfokus pada peran tokoh-tokoh heroik, buku sejarah enam jilid itu juga
tidak menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, padahal telah ditetapkan sebagai salah
seorang Pahlawan Nasional di era Orde Lama.
Yang
lebih membuat warga Nahdliyin tersenyum kecut, dalam buku Memoar Bung Tomo juga
tidak menyebutkan nama KH Hasyim Asy’ari. Padahal berbagai dokumen foto dan
kesaksian para sesepuh menyebutkan kedekatan seorang Bung Tomo, sosok yang
paling populer dalam sejarah Hari Pahlawan, dengan seorang guru agama dan ulama
besar asal Jombang itu, guru dari Bung Karno, Jenderal Sudirman dan para
pejuang kemerdekaan.
Lagi-lagi,
buku Memoar Bung Tomo itu juga dicetak di era Orde Baru yang nyaris selama 32
tahun berkuasa tidak memberikan ruang bagi NU untuk berkiprah, bahkan dalam
catatan sejarah sekalipun. Posisi kedekatan NU dengan Soekarno di satu sisi,
pilihan NU menjadi partai politik di sisi lain, serta gaya politik “tangan
dingin” Orde Baru benar-benar memukul mundur NU dalam proses “pembangunan”
Indonesia.
Baiklah,
itu masa lalu, dan saat ini NU sudah semakin banyak ditulis dalam buku sejarah
baik dalam buku-buku yang diterbitkan oleh NU sendiri maupun buku-buku sejarah
“resmi”. Namun salah satu akibat dari penyingkiran sejarah NU adalah
tercerabutnya Islam dan umat Islam dalam pusaran sejarah. Menyingkirkan NU
dalam pusaran sejarah sama saja menggiring Indonesia menjadi negara sekuler
dalam pengertiannya yang paling sederhana, terpisah dari agama (Islam).
Resolusi
Jihad dan gema takbir arek-arek Suroboyo dan para santri dari berbagai pondok
pesantren dalam revolusi berdarah di Surabaya 1945 mengingatkan kembali kepada
serangkaian perjuangan kaum santri baik jiwa dan raga dalam mendirikan negara
ini. Resolusi Jihad dan gema takbir mengingatkan bahwa pendirian negara bernama
Indonesia ini dan upaya mempertahankannya dari segala bentuk penjajahan
merupakan manifestasi dari ajaran agama Islam.
Peringatan
Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan sedianya mengingatkan bahwa spirit dan
nilai-nilai agama harus tetap menjiwai proses penataan negara Indonesia yang
baru saja dirombak besar-besaran sejak berakhirnya Orde Baru. Semangat dan
keberanian para ulama untuk mendirikan negara dengan mengintegrasikan Islam
dalam satu produk kebudayaan adiluhung bernama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 dan merebut kembali
Indonesia dari tangan penjajah harus diwariskan dari generasi ke generasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar