Semangat Muda
Tan Malaka (1926)
Tulisan
ini kembali hadir di tengah-tengah teman-temah pergerakan di Indonesia setelah
60 tahun hilang dari Indonesia, ditemukan kembali oleh sebagian kawan-kawan
yang masih berusaha mencari tulisan-tulisan klasik dari jaman kejayaan gerakan
buruh di Indonesia era 1920an, diharapkan akan menjadi tenaga tambahan karena
gerakan di Indonesia yang masih kekurangan teori mengenai ke Indonesiaan
walaupun mungkin dalam banyak hal telah berubah apakah itu sistem kapitalis dan
juga mengenai kondisi masyarakat Indonesia. Hidup persatuan yang teguh dari
semua kelompok yang anti Kapitalisme, Imperialisme dan NeoLiberalisme, Hidup
persatuan antara gerakan kiri di Indonesia, hilangkan konflik lama yang akan
merugikan gerakan buruh di Indonesia ......... MERDEKA 100%
Kontributor,
"Pacar
Merah Indonesia"
Semangat
Muda, yang ditulis pada tahun 1926, mengandung buah pemikiran Tan Malaka
tentang bagaimana menjalankan organisasi revolusioner sesuai dengan kondisi Indonesia
saat itu; yaitu dengan menggandeng perjuangan politik (nasional) dengan
perjuangan ekonomi (kelas); dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional
dengan perjuangan pembebasan Kelas Buruh. Terkandung di naskah ini adalah
program nasional yang mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum tani
Indonesia, yang notabene saat itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh,
dengan kaum buruh sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan. Naskah ini sangatlah
relevan sebagai pelajaran sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, dimana
gerakan anti-imperialis (anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan
pembebasan buruh sebagai sebuah kelas. Gerakan nasional dan gerakan kelas
tidaklah boleh dilihat sebagai dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu
kesatuan; ini benar untuk Indonesia pada tahun 1926 dan terlebih benar untuk
Indonesia saat ini.
Editor,
Ted
Sprague
Senjata
Feodalisme dan Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang.
Senjata
Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan Demonstrasi.
Sebulan
Massa-Aksi di Indonesia sekarang lebih berguna dari 4 tahun Dipo NegoroIsme.
Zaman
Baru membawa Senjata Baru !!!!
Dicetak
di Tokyo Januari 1926.
ISI
BUKU:
I.
KE ZAMAN
KOMUNISME.
1.
Watak Zaman Bangsawan
2.
Watak Zaman Hartawan
3.
Zaman Diktatur Proletar
4.
Taktik
5.
Rusia
II.
KEADAAN INDONESIA
1.
Ekonomi
2.
Sosial
3.
Krisis Ekonomi
4.
Krisis Politik
III.
PROGRAM
1.
Program Nasional PKI & SR
2.
Keterangan Program
IV.
ORGANISASI
1.
Maksud dan Sifat Organisasi
2.
Tentara Nasional
V.
REVOLUSI
1.
Peperangan dan Revolusi
2.
Revolusi di Indonesia
3.
Taktik di Indonesia
4.
Massa Aksi di Indonesia
5.
Rapat Rakyat Indonesia
6.
Revolusioner Komunis
I. KE ZAMAN KOMUNISME
Tiap-tiap
pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun
sekarang, terdiri oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan
tengah.
Menurut
pikiran KARL MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas
mengadakan hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada
sesuatu pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam
pergaulan hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya
perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham
politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata
Marx lagi, semua sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta
rendah dan tinggi, antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang
terhimpit dan yang menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman
Bangsawan, Kaum Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan
dan Raja yang menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan di Prancis
bisa mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan seperti
macam sekarang.
Dalam
hal itu pertandingan belum lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan sekarang,
pertentangan kasta makin tajam, ialah antara Kaum Buruh yang terbanyak dan
tertindas itu dengan Kaum Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya dan terkuasa
itu.
Berhubung
dengan lebar dan dalamnya pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini, maka kelak
Kaum Buruh, kalau menang ia tidak saja akan memerdekakan dirinya sendiri,
seperti dulu Kaum Hartawan, melainkan akan memerdekakan seluruh pergaulan hidup
dan sekalian manusia. Dan oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh dunia bersatu,
maka haruslah pula Kaum Buruh seluruh dunia bersatu, buat manghancurkan
musuhnya.
1.
Watak Zaman-Bangsawan
Pada
Zaman-Bangsawan, maka perkakas di sawah dan ladang, hanyalah cangkul atau
bajak. Di tempat pertukangan, pahat atau ketam yang semuanya diangkat dengan
tangan. Hasil sawah, pertukangan dan pertenunan, cuma buat keperluan
masing-masing orang atau masing-masing famili saja. Kalau ada berlebih dari
keperluan itu, barulah dijual, supaya bisa membeli kain, cangkul atau bajak.
Jadi perniagaan baru mulai timbul.
Ringkasnya
pada Zaman-Bangsawan perkakas kecil, hasil sedikit dan buat keperluan
masing-masing famili saja. Sisa keperluan satu-satu famili juga sedikit, sebab
itu perniagaan masih lemah.
Beberapa
tani, tukang dan saudagar pada Zaman Bangsawan berkumpullah mendirikan desa
atau kota. Buat menjaga keamanan dalam desa tadi dan mempertahankan desa tadi
pada musuh, maka mereka mendirikan Pemerintah Desa. Anggota biasanya terdiri
dari orang yang tua, yang pandai, cerdik, berani dan mendapat kepercayaan dari
orang banyak. Pangkat memerintah negeri akhirnya jadi turun menurun dari bapak
ke anak. Sekarang penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang,
Saudagar dan kasta-memerintah, yaitu Bangsawan. Apabila desa tadi banyak
berperang-perangan, maka makin besar kuasanya Kaum Bangsawan dan makin dalam
kebangsawanan. Kemudian dua desa atau beberapa desa mulai mangadakan
perserikatan buat mempertahankan diri kepada serangan dari luar. Urusan negeri
dan peperangan sekarang jatuh di tangan seorang Bangsawan yang tetinggi, yang
sekarang berpangkat Raja dan berkuasa lebih dari Bangsawan yang sudah-sudah.
Makin banyak peperangan dan kemenangannya Raja itu, makin besar kekuasaannya
turun menurun.
Negeri
bertambah besar, kekuasaan makin tertumpuk kepada Raja dan Bangsawan, kekayaan
makin tertumpuk kepada Kaum Hartawan serta kaum Buruh dan Tani makin terhisap
dan tertindas.
Supaya
Buruh dan Tani yang terbanyak itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan Bangsawan,
maka harus diadakan Agama, Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan atau
kebudakan.
Gereja
atau mesjid jatuh di tangan Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat diajar jongkok
dan menyembah, sedangkan anaknya Raja serta Bangsawan diajar memukul, memaki
dan menerjang.
Demikianlah
wataknya Zaman-Bangsawan itu di India, di Jawa atau Tiongkok dan Jepang.
2.
Watak Zaman Hartawan
Kira-kira
200 tahun yang lalu, kaum Hartawan di Eropa makin bertambah kaya. Pertukangan,
dan pertenunan yang dulu kecil-kecil, dan buat keperluan masing-masing famili
saja, sekarang sudah terkumpul pada satu pabrik. yang memakai beratus-ratus
kuli. Perniagaan sudah jauh melewati batas desa atau negeri. Bank sudah
meminjamkan kepada atau menerima uang simpanan dari seluruh penduduk negeri.
Tetapi,
walaupun kekayaan Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih tinggal seperti
dulu. Raja dan Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak hatinya. Kemerdekaan
Kaum-Hartawan buat mengirim barang dari satu negeri ke negeri lain sangat
terhambat, karena barang-barangnya acap kali dipajaki oleh Bangsawan atau Raja.
Juga Kaum Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil keganasannya.
Buat
merdeka mendirikan pabrik dan kirim mengirim barang, maka Kaum Hartawan mesti
merdeka dalam urusan politik-Negeri.
Dengan
pertolongan Tani dan Buruh, maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa
menghancurkan semua kekuasaan Kaum Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan
ekonomi, dan politik luar serta dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan
Kaum Hartawan dan Wakilnya.
Sekarang
Modal bisa tumbuh dan menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam satu pabrik
tidak seratus atau dua ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang kuli kerja
(Inggris, Jerman dan Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah beribu-ribu
pikul. Mengangkutnya hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau kuda, melainkan
dengan kereta atau kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan kelingking saja
satu sekerup dibuka, mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar dengan sendirinya
saja. Kirim mengirim dan pesan memesan barang ke empat penjuru alam dijalankan
dengan kawat atau radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap hari diangkut
barang-barang yang mesti dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan dari Eropa atau
Amerika tiap-tiap jam berjalan kapal yang mengangkut barang-barang pabrik ke
Asia dan Afrika. Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan cepat, Kuli terkumpul
pada satu pabrik saja sampai beribu-ribu, pekerjaan teratur dari satu
administrasi-pabrik dan dikerjakan bersama-sama, sedangkan perniagaan sudah
internasional.
Tetapi
seperti pada Zaman-Bangsawan ada pertentangan antara Kaum Bangsawan dan Kaum
Hartawan, begitulah juga pada Zaman Hartawan atau Kemodalan ada pertentangan antara
Kaum Hartawan dan Kaum Buruh serta Tani. Seperti ZamanBangsawan mengandung
Benih-Hartawan yang kelak akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri,
demikianlah pula Zaman-Hartawan kita ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan
menghancurkan Kaum Hartawan.
Keyakinan
ini kita Kaum Komunis tidak diperoleh dari limau-purut atau ujung jari, seperti
tukang-tukang ramal, tetapi kita peroleh dari bukti yang nyata.
Pertentangan-pertentangan
yang nyata dan tak bisa didamaikan pada Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:
I. Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti
juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari
orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan
kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang
diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan
kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan
lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh
membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri.
Sebabnya, maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada
semua negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum - catatan
editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan
hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang
besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan
tanitani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa
menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa
menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup
terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki
Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun
mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.
II. Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik
ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik
berpukul-pukulan dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100
pabrik kain, maka tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil
yang mau diadakan, buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak
mengatur banyak hasil buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan
hasil buat memukul yang lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya
barang, sehingga lawannya terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi
terlampau banyak, harga terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh,
getah dan minyak di Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai
hasil itu, tetapi yang punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih
suka membuang hasil itu, seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922.
Jadi hasil yang diadakan oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan
penduduknya, melainkan buat perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan.
Demikianlah Kaum Hartawan mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut
keperluan orang banyak, melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat
mencari untung.
III. Mesin. Buat pukul-memukul dalam
perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai mesin baru. Dengan jalan
begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda, sehingga harganya barang itu
bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai mesin tua, tidak bisa
menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga barangnya tinggal mahal, dan
akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi mengurangkan tangan yang mengangkatnya,
karena mesin itu bisa dijalankan dengan uap atau listrik saja. Berhubung dengan
memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena melimpah. Tiap-tiap
negeri di Zaman Hartawan penuh dengan limpahan Buruh, yakni buruh yang
dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja. Limpahan Buruh ini, selalu
bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba menaikkan hasil, dan tiba-tiba
naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis yakni jatuh harga barang.
Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas. Ringkasnya Zaman-Hartawan
penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai hasil, tetapi sebaliknya
berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam kelaparan. Nyatalah sudah Kaum
Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.
IV. Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi
perniagaan bisa maju dengan dua jalan: pertama dengan memukul, kedua dengan
berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai modal yang besar, tentu ia dengan
sementara menurunkan harga barangnya, bisa menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau
mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba berserikat. Dengan perserikatan mereka
mudah menaikan harga barang dengan sekehendak hatinya, karena tak ada
persaingan lagi. Yang kerugian tentulah Rakyat juga, yang terpaksa membayar.
Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga maatschappy (perusahaan) menjadi
sindikat. Sindikat ini kurang teratur lagi, karena masih banyak kepala yang
mengurus, ialah kepala-kepala dari maatschappy (perusahaan) yang berserikat.
Supaya urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi ditukar jadi satu, sehingga
perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas, karena urusan
ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya trust. Trust
ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi dengan trust
arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang punya trust.
Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan bermacam-macam
trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu, dan
sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu
dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren
atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta,
kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua
kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah
combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di
tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat,
Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di
bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi
pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol
pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank
memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan
harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti
tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan
sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri
lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu,
dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu
barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap
beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa
kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir
menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada sesuatu
negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum buruh
bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh
bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa
dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.
V. Imperialisme. Anarkisme dalam hal
mengadakan menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya
berpukul-pukulan dan hancur- menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada
negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri
di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan
pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia,
melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang
jajahan buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja
memiliki barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri
jajahan itu sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas
dll.) dan ia sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia
sendiri saja pula mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan
industri dan perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri
jajahan itu. Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri
berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini
menaikkan persiapan peperangan pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya
mengadakan peperangan dunia. Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang
memakan jiwa 10.000.000 manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh
pertentangan antara imperialisme Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka
timbul lagi sekarang pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis
di Eropa dan lebih tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah,
bahwa imperialisme tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal
mengadakan hasil masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu
masih mengancam kita.
Kelima
penyakit kemodalan yang kita sebutkan diatas ini tiadalah bisa sembuh, karena
sudah terbawa oleh diri kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang menyebabkan
Kaum Hartawan bertambah penakut dan bertambah sedikit orangnya dan sebaliknya
penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin, tetapi bertambah
rajin kerja (sebab terpaksa) bertambah tertindas, tetapi bertambah revolusioner
dan bertambah banyak orangnya. Krisis ekonomi dan politik bertambah dekat,
artinya ini cuma revolusi sosial atau putaran-kasta sajalah yang bisa mengobati
krisis itu, dan menghindarkan bala yang bisa menimpa seluruh manusia diatas
dunia ini:
"Kaum
Hartawan yang malas dan sedikit itu haruslah turun, serta Kaum Buruh yang
terbanyak dan mengadakan hasil itu, harus memiliki hasil itu dan membagikan
hasil itu buat kastanya sendiri dan sekalian orang yang kerja. Ringkasnya Kaum
Buruh harus merebut kekuasaan ekonomi dan politik dunia".
3.
Zaman Diktatur Proletar
Kaum
Agama mengambarkan surga persis seperti kehendak nafsunya sendiri. Begitu juga
Kaum Utopis, seperti Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen
menggambarkan masyarakat yang sempurna di dunia ini persis seperti nafsunya
masing-masing.
Kita
Kaum Komunis tidak mengambil gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang tukang
mimpi atau ahli nujum saja. Kita tidak disuruh Karl Marx buat menghapalkan saja
sifat-sifat Komunisme dan terus tinggal mendoa saja supaya Surga Dunia itu
datang. Melainkan kita mendapat keterangan yang jelas dari Marx, bahwa kemajuan
Feodalisme di dunia ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan kemajuan Kapitalisme
sekarang ini membawa kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum Bangsawan sudah
terpukul oleh Kaum Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan akan dikalahkan
oleh Buruh. Kalahnya itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang mistik atau gaibgaib
melainkan atas sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat dan dirasa.
Tidaklah
pula datangnya Komunisme itu tiba-tiba saja, seperti surga akan terkembang
sesudah hari kiamat, tetapi berangsur-angsur, yakni seperti Zaman Kemodalan
sendiri yang dulu datangnya juga berangsur-angsur. Dimana pertentangan sangat
dalam, seperti di Rusia, maka putaran kasta Buruh dengan Hartawan itu akan
disertai dengan banjir darah. Dimana pertentangan itu, selalu dikurang-kurangi,
karena Kaum hartawan selalu kasih konsesi atau kemunduran, seperti bisa terjadi
di Inggris, maka putaran kasta tadi, boleh jadi tidak berapa menuntut jiwa.
Tetapi buat seluruh dunia putaran-kasta itu tiada akan terjadi dengan damai,
seperti juga putaran kasta Bangsawan dengan Hartawan dulunya tiadalah terjadi
dengan damai.
Tingkat
yang mula-mula mesti kita tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah
Dictaturnya-Proletar. Bukanlah pada satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat
di seluruh dunia. Pada tingkat Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil,
seperti Pabrik Tambang, Tanah, Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh
Kaum-Buruh dan diserahkan pada negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat
mengadakan hasil, jatuh di bawah pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan
oleh Wakil-Wakil yang dipilih oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat
perniagaan dan mencari untung saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat.
Anarkisme dalam hal mengadakan hasil akan hilang dan berganti dengan
rasionalisme, yakni mengadakan hasil menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh
berhenti menjadi orang upahan yang dibayar sebagaimana suka si Kapitalis saja,
karena Buruh sekarang sudah memiliki perkakas hasil yang diadakannya sendiri.
Sepadan dengan itu Kasta-Buruh, sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan
berganti dengan Kasta Pekerja yang campur mengurus pekerjaannya dan memiliki
hasil yang dikerjakannya. Oleh karena sekarang mengadakan hasil tidak lagi
dengan sesukanya seorang Kapitalis buat perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah
lagi, sehingga bisa mendatangkan krisis atau mesti menimbulkan politik merebut
jajahan buat pasarnya barang limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan
hilang dan berganti dengan tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan
Afrika atau Asia, satu negeri dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya
politik imperialisme, maka akan hilang pula militarisme dan hilang pula
peperangan dunia buat merebut jajahan dan pasar.
Supaya
Kaum Buruh aman dan sentosa memiliki perusahaan dan semua hasilnya perusahaan,
maka haruslah ia merebut politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya dari Kasta
Tengah atau Kaum Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan negeri.
Kalau tidak begitu ia akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang baik buat
Kaum-Buruh dan menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai laskar, armada,
justisi, polisi dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum buruh, seperti
yang kita rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri, haruslah dengan
sekejap Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan merah. Artinya
itu, semua anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan Kaum-Buruh dan
seberapa bisa diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.
Dengan
Pemerintah Merah, Tentara Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah, maka Kaum Buruh
bisa menjaga peraturan mengadakan hasil dan haknya atas hasil itu, terhadap
kepada musuh baik di dalam atau pun di luar negeri, yang tak putus akan mencoba
merebut kembali kekuasaannya yang hilang itu.
Apabila
sesudah bertahun-tahun Kaum Hartawan sama sekali hancur, seperti dulu juga Kaum
Bangsawan sama sekali hancur, maka barulah lambat laum anggota-anggota Ekonomi
Merah, Politik Merah, Didikan Merah dan Justisi Merah berhenti menjadi perkakas
penginjak Kemodalan dan Kaum Hartawan, dan menjadi perkakas buat mendatangkan
Komunisme. Pada Zaman Komunisme, kasta akan hilang, tindasan dan isapan akan
hilang, kekayaan, kepintaran, pengetahuan, kesenian, dan literatur akan menjadi
miliknya orang bersama.
Jadi
Komunisme itu bukanlah ilmu batin, yang datangnya sesudah habis dibakar
kemenyan sepikul, melainkan suatu peraturan buat pergaulan hidup yang sudah
terkandung sendiri oleh pergaulan hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu
bergantung sebagian besar dari cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan
Diktatur Proletar, yakni memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum
Hartawan yang ada sekarang.
4.
Taktik
Pada
Zaman-Feodalisme, maka Taktik buat mendatangkan pemerintah baru itu, yakni
dengan ramal dan kemenyan. Seorang guru atau Kiyai, tahu membaca dalam buku
atau di ujung jarinya, kapan Ratu Adil atau Imam Madhi akan datang. Dengan
jimat dan kemenyan, maka Kaum Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh.
Psikologi atau semangat semacam ini lahir dari keadaan cara mengadakan hasil
juga. Pada Zaman-Feodalisme itu mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau
tanahpun subur, si Tani rajin mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu
padi tak dapat. Apa itu hujan, buat si Tani, yang belum pernah dengar
Natuurkunde atau ilmu-alam adalah perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia
bergantung kepada Tuhan itu, dan cara mendapatkan hujan tidak lain dari
membakar kemenyan. Bukanlah seperti buruh-pabrik, yang sama sekali tak
tergantung pada alam, malah memakai alam itu uap dan elektris kapan ia suka dan
berapa ia suka. Sebab itu si Tani pasif atau penerima dan si Buruh aktif atau
jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan juga buat mendatangkan pemerintah baru, tak
lain akal buat si Tani melainkan nujjum, jimat dan kemenyan.
Di
antara Kaum-Buruh industri adalah tiga taktik yang terutama dimajukan:
Anarkisme, Reformisme dan Revolusioner.
Taktik
Anarkisme lahirnya pada pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis, percaya,
bahwa kalau tiap-tiap pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau ditikam, maka
mereka akan takut memerintah. Si Penindas akan hilang, dan Komunisme akan
datang sendirinya saja. Jadi mereka tidak memakai tingkat Diktatur Proletar
seperti kaum Komunis, dan.tidak memperdulikan organisasi massa-aksi atau aksi
ramai-ramai yang teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak perlu dibentangkan
disini. Kaum Hartawan dengan polisi, justisi dan tentaranya adalah sangat
teratur dan mempunyai disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu pembesar
terbunuh, maka seribu lagi gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak berkelahi
teratur dan mempunyai disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme belum
pernah menang. Cuma pada waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri yang
achterlyk atau mundur kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan ia
bisa bikin huru hara. Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada masa
itu (tahun 1850) seperti Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa dijalankan.
Di Rusia sendiri pada tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme sama sekali
tak berarti. Sebab kaum anarkis tak mau mengakui aturan dan disiplin itu, maka
ia tak bisa membikin perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan, dan
bertengkar-tengkaran. Sebab ia mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu
kepada yang menindas bukan dengan alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya
personal, maka ia mudah kena provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi
dari orang banyak, dan akhirnya kalah.
Taktik
Kaum Sindikalis, yang juga beralaskan Anarckisme yang terutama berpengaruh di
sebelah Selatan Eropa dan Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi kekuatan buat
memerangi kemodalan zaman sekarang. Kaum Syndicalist itu anti-parlemen dan
anti-politik. Sebab itu Kaum Syndicalist tak mau mengirim wakil ke parlemennya
kaum Hartawan. Sebaliknya ia menyangka, bahwa Serikat Buruh itulah yang
tertinggi. Sudahlah tentu dasar anti-politik dan anti-parlemen itu salah
sekali. Dengan sikap begitu, Kaum-Buruh tak tahu akan politiknya Kaum-hartawan,
sedangkan politik dan ekonomi itu bersanak sudara. Politik tidak lain dari
geconcentreerde ekonomi, artinya itu, politik ialah pusatnya urusan ekonomi.
Apabila Kaum-Buruh akan menyia‑nyiakan politik, yakni pusatnya ekonomi kaum
Hartawan itu, mereka akan mudah terjerat kaki dan lehernya.
Taktik
Kaum Sosial Demokrat tak perlu kita uraikan di sini dengan panjang lebar. Mereka
itu percaya bahwa Modal dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan. Begitu juga
Hartawan dan Buruh bisa sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial Demokrat
memasuki Parlemennya Kaum Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak dengan
jalam damai mereka bisa mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan, maka
Hartawan akan kalah suara dan akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan
ekonomi boleh dijatuhkan ke tangan Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum
Sosial Demokrat anti-revolusioner dan aksinya ialah merebut bangku Parlemen
saja. Sepadan dengan keyakinan ini, maka Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana
sudah menjadi Kaum Penghianat. Pembunuhan jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam
peperangan besar baru lalu, ialah terjadi dengan bantuan Sosial Demokrat, yang
selalu bantu Begrooting Kaum Hartawan dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial
Demokrat membantu politiknya Kaum Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di
Jerman, Ebert, Noske dan Scheidemann sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak
mudah dijadikan anggota Kaum Buruh. Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat
Meerderheid atau Suara Kelebihan dalam Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi
boneka saja, dan pemerintah sama sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena
Sosial Demokrat pada tahun 1918-1923 tidak memerahkan Justisi, Kementerian,
Laskar dan Polisi, maka anggota-anggota ini dengan rahasia mengumpulkan
kekuatannya di bawah selimutnya Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman
sekarang di bawah Presiden Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang
dulu tuannya itu.
Taktik
Merah, atau taktik revolusioner tidak saja di Rusia sudah menjatuhkan
kemodalan, dan bisa mempertahankan Soviet sudah lebih dari 8 tahun, tetapi
dimana-mana di dunia, Eropa Barat, Amerika, Tiongkok, Jepang, India dan
Indonesia sedang membingungkan yang berkuasa. Taktik merah tidak bersarang di
jimat atau kemenyan, melainkan berurat pada keadaan hidupnya Rakyat yang
tertindas. Kita tidak anti-parlemen seperti Kaum Syndicalist, tetapi tidak pula
parlemener seperti si Pengkhianat Sosial Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat
membuka topengnya Kaum Hartawan dan Sosial Demokrat, tetapi sama sekali tiada
mengharapkan hasilnya yang konkrit atau nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita
tahu, bahwa sebagian besar dari Buruh masih mengikut Sosial Demokrat dan
percaya pada Parlementarisme. Sebab itu kita masuki Parlemen itu buat
memecahkan dari dalam. Dalam pada itu kita lebih pentingkan mengatur kekuatan
Buruh, Tani dan sekalian Rakyat yang tertindas di luar Parlemen. Semuanya aksi
dan pertarungannya Buruh, Tani dan penduduk kota, baik ekonomi ataupun politik
mesti kita campuri. Bukan buat menipu mereka dan memperdamaikan dengan Hartawan
seperti laku Sosial Demokrat, melainkan buat membantu mendorong, dan kalau bisa
menghancurkan Hartawan dan budakbudaknya. Menurut kekuatan kita dan Rakyat
yang percaya pada kita, maka kalau bisa semua aksi ekonomi kita besarkan jadi
mogok umum, kalau perlu ditambah dengan boikot dan demonstrasi. Dari mogok
umum, boikot dan demonstrasi yang dilakukan di seluruh negeri itulah bisa lahir
pemberontakan buat merebut politik negeri dan mendirikan Diktatornya Proletar.
5.
Rusia
Seperti
Pemberontakan Hartawan kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan Prancis pada
tahun 1789, begitulah Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai oleh Buruh
Rusia kepada Hartawan disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis didahului oleh
revolusi kecil di Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu pula diktatur
proletar di Rusia tidak sama sekali baru, karena sudah didahului oleh Komune
Paris pada tahun 1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin banyak mendapat
pelajaran buat menyempurnakan diktaturnya Proletar.
Pada
Revolusi Prancis kita bisa mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan yang
masih revolusioner itu turun naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada tahun
1789 cuma bisa berdiri 5 tahun saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya
jadi Kaisar dan sesudahnya Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan
Lodewyk XVI, (yang dipancung kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa
kembali memerintah. Barulah pada tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa
kembali lagi, yang walaupun sementara disambung oleh Napoleon III, sampai
sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi
dengan kalah menang buat demokrasi dan Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam
waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan itu, maka berturut-turut negeri
menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti Belanda dan dimana-mana kekuasaan
Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti Jerman, Italia, Spanyol, dll. Ringkasnya
berpuluh tahun Hartawan di seluruh dunia mesti berperang dengan kalah dan
menang baru bisa menghancurkan Raja dan Bangsawannya sama sekali.
Ini
pengajaran yang dalam artinya buat kita. Dunia Hartawan yang berpuluh-puluh
kali lebih kukuh dari dunia Bangsawan tentulah takkan bisa kita hancurkan dalam
satu hari.
Kita
tahu, bahwa reaksi di seluruh dunia sekarang bertambah hebat. Karena kaum
Sosial Demokrat pada tahun 1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak
diikuti oleh negeri lain-lain. Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat,
yang dikemukakan di Jerman buat melindungi Kaum Hartawan bisa bernapas kembali
dan mengumpulkan semua senjatanya, yang pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali
hilang dari tangannya. Sekarang di Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan
pemerintah Fasis, yakni diktaturnya Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan
memakai Parlemen lagi melainkan tangan besi, seperti Mussolini di Italia.
Hartawan akan lemparkan demokrasi, dan atur ekonomi dengan memaksa kaum buruh
kerja, dengan gaji sedikit, dan waktu yang lama, dan menghancurkan semua
pergerakan revolusioner, dengan jalan kasar. Begitu juga di Prancis, dimana
ekonomi kusut, Fasis sudah siap. Di Inggris, dimana pada 2 atau 3 bulan lagi
disangka akan datang frisis sekarang Fasis sudah mengasah-asah pedang kiri
kanan dan mengumpulkan uang dan senjata. Di Amerika, dimana Kaum Komunis mulai
maju, Klu Klux Klan, sudah jadi Fasis, dan selalu sedia akan menghancurkan
pergerakan merah. Tentulah Fasis dapat sokongan dari Kaum Hartawan baik lahir
ataupun batin.
Tetapi
makin gelap jalan di muka, makin terang buat kita suluh yang di belakang.
Sejarah menyaksikan kita, bahwa pertandingan kasta itu, bukanlah permainan,
melainkan suatu kemestian pergaulan hidup dan suatu kewajiban sebagai manusia.
Kalau musuh kita mengasah-asah pedang, maka jawab kita lain tidak hanyalah
menegapkan barisan dan mempertajam senjata lahir dan batin. Pekerjaan yang
sudah dimulai oleh Rusia dengan korban beribu-ribu jiwa, tiadalah boleh kita
khianati dengan kelembekan atau dengan meninggalkan dasar yang sudah kita
peluk.
Walaupun
di kiri kanan ada reaksi, kita mesti terus menyusun tentara yang ada di negeri
kita. Kalau kawan kita pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia ataupun Eropa
Barat dan Amerika dapat serangan, maka kita harus tidak mundur malah merebut
kemenangan pada barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat Indonesia.
II. KEADAAN INDONESIA
1.
Ekonomi
Adapun
sifat kapitalisme di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan
sekali dengan kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya
kapitalisme itu terbawa oleh keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir
dan majunya kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di
Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut alam atau Organisch,
sedangkan di Indonesia kunstamatig atau bikinan. Berpadan dengan hal itu,
Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di Indonesia
verkracht atau terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan.
Kapitalisme
di Eropa membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau
industri dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum,
sayur, sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota
memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian
pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang
sangat maju permodalannya
Tentulah
hasil pabrik di kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya
itu ditukarkan dengan makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau,
perkakas rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur,
daging, dll yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh
penduduk desa. Pada negeri kemodalan yang belum terang imperialistis, dan sehat
ekonominya seperti Amerika sebelum perang 1914-1918, maka jumlah harga sisa
barang kota itu hampir sama dengan harga sisa hasil tanah di desa. Begitulah
asal majunya kemodalan dan perusahaan, yakni dari pertukaran barang pabrik di
kota-kota dan hasil tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan di kota, makin
banyak penduduk desa lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian atau
kepalsiran, karena di kota terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah komedi, dll.
Di
Indonesia juga akan bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh
perusahaan kecil-kecil, buat membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti
sudah ada di Tuban, Gresik, dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi
besar, memakai uap dan listrik seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota
Indonesia juga akan menarik penduduk desa dengan lekas dan bertambah hari
bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum buruhnya. Juga di kota Indonesia akan
diadakan kain, bajak buat desa, dan desa-desa terutama hasilnya buat penduduk
kota-kota Indonesia sendiri.
Tetapi
sebab Belanda dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak
negeri dengan memasukkan barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa
kita jadi lain sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang
menghasilkan, kain, bajak dan perkakas lain buat desa-desa, karena semua
barang, ini dimonopoli atau diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat
mengadakan hasil untuk penduduk kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah
d. s. g. bukan buat keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat untung si
Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu dengan
lainnya tidak bergandengan dan tali bertali seperti pada suatu negeri yang
sehat ekonominya, melainkan keduanya buat pengisi perut besar si Lintah Darat
yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya
kapitalisme di negeri kita jadi kunstmatig atau tak sehat.
Sebab
perusahaan di negeri kita tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka
barang yang perlu buat hidup kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga
sesukanya orang lain itu saja. Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh
kebun-kebun besar, maka beras, yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.
Demikianlah
pada tahun 1922 Rakyat membeli barang kain yang masuk ada kira-kira F.
182.531.000. Di jajahan lain seperti India, Tiongkok dan Filipina barang
pakaian sudah bisa dibikin dinegeri sendiri. Jadi disana uang Rakyat bayaran
kain itu tinggal di negeri sendiri, sedangkan di Indonesia terbang kesakunya
Lintah Darat Belanda. Harga beras masuk, walaupun beras Jawa nomor 1
kualitasnya di dunia dan bangsa Jawa memang pintar bertani pada tahun 1922 juga
ada F. 74.947.000. Karena di Jawa hampir tak ada kapital dan saudagar anak
negeri, seperti di jajahan maka untung perniagaan beras ini tidak satu peser
jatuh di tangan anak negeri. Demikianlah untung perniagaan berhubung dengan
import (barang masuk) yang pada tahun 1922 banyaknya ada F 696.300.000 itu
hampir semuanya mengalir ke saku Lintah Darat Bangsa Asing.
Sudahlah
terang, bahwa total export (harga barang keluar) yang pada tahun 1922 ada
F.1.142.400.000 sama sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli
sekalian perusahaan besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain
untung dari import dan export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri,
maka di Indonesia yang sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan
perniagaan dan hasilnya perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya
Lintah Darat yang tidur, palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang
terlempar kepada bumiputera, gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda
atau kerbau, yang dipakai penarik kereta, juga mesti diberi makan.
Sebab
kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh
tinggalnya itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata
menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu. Kromo mesti
menyewakan tanah buat gula, getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau dapat
untung. Rakyat Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal,
sebab Belanda takut Twente dan perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga
saudagar-saudagar Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang
mengangkut barang import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh.
Sebab itu Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak
negeri perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif)
dan mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh
yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia
tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya
sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat
Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.
2.
Sosial
Di
negeri-negeri yang sangat maju kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika maka
Kaum Buruh itu jumlahnya ada kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk
negeri. Artinya itu ada 3/4 atau 75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa
lain dari tenaganya dan tergantung hidupnya semata-mata dari modal besar.
Sepanjang
ada bahwa perhitungan tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira 40% dari bumiputera
yang proletar atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir sekarang, berhubung
dengan bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi 50%, maka dari penduduk
tanah Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya tergantung dari
perusahaan besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes, Daerah Ternate
dan sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih sedikit kaum
proletar. Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil, perusahaan kecil
atau perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa salah menaksir
(karena statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di seluruh
Indonesia pada masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari
penduduk yang 54 juta itu.
Tetapi
di antara yang tak berpunya, Buruh Industri masih sangat sedikit. Di Jerman
umpamanya, yang jumlah isi negeri hampir sama dengan Indonesia, yakni 60 juta
ada kira-kira 2 juta buruh-pelikan (buruh pertambangan), sedangkan di Indonesia
tak lebih dari 100.000, yakni seperdua puluhnya. Buruh kereta juga kira-kira 2
juta, sedangkan di Indonesia tak lebih dari 80,000, jadi kurang dari
seperduapuluhnya di Jerman. Berjuta-juta buruh industri model baru, seperti
pada pabrik membuat kereta, mesin, kapal, kain dll. yang ada di Jerman,
sama sekali tak ada di Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh industri, maka
Indonesia, jauh kalahnya oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga kalah oleh
Jepang dan India, dimana juga sudah terdapat buruh industri model baru.
Di
Eropa, Amerika dan Jepang yang memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal, Bank
dll itu ialah bumiputera juga, Di Jajahan seperti India, Filipina dan Mesir
sudah banyak bumiputera sendiri yang mernpunyai industri model baru, pertanian
dan perniagaan model baru. Tetapi di Indonesia modal besar bumiputera bolehlah
dikatakan tak ada. Betul di Jawa, lebih-lebih Sumatera di antara bumiputera ada
yang mempunyai modal F.100.000 kebawah, tetapi ini masih kecil, dan urusan
perniagaan atau perusahaan yang mempunya F.50.000.000, yang memiliki tambang,
pabrik dan Bank seperti di Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta Hartawan
bumiputera, memang di Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya Belanda
dengan sengaja membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia kasta-kasta
itu terutama kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar, saudagar, tani
besar, kaum terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta inilah yang
terbanyak dan kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin kuat, karena
kaum buruhlah yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang menjalankan
industri, yakni nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan termaju pikiran
dan wataknya dalam pergerakan ekonomi dan politik.
Dengan
angka-angka saja belum bisa kita dengan sempurna memperbandingkan majunya buruh
Indonesia dengan Eropa. Majunya itu terutama pula tergantung pada kualitas atau
tingginya industri yang ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa Indonesia
bukanlah industri-land melainkan terutama landbow-land, walaupun landbow atau
pertanian di Indonesia dijalankan dengan perkakas yang model baru sekali.
Berhubung
dengan itu, maka buruh Indonesia terutama bukanlah buruh industri malah buruh
tani (gula, teh, getah dan sebagaianya). Yang buruh industri betul (minyak
tanah, kereta, kapal) masih sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian Indonesia
dengan buruh perusahaan di Eropa itu membawa perbedaan lahir batin pula.
Proletar Indonesia masih muda, dan masih ada pertaliannya dengan familinya di
desa-desa, dan acap kali masih mempunyai tanah di desa-desa. sedangkan
proletar-industri Eropa sudah sampai ke nenek moyangnya terikat oleh pabriknya.
Proletar kita masih mundur dalam pekerjaan teknik, masih percaya sama tahayul
dan masih pasif. Proletar industri Barat sigap dan disiplin dalam pekerjaan,
tak terikat oleh tahayul lagi, serta bersikap aktif dalam pikiran dan
pekerjaan.
Begitulah
pula kaum-tengah Eropa bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di Indonesia
sendiripun, berbeda pula satu kasta dengan kasta yang lain dan berbeda pula
satu kasta pada satu pulau dengan kasta itu juga pada pulau lain di Indonesia.
Seorang tani di Jawa umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik gula, yang
acap naik kereta tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya dengan seorang
tani pemotong sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur hidupnya melihat
asap pabrik atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya perbedaan kemajuan
industri pada satu negeri dengan negeri lain membawa perbedaan kualitas, yakni
pikiran dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri itu, seperti Buruh Eropa
dengan Buruh Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di daerah Ternate.
3.
Krisis-Ekonomi
Walaupun
Indonesia sangat kaya, dan pertanian serta perusahaan dijalankan dengan cara
model baru sekali, tetapi bumiputera selalu dalam kemiskinan dan urusan uang
(staatsfinancien) sudah lama selalu dalam krisis. Walaupun pada waktu perang
yang baru lalu, modal-besar mendapat untung berlipat ganda dari waktu normal
atau biasa, tetapi sebab harga barang naik dan gaji tinggal sedikit, maka
kemelaratan Rakyat malah bertambah dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan
perang, urusan uang kalang kabut, sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya
negeri.
Sebab
yang dalam, yang mendatangkan kesengsaraan dan krisis itu, walaupun
kapital-besar mendapat untung berlipat ganda, terutama sekali, karena untung
itu baik langsung atau tak-langsung semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena
tiap-tiap tahun berjuta-juta uang dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal
(dividenten) yang masuk di industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung,
yakni dengan jalan perniagaan (export dan import), yang sama sekali dimiliki
oleh bangsa asing juga.
Walaupun
Pemerintah Indonesia sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada, polisi
d.s.g.) gunanya bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing serta
sebaliknya penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu, tetapi uang
buat pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar oleh
Kaum-Modal Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat
Indonesia tidak saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh
Kaum Modal Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu
Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral,
Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.
Sebab
Modal-Belanda tak mau membayar gaji hambanya itu dari kantongnya sendiri, dan
buat penambah Modal-Besar di Indonesia, maka Pemerintah Belanda terpaksa
meminjam uang ke lain negeri. Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang pinjaman
itu sampai F. 1476.662.000. Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun mesti
dibayar bunga kepada negeri lain F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada dibayar
dari gaji Guberner-Jendral atau untungnya Colijn, melainkan dengan pendapatan
Rakyat juga. (Semua angka-angka ini kita petik dari Handbook of the Netherlands
East-Indie, yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri)
Uang
masuk atau inkomsten, yakni terutama buat gaji hambanya pemerintah pada tahun
1921 ada F.769.700.000 tetapi uang keluar atau uitgaven, yakni yang dimakan
oleh hamba-hamba tadi ada F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan F.285.500.000.
Kekurangan itu tinggal terus menerus, tiap-tiap tahun.
Buat
pengobat krisis ini, maka Kaum-Modal Belanda memilih hambanya
Guberner-Jendral Fock.
Sebab
Fock ini dulunya ia mengaku liberal, maka buat penutup malunya sebagai liberal
ia mula-mula pura-pura mau menolong Rakyat Indonesia. Ia berjanji mau memaksa
Modal-Gula memperbaiki nasib buruh dan tani gula dengan ongkos Modal Gula
sendiri. Lagi pula ia mau memaksa Modal Besar menolong Rakyat membayar pajak
yang besar itu, supaya kekurangan pajak tadi bisa tertutup dan rakyat dapat
kelonggaran
Tetapi
sesudah Modal Gula menyepak kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan apabila
Colijn, yakni Raja Minyak menjawab "Tutup mulutmu, kalau tidak kamu saja
boikot, dan pabrik minyak kami tutup", maka tuan Fock yang liberal tadi
lebih suka memihak kepada gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada memihak
kepada Rakyat atau kepada paham liberalismenya. Malah ia lebih menjilat ke atas
dan lebih menendang ke bawah.
Keatas:
Gaji ambtenaren yang besar-besar di naikkan, laskar, armada dan polisi
dibesarkan.
Kebawah:
Pajak dinaikkan, buruh dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar buat
pendidikan, dan kesehatan Rakyat diturunkan.
Walaupun
Fock sedikit menaikan cukai dari barang masuk dan ke luar tetapi saudagar
Belanda yang mempunyai barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan harga
barang-barangnya, yang mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga (minyak,
kain, korek-api d.s.g.)
Rumah-Gadai,
yang dipunyai oleh pemerintah sendiri menaikan untungnya pula dengan jalan
menaikan isapan (Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang ini menurut
keterangan buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali membayar pajak
di dunia ini.
Di
negeri-negeri lain di Timur seperti India, Filipina dan Tiongkok, bumiputera
sendiri ada mempunyai perusahaan, pertanian dan perniagaan besar, sehingga
untungnya juga tinggal dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung itu
dipakai buat membayar pajak negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama
sekali tertimpa pada Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena
semuanya untung mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau
Zorgvliet.
Makin
besar Pemerintah-Indonesia meminjam uang kepada bangsa lain seperti Amerika dan
Inggris, makin berkuasa Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah ditelan
oleh Modal-Asing itu, makin besar uang yang mengalir ke negeri sebagai bunga
dan dividen uang pinjaman itu, dan berhubung dengan itu makin dalam kemelaratan
Rakyat dan makin hebat pula krisis ekonomi yang akan datang.
Selama
semua untung dari modal-besar, baik langsung atau tak langsung sama sekali
mengalir ke luar negeri, selamanya itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa
diobat. Betul sekarang, Fock hampir bisa mengadakan balans-begrooting atau sama-berat
uang masuk dan uang-keluar, tetapi balance itu semata-mata memperberat pikulan
Rakyat, dan wujudnya langsung akan memperjauhkan yang memerintah dari yang
terperintah dan memperdalam krisis-politik.
4.
Krisis Politik
Di
Filipina, India dan Mesir, oleh karena adanya Tani-Besar, Kapitalis besar dan
Saudagar Besar dari bumiputera sendiri, maka dalam waktu krisis politik, kaum
imperialist bisa memadamkan atau mengurangkan krisis politik itu, dengan jalan
konsesi, yakni memberikan sebagian dari kekuasaan itu kepada bumiputera. Disana
kaum modal asing mempunyai banyak sama keperluan ekonomi dengan modal
bumiputera. Kalau pada suatu jajahan, dimana Imperialisme itu masih autokratik
(yakni memungut semua kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut kemerdekaan, seperti
di India pada tahun 1918-1923, maka kaum imperialis memukul pergerakan itu
dengan konsesi politik. Imperialisme Inggris memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen,
dimana Kaum-Modal bumiputera boleh mengirimkan wakilnya. Oleh karena
kaum-tengah dan intelektual pada negeri yang ada mempunyai nasional-capital
hampir semuanya memihak pada nasional kapitalis itu, maka mereka itulah yang
terpilih menjadi anggota dari 1/2 atau 3/4 Parlemen tadi. Oleh karena keperluan
Modal-Asing dan Modal Bumiputera banyak bersamaan, maka buat modal asing itu
tak besar bahayanya, kalau sebagian dari politik negeri terserah pada wakilnya
modal kulit hitam. Oleh karena kaum buruh dalam pertandingan buat keperluannya
tak bisa membedakan Modal hitam dan Modal putih, maka Kaum Tengah dan intelektual,
yang mempertahankan modal hitam itu terbawa-bawa mempertahankan modal putih
seperti C. R. Das pemimpin Partai-Swaray di India. Dengan konsesi politik
itulah di India Inggris menarik Kaum intelektual, yakni pemimpin pergerakan
Rakyat ke dalam Parlemen dan dengan jalan kompromi itulah ia sering-sering
mengundurkan revolusi.
Menurut
pemandangan kita, atas dasar Marxisme, maka di Indonesia, sebab tidak ada
nasional-kapital, Modal Belanda tak bisa memberi konsesi-politik yang berarti.
Ia harus sendirinya memerintah atau dengan bumiputera yang memang terang
budaknya.
Kaum
cap Budi-Utomo (B.O.), Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische Partij
(N.I.P) yang dulu terpikat oleh suara merdunya Van Limburg Stirum, sekarang
kita harap sudah yakin, bahwa mereka yang mau tinggal jadi Wakil Rakyat
Indonesia tak bisa kerja bersama-sama dengan Wakil Modal Belanda di Volksraad,
dan Volksraad tak bisa jadi 1/2 Parlemen, seperti di India atau 3/4 Parlemen
seperti di Mesir dan Filipina. Volksraad mesti tinggal semata-mata buat
Kapital-Asing, dan anti seluruh Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau
Islamis dinegeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni kea daan dan
kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta,
maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto,
Tjokro dan Muis disepakkan, sesudah dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu
Krisis-politik tahun 1918. Kita kaum Komunis yang memboikot Volksraad pun belum
pernah mengadakan pemandangan kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad
Indonesia tak bisa menjadi Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih
tetap seperti sekarang.
Pemandangan
kita di negeri jajahan lain, seperti India di atas sudah sebagian memberi
keterangan. Di Indonesia tak ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah) atau Bangsawan
yang berarti banyaknya dan kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan Modal-Besar
sama sekali tak ada. Sebab itu kaum intelektual, yang di negeri kita baru mulai
timbul belum mempunyai kasta bumiputera tempat mereka berlindung. Sebab itu
kaum intelektual kita masih pasif. Karena didikannya di sekolah imperialis,
mereka tak mengerti, bahwa kasta mereka mesti mencampurkan diri ke kasta Buruh
dan tani, karena kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa merebut kemerdekaan.
Oleh
karena Kasta Modal Bumiputera di indonesia tak ada atau masih sangat kuno dan
lemah serta kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau memberi
1/2 atau 3/4 Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara Memilih Wakil
kepada Buruh dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus memberi konsesi
dan dengan Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan politik.
Ini
namanya contradictio determinis, artinya itu membantah diri sendiri. Masakan
yang menindas bisa memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti
si Penyamun akan memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera
yang disamun akan membunuh yang menjamun.
Semua
Hukum dan Kekuasaan yang ada di Indonesia sekarang, ialah buat membantu dan
membesarkan Modal Asing dan sebaliknya buat menginjak Rakyat Indonesia. Kalau
Rakyat yang sama sekali terinjak itu diberi hak politik, yakni senjata buat
mengubah, atau menghapuskan Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum akan tinggal
buat mempertahankan Modal Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta Modal
Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar yang kuat pula, tentulah
kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing dengan 1/2 atau 3/4 sampai
7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar (kaum mana terutama di jajahan
sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum imperialist. Belanda akan bisa menipu
Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu dan meundurkan revolusi. Tetapi di
Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah Tani, Buruh dan Saudagar kecil-kecil
yang sama sekali tak bersamaan keperluannya dengan Modal Asing, malah sama
sekali bertentangan. Sebab itulah Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik
yang berarti kepada Rakyat kita.
Pertanyaan
di negeri kita tidaklah revolusioner atau evolusioner, melainkan bagaimana kita
harus mengadakan program-merah, taktik-merah, organisasi-merah, agitasi-merah
dan aksi-merah, supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan sedikit kerugian
jiwa bisa lekas lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.
Sikap
Merah kita ini menjadikan cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda, dan
kecemasan serta ketakutannya itu membesarkan, laskar, armada, polisi dan
resisir pula. Hal yang terakhir ini seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan
pajak mendalamkan dendam kesumat Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini
pula. Demikianlah satu bersangkutan dengan yang lain dan hasilnya
memperdalamkan krisis ekonomi dan politik juga. Ringkasnya sikap merah kita
tidak saja berguna, buat mendidik Rakyat Indonesia dalam politik, tetapi juga
memperdalam pertentangan antara si Penghisap dan yang Terisap, sebab itulah
mencepatkan datangnya kemerdekaan.
III. PROGRAM.
Diatas
kita sudah mencoba menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan ekonomi &
politik di Indonesia sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih, kalau kelak
dicampuri oleh hal-hal lain, seperti bahaya kelaparan atau penyakit, pada
tiap-tiap waktu bisa melahirkan revolusi.
Keyakinan
ini tiadalah kita peroleh dari satu dalil atau nujum. Juga tidak, dari ilmu
kebangsaan cap N.I.P yakni karena yang memerintah berkulit putih dan yang
terperintah berkulit hitam, yang memerintah berwatak Barat dan yang terperintah
berwatak Timur. Warna, watak atau Agama itu tak perlu mendatangkan revolusi.
Kalau umpamanya di Indonesia ada kastahartawan bumiputera yang kuat, walaupun
kasta ini beragama berkulit putih dan berwatak Timur, tetapi dengan konsesi 1/2
sampai 7/8 Parlemen, revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan. Betul warna,
agama dan watak itu bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah ada, tetapi
tiada bisa menjadi hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam sesuatu
pemberontakan. Yang bisa mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini
sewaktu-waktu ialah karena pada krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam
oleh perbedaan watak, warna dan agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang
bisa memperdamaikan yang memerintah dengan yang terperintah.
Sebab
kita tahu, bahwa kemodalan Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka haruslah
kita dari sekarang mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah program
yang cocok dengan kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat, yang
tergambar pada P.K.I dan S.R.
Betul
sesuatu program revolusioner, yakni kehendak sesuatu golongan atau kasta, tak
berarti, kalau tak ada pergerakan revolusioner dari kasta itu sendiri. Tapi betul
pula, bahwa sesuatu pergerakan revolusioner yang tidak mempunyai basis teori,
atau lantai yang berdiri atas teori akan mati sendirinya saja. Lihatlah Budi
Utomo, S.I dan N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya revolusioner. Tetapi tidak
satu yang bisa menggambarkan maksudnya dengan terang. Betul juga sebab jatuhnya
ketiga partai itu karena tak mempunyai disiplin, tetapi sebab yang terutama
sekali ialah mereka tak bisa membuat program yang kukuh
Juga
partai kita, walaupun di sana sini lebih terang melahirkan kehendaknya dari
partai yang lain 2 di Indonesia, belum pernah memformulasi atau menetapkan
program dengan secukupnya. Apabila kita mau tinggal memegang pimpinan
revolusioner atas Rakyat melarat di Indonesia, maka haruslah sekarang kita
memaklumatkan kehendak kita, dalam perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.
Adapun
program itu tiadalah bisa kita gali dari dalil yang keluar lebih dari 1300
tahun dahulu, seperti pahamnya Haji Agust Salim, karena peraturan negeri pada
zaman yang belum mempunyai pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda sekali
dengan keadaan negeri kita sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita
timbulkan dari sentimen atau perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya
tiada pula bisa disalin dari programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau
Amerika dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial berbeda sekali dengan
keadaan di Indonesia. Melainkan kita harus memakai geest atau semangatnya
Marxisme, buat mendirikan program yang cocok dengan keadaan di negeri kita.
Jadi cuma metode atau cara mendirikan program itu saja bisa Marxis atau Komunis
tetapi material atau perkakas mendirikan itu ialah Indonesia.
Berpadanan
dengan itu, maka watak program kita haruslah:
a)
Cocok dengan kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh terlampau jauh, supaya kita
jangan lekas dilabrak oleh musuh, baik diluar atau didalam negeri, Sebaliknya
pula kita tak boleh mengadakan peraturan ekonomi & politik yang mundur,
dimana Rakyat akan tinggal terhisap dan tertindas. Berapa jauhnya tuntutan kita
itu, sebagai partai internasional, kita juga mesti memikirkan keadaan
internasional. Artinya itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada lama lagi akan
pecah. Tetapi boleh jadi juga lebih lama dari kita kehendaki sendiri, Kalau
revolusi-dunia besok pecah, tentu kita besok pula bisa dapat pertolongan lahir
dan batin (perkakas mesin, kepandaian buat industri d.s.g) dari buruh Eropa dan
Amerika. Kita dalam hal ini tak akan celaka, kalau segera mendirikan
Diktatur-Proletar yang sempurna, yang sepadan dengan keadaan Kapitalisme
Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia lama lagi akan pecah, dan kita besok
mendirikan Soviet-Republik, maka kita yang terletak di antara imperialisme
Inggris, Amerika dan Prancis ini dan terpisah sekali dari kaum Buruh
revolusioner di Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih lekas dan lebih kuat
dari pada Rusia akan dikepung dan dilabrak oleh imperialisme itu. Sedangkan
Republik biasa saja (demokratis) sudah akan bisa menggojangkan seluruh Asia,
apalagi kalau nama Republik itu dimerahkan pula. Tidak bisa dibantah lagi bahwa,
walaupun Indonesia terutama landbouw-land, tetapi hidup kita sudah sama dengan
industrieel land seperti Eropa. Ekonomi sudah hampir sama sekali bersifat
internasional, karena hasil industri dan landbouw kita seperti gula,
minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali tergantung dari perniagaan di
luar negeri kita dan pasar-pasar di luar Indonesia. Sebaliknya pula semua
keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain, perkakas dan beras sama sekali
datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau Amerika besok tak mau mangaku
kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga dengan kita, maka sehari kita
tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu sebentar kita akan jatuh. Jadi
jauhnya program kita haruslah sepadan dengan kekuatan kita yang ada dan cakap
menentang musuh lari atau tersembunyi, baik didalam ataupun diluar negeri.
Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat berjalan sendiri (kalau
revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan bersama-sama dengan dunia
(kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan Indonesia).
b)
Bisa menaikkan derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh Indonesia haruslah
memiliki perkakas hasil yang besar-besar, seperti pabrik, ondernemingen (bahasa
Belanda untuk ventures atau perusahaan - catatan editor), tambang, Kereta,
Kapal dan Banken. Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam hal menentukan,
membuat dan membagikan (produksi & distribusi) hasil negeri. Mereka
haruslah berkuasa betul dalam hal politik negeri. Perhubungan antara tuan dan
budak, seperti yang masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika dan Jepang,
yakni negeri-negeri yang kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung yang
berjuta‑juta yang sekarang tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat
Belanda, di Den Haag, haruslah tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh
dipakai buat Didikan dan Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar
kecil dan Tukang-Tukang dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan
industri model baru di Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta,
mesin-mesin dan perkakas lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun
electrische-centrale (bahasa Belanda untuk pembangkit tenaga listrik - catatan
editor) dari sungai-sungai dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan
demikian, maka niscayalah lama lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani,
Tukang dan Student akan maju derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan
kebudayaan atau peradaban.
c)
Bisa menarik Indonesia ke zaman industrialisme model baru. Bahwa perusahaan
besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa dimiliki kaum-Buruh, itu
sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu, hasil boleh diatur dengan
rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi buat di Lintah Darat di
Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya kepunyaan Modal-Asing,
yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan tiadalah ada
Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik nasionalisasi
Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil dan tani di
Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan Koperasi
Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan
perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan
kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan
hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia),
atau kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya
upaja yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan
perusahaan yang model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur
sekarang industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model
baru di dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya
juga akan memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.
d)
Bisa Mengadakan kerukunan seluruh Rakyat melarat. Kerukunan itu perlu tidak
saja buat merebut kemerdekaan dari imperialisme Belanda, tetapi juga buat
mempertahankan kemerdekaan itu keluar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang).
Walaupun Kaum-Buruh kita terkuat dari kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia
sendirinya saja tentu sukar merebut kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti
juga buat Sumatra, Borneo, Celebes d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru mulai
datang. Di Jawa sendiripun buruh industri yang betul-betul masih sedikit.
Ringkasnya, walaupun buruh bisa termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh
Rakyat melarat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti
mendapat pertolongan dari, tani, saudagar, student, serdadu dan tukang.
Haruslah seluruh Rakyat tertindas di Indonesia terikat dalam satu "tentara‑kemerdekaan".
Tetapi ikatan itu harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama
diikat dengan paham kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I.
saja. Ikatan semacam itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir
melainkan perasaan saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi
jani, kalau tani, tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul
mendapat keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan
B.0. takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah
pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di
bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan
bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh
di bawah Kyai, Haji atau Sjech, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi
kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil
karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan
menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan
Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan
segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.
e)
Bisa membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat Indonesia, dengan kekal.
Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan kebencian kepada Penindas
dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi kebencian dan kerukunan semacam,
sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi dingin, seperti pepatah
Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program yang mempunyai lantai
teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat, bisa mendatangkan
keyakinan yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul dengan hidup
dan pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal ekonomi,
politik dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul kemauan yang
keras buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu. Sebab itu
Program yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan semangat
revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.
III. PROGRAM
1.
Program Nasional P.K.I & S.R.
A.
Ekonomis
1.
Nasionalisasi atau memindahkan Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula, kina,
kelapa, semen dan tambang arang, emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah
Rakyat Indonesia.
2.
Nasionalisasi Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah, Tebu, Kopi, Kina, Kelapa,
Indigo d.s.g.
3.
Nasionalisasi Transportasi dan Komunikasi (Kereta, Kapal, Telegraf dan
Telepon).
4.
Nasionalisasi Bank, Perusahaan dan lain-lain Anggota-Perniagaan.
5.
Electrificatie perusahaan, dan mendirikan industri model baru dengan
pertolongan Negara, seperti buat pakaian, kereta, kapal, mesin d.s.g.
6.
Mendirikan Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara. Memberi perkakas dan
pertolongan pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.
7.
Emigrasi atau memindahkan sebagian penduduk Jawa dengan ongkos Negara, ke
pulau-pulau di luar Pulau jawa.
8.
Membagikan Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan memberi pertolongan pada
Tani itu buat mengerjakannya.
9.
Menghapuskan sisanya feudalisme (Yogya, Solo d.s. g) dan Tanah Partikulier,
serta membagikan tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin dan Proletar Tani.
B.
Politik.
1.
Kemerdekaan Indonesia yang sempurna (absolut) pada saat ini juga.
2.
Mendirikan Federasi-Republik dari kepulauan Indonesia.
3.
Memanggil Rakyat-Rakyat Indonesia yang mewakili seluruh Golongan dan Rakyat
Indonesia pada saat ini juga.
4.
Memberi hak-Memilih yang sempurna pada Rakyat Indonesia (lelaki &
perempuan) pada waktu ini juga.
C.
Sosial.
1.
Gaji minimum.
2.
Kerja 7 jam dan memperbaiki nasib kerja dan hidupnya Kaum Buruh.
3.
Perlindungan Kerja (Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak buat
mogok.
4.
Mendapat sebagian Untung dari Perusahaan yang besar-besar.
5.
Mendirikan Rapat-Buruh (Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.
6.
Menceraikan Negara dengan Agama, dengan mengakui Kemerdekaan Agama
seluas-luasnya.
7.
Memberi hak-hak ekonomi, politik dan Sosial pada semua penduduk Indonesia
lelaki dan perempuan.
8.
Nasionalisasi Gedung besar-besar, mendirikan rumah-rumah baru, dan membagikan
tempat tinggal buat Buruh-Negara.
9.
Membunuh penyakit menular dengan sekuat-kuatnya.
D.
Didikan.
1.
Didikan dengan diwajibkan dan ongkosnya Negara buat semua penduduk Indonesia
sampai berumur 17 tahun, didikan mana memakai bahasa Melayu sebagai bahasa
utama dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terpenting.
2.
Menghapuskan peraturan dan asas Didikan sekarang dan mendirikan peraturan
dan asas baru, yang praktis, yang langsung berhubung dengan industri yang ada
dan yang akan didirikan.
3.
Memperbanyak dan memperbaiki sekolah Pertanian Pertukangan dan Perniagaan dan
menambah serta memperbaiki sekolah tinggi buat Personel Teknik dan Administrasi
yang tinggi.
E.
Militer
1.
Menghapuskan Laskar yang imperialistis sekarang dan mendirikan Laskar Rakyat
buat mempertahankan Republik Indonesia.
2.
Menghapuskan hidup di tangsi dan peraturan yang menghina Kaum-Serdadu, memberi
izin tinggal di kampung dan di rumah yang dibikin buat mereka, penganggapan
yang lebih baik dan menambah gaji Kaum Serdadu Rendah,
3.
Memberi hak leluasa buat Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.
F.
Polisi dan Justisi.
1.
Memisahkan Pemerintah dari Polisi dan Justisi.
2.
Memberi hak-sempurna kepada tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan diri di
muka Hakim, dan melepaskan seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila keterangan
dan saksi kurang cukup.
3.
Semua Perkara, yang wettig (mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa dalam
5 hari pada tempat yang umum, teratur dan patut.
G.
Aksi-Program.
1.
Menuntut 7 jam kerja.
2.
Minimum Gaji dan perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.
3.
Mengakui Federasi Serikat Buruh dan hak Mogok.
4.
Mengatur Tani buat hak-ekonomi dan politik.
5.
Menghapuskan Punale Sanctie (pidana terutama atas penolakan untuk melakukan
pekerjaan dan melarikan diri - catatan editor).
6.
Menghapuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat menghambat pergerakan
politik, seperti Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media - catatan editor) dan
Onderwyswetten dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
7.
Menuntut hak membikin demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di seluruh
Indonesia buat melawan Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan semua
pemimpin Rakyat yang dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang
dibuang, massa aksi mana harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan
Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut perintah pemerintah).
8.
Menuntut menghapuskan Volksraad (dewan penasehat untuk Netherlands East Indie
yang dibentuk oleh Belanda - catatan editor), Raad van Indie (Council of Indies
atau Dewan Hindia yang dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC - catatan
editor) dan Algemeene Secretarie (Seketratis Jendral - catatan editor) dan
memanggil Rapat Rakyat (Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih Anggota
Menjalankan Hukum (Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat Rakyat.
2.
Keterangan Program.
Program
diatas, ialah buat seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar dan
Non-Proletar atau yang tidak Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar Kecil,
Tani, Student d.s.g yang semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa dan
melawan Imperialisme Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk yang
membenci pada Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka Program
Nasional ini tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua penduduk
Indonesia.
Oleh
karena di Indonesia Kasta Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd
(terkonsentrasi), maka ia lah pula yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta
yang lain-lain yang cerai berai itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa
Buruhlah yang termuka dalam hal tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial
(C), dan Aksi (G), sebagian besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar.
Tetapi dalam tuntutan Politik (B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh
banyak bersamaan dengan non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya
semua tuntutan politik (B. dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat
non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan
terutama buat non Proletar. Sedangkan tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat
kasta yang tidak boleh kita lupakan dan lengahkan ialah Kaum-Serdadu.
Walaupun
pada Program Nasional, yakni buat seluruh Native atau penduduk Indonesia, semua
tuntutan kita jadikan satu, tetapi dalam propaganda dan agitasi tentulah,
tuntutan yang terutama buat Kaum Buruh tidak boleh kita pakai buat kaum Tani.
Umpamanya tututan nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani tidak sepenting
perkara pertanian dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan propaganda kita mesti
pilih tuntutan yang konkrit atau yang nyata dan dirasa buat masing-masing
kasta. Kadang-kadang kita pentingkan betul tuntutan ekonomi seperti pada kasta
Buruh dan Tani, kadang-kadang kita pentingkan politik seperti pada penduduk
kota dan Kaum Student, kadangkadang perlu kita terangkan sikap kita terhadap
kepada agama, seperti di Solo, Yogya, Aceh, Banjarmasin.
Semua
tuntutan yang diatas tentulah yang umumnya saja. Berpuluh-puluh tuntutan
kecil-kecil buat Buruh, Tani dan Student atau Tukang, di Jawa atau Sumatera
d.s.g pada kitab ini tak bisa kita tuliskan. Program Nasional haruslah pendek
dan memeluk dasar dari tuntutan yang terutama saja. Tetapi plaatselyke
Organisaties dan plaatselyk Beleid atau kecakapan pada masing-masing tempat tak
boleh melupakan tuntutan yang plaatselyk dan penting buat satu kasta atau
golongan. Umpamanya buat Kaum Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan.
Begitu juga buat Buruh Gula, buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan
Borneo, buat saudagar kecil di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura,
Ternate d.s.g, pimpinan pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan,
sehingga seluruh penduduk Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib
masing-masing kasta atau golongan.
Semua
tuntutan itu haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan terang. Dari tuntutan
bersifat semacam inilah bisa datang keyakinan dan bisa lahir aksi revolusioner.
IV. ORGANISASI.
Adapun
perkara organisasi pada suatu jajahan, seperti Indonesia adalah suatu perkara
yang sangat sukar dan penting sekali. Dari pada kuatnya organisasi kita itulah
bergantungnya, bisa atau tidakkah kita kelak memecahkan organisasi musuh yang
sangat teratur tiu. Berhubung dengan Organisasi kitalah kelak bergantungnya,
bisa apa tidakkah kita merebut Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun
sebagai Kasta.
Tiadalah
bisa kita putuskan semua persoalan Organisasi itu dengan perkara Agama,
sehingga barang siapa sudah "dikekahkan" dan pandai menyebut
"syahadat" bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli
apa yang satu Saudagar Besar dan yang lain buruh atau tani melarat. Atau dengan
persoalan Kebangsaan, sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah
hitam bisa masuk ke dalam satu Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan
Tanah dan yang lain tak berpunya apa-apa.
Kita
harus menyusun serdadu buat merebut kemerdekaan itu menutut keperluan
masing-masing, yang sama keperluan hidup dalam satu organisasi pula, karena
buat memperbaiki keperluan hidup itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan
tiap-tiap bangsa bergerak dan mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis
bertentangan keperluannya dengan si Buruh, baikpun mereka "Indier"
cap N.I.P. ataupun kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya
dengan sapi, oleh karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun
dalam satu barisan. Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat
menendang musuh, seperti di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam
berlain-lain barisan. Oleh karena kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan
di dunia terbawa oleh tindasan dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama
bersandar atas Kaum Tertindas dan Melarat.
Walaupun
kita internasionalistis, tiadalah bisa kita mengambil saja Organisasi Buruh di
Eropa atau Amerika dan tanpa kritik, menanam Organisasi itu di negeri kita.
Organisasi-pindahan semacam itu akan mati sendirinya saja, seperti gandum
Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya akan mati juga. Kita harus dengan
semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan di negeri
kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta yang ada di Indonesia
dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada masing-masing Barisan dan
menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu pada Tentara Nasional, buat
memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.
1.
Maksud dan Sifat-sifat Organisasi
Maksudnya
Partai Revolusioner di Indonesia ialah buat menendang Musuh dan mempraktikkan
atau melakukan Programnya. Jadi Cara dan Sifatnya bekerja haruslah sepadan
dengan Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan Tempat dan Keadaannya bekerja.
Artinya yang terus ialah sepadan dengan tingkat dan tajamnya perkelahian dan
sepadan dengan pulau, kota atau desa tempat kita mengadakan aksi. Berhubung
dengan itu, maka aksi kita pada waktu reaksi belum kurang ajar dan Rakyat masih
lembek berlainan den gan aksi kita, kalau reaksi kurang ajar dan Rakyat bangun
dan tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan sifatnya kerja kita itu di Jawa
lain dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya lain dari di Cicalengka atau
Magelang, dimana industri masih lemah.
Makin
plastis atau liat seperti rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin besar
pengaruh Partai kita di seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita. Supaya
kita bisa memimpin seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah kita
lebih dahulu bisa memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau
Pasukan Muka dari Rakyat yang Revolusioner itu.
Sebab
itulah maksudnya Organisasi kita, terutama buat mengatur pimpinan yang
sempurna, yakni menyusun dan mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan
kepada seluruh Rakyat.
Pimpinan
itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan Rakyat sempurna
pula. Tanpa kontak satu Partai tak bisa memberi pimpinan, karena ia terlampau
maju di muka atau terlampau tinggal di belakang Rakyat.
Supaya
hubungan dengan Rakyat Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita memeluk dasar
Demokratis Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang dilakukan dengan
semangat demokratis atau sama rata. Jadi semua anggota Revolusioner dan semua
anggota Revolusioner, seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh, JOI, d.s.g,
masing-masingnya harus bekerja menurut kekuatan masing-masing, pekerjaan mana
mesti teratur dan terkumpul. Bedanya Partai kita dengan Partai Sosial Demokrat,
yakni beda bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat yang bekerja itu cuma
pemimpinnya, tetapi anggotanya pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial Demokrat
sangat birokratis. Semua anggota menurut saja apa perintah pemimpinnya, sama
betul dengan demokratisnya Parlamentarisme Kaum Hartawan, yang juga terbagi
atas Menteri yang aktif dan mengerjakan sekalian pekerjaan dan anggota
Parlemen, yang kerjanya mengomong saja. Pada Partai Komunis semuanya anggota
harus bekerja, kecil atau besar (propaganda, kursus, membagi surat kabar, buku,
mengerjakan administrasi d.s.g menurut kecakapan masing-masing), sehingga
demokrasi atau sama rata kita artinya "sama rata bekerja." Sifat
Demokratis Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan birokratisme, dan ialah
yang mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.
Disiplin
itu, ialah nyawanya suatu pergerakan revolusioner. Dalam pergerakan S.I
sudahlah cukup kalau seorang bersumpah "demi Allah demi Qur'an," buat
menjadi anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau orang yang mau
jadi anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah, atau sesudah ia
mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat gangguan apa-apa
dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita "mengaku Program" itu
belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.
Partai
komunis tiadalah menghendaki "pendeta Komunis" yang hapal programnya
dari muka sampai ke belakang dan dari belakang sampai ke muka. Partai kita mau
aksi atau perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang berpadanan dengan azas dan
maksud kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi seorang anggota tiada
mengeluarkan aksi apa-apa, maka tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada waktu
yang penting tiba tiba saja akan mendapat semangat yang aktif, seolah-olah
mendustakan dirinya sendiri pada waktu biasa. Ringkasnya Partai kita menuntut
aksi yang tetap dan benar, besar atau kecil dari tiap-tiap anggota. Kalau
seorang anggota tiada mencukupi perintah Partai, mengerjakan pekerjaan yang
dikira berpadanan dengan kekuatan anggota itu, maka lebih baik ia keluar saja
dari pada tinggal dalam Partai dan memberi contoh yang buruk pada kawan‑
kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja atau arbeiddisipline semacam itu,
tentulah pula tidak dalam satu hari saja bisa kita jatuhkan. Kita periksa dulu
keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara menjatuhkan "disiplin
kerja" itu harus ditimbang betul-betul dengan pemimpin-peminpin yang sudah
lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera dijatuhkan pada seorang anggota
yang mengkhianati partai, juga pada seorang anggota yang tiada mempertahankan.
Serdadu
revolusioner itu ialah serdadu yang mengerti dan mufakat dengan Program
partainya, yang selalu bekerja sepadan dengan kekuatannya dan selalu menjaga
kesentosaan partainya terhadap kepada musuh di dalam atau di luar partainya.
Agitasi.
Seperti seorang Penambang menceraikan emas itu dari tanah dan lumpur, maka kita
mengeluarkan aksi Kaum Tertindas itu dari peri kehidupan mereka itu juga.
Perkakas kita buat mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari dalam, betul dan
kuatnya Agitasi itulah bergantung datangnya Aksi.
Membuat
Agitasi itu tiadalah dengan "Assalamualaikum atau dalil-dalil" cap
Haji Agust de Groote ...... dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si Kromo
hari-hari, atau kalau menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo kepada
aksi. Juga tiada seperti N.I.P yang agitasinya tiada pula lebih jauh
welsprekendheid (lancar) atau mahirnya bicara tentang darah Indier dan wataknya
Indier. Kita Kaum Komunis tak pula boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang
menyangka, bahwa kalau kita campur menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku
kompromistis, dan cuma berharap, seperti kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu
kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba saja. Tidak pula seperti si
Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur menyelesaikan persoalan si Kecil
itu ialah buat menarik mereka, supaya ia memilih Kaum Sosial Demokrat jadi
anggota Parlamen, atau supaya Kaum Buruh masuk jadi anggota Partai Sosial
Demokrat. Kita Kaum Komunis menyelesaikan persoalan si Kromo, supaya mendapat
kepercayaan dari mereka, bahwa kita betul-betul mau menolong mereka. Begitulah
kita mendapat kontak dengan mereka dan bisa menarik mereka kepada aksi yang
teratur.
Agitasi
itu haruslah konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas hisapan dan,
tindasan si Kecil hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara gaji, lama kerja
dan penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah perkara ini boleh kita
singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran memberi jawab, yang bisa
memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota,
dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah,
Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah
perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa,
baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat
dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan
dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta berkata: "Kalau
Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman
Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami
tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan
sakit sampai Komunisme datang." Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat
kita mesti memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti
mempunyai keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang
tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya
kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi,
kalau kita campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.
Dari
aksi kita hari-hari itulah kita bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh dan
Contract yang kekal, dan dari aksi kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi yang
besar. Marxisme itu bukanlah ilmu "hapalan" melainkan satu pedoman
buat aksi, atau satu richtsnur tot handelen (guide to action)
Legal
atau Illegal yakni Terbuka atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya bergantung
kepada keadaan bekerja. Kita suka bekerja legal, karena dengan jalan umum itu
Program dan Taktik kita lekas diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi kalau
terpaksa, kita mesti teruskan propaganda dan Agitasi kita dengan jalan
tertutup. Walaupun kita dipaksa berjalan tertutup, kita harus memakai dengan
segala kekuatan dan kecakapan segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat.
Tidak boleh kita geisoleerd (terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.
Di
Eropa Barat kita melihat pada waktu sebelum perang, Partai yang terbuka itu,
tak bisa sama sekali bekerja tertutup seperti Partai kita di Rusia. Sebabnya
ialah karena di Barat sangat tebal demokratisnya negeri, jadi orang bisa
mendorong kiri kanan dengan mulut. Tetapi di Rusia Partai revolusioner harus
bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau Revolusi datang dan Partai
revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup ia tidak bisa jalan seperti
Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka atau pun tertutup.
Partai
yang selalu kerja tertutup itu, ada mengandung bahaya, sama sekali akan
kehilangan kontak dengan Rakyat melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu,
bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia tiba-tiba keluar, Rakyat tidak
mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba memberontak, Partai yang
tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi siap.
Contoh
Partai Konspirasi atau Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak di negeri
Timur, seperti. Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya disumpahi
setinggi langit, maka ia boleh kelak menunggu "alamat" dari Alam dan
menunggu perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat
keluar itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau politik melainkan,
barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti
lagi. Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik
Rakyat yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan
bekerja menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau
pemimpinnya di hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu
apa-apa.
Kalau
kita mengatakan kita mesti kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah mesti
meninggalkan pekerjaan yang praktis hari-hari dan kita lakukan kerja tertutup
itu ialah karena terpaksa, seperti sekarang kita sudah terpaksa menutup
sebagian dari pekerjaan. Bukan karena kita takut melainkan karena kita tidak
bodoh dan mau diprovokasi, yakni berkelahi sebelum siap betul. Pada masa
Afdeeling B tak ada hal yang penting yang menyebabkan anggotanya perlu
bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I
mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak maju berterang-terangan oleh
Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri, sebagai Linker-Vleugel atau Sayap
Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang tersesak karena ada peperangan
(1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.
Kalau
kita Kaum Komunis terpaksa bekerja tertutup, maka kita mesti tetap tinggal
bersambung dengan Rakyat. Anggota kita mesti tinggal mengurus anggota-anggota
yang masih diaku Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat Buruh umpamanya tak
diaku, maka kita lari ke koperasi, kalau inipun tak diakui kita lari lagi ke
Serikat Kematian, dan seterusnya, sampai "saat" kita datang, yakni
kalau seluruh Rakyat keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi yang di aku sah
oleh pemerintah itu perlunya bukan saja buat mengetahui stemming atau suaranya
Rakyat, tetapi juga buat mendidik pemimpin-pemimpin kita berbicara dan mengatur
Organisasi. Sehingga kalau Pemberontakan datang kita tidak kekurangan Orator,
yakni tukang pidato, Agitator dan Organisator yang cakap, pemuka-pemuka mana
perlu sekali buat merebut dan mempertahankan Kemerdekaan ke dalam dan ke luar
Negeri.
Partai
Komunis berdiri atas Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan Massa-Aksi ini
bersamping kepada demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan
politik. Kalau yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh
direbut dengan kekarasan.
Pada
sesuatu demonstrasi, kontak atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh, Tani,
Tukang, Saudagar dan Student) haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru bisa
teguh dan boleh dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai cukup
wakil dari semua Kasta yang tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu mesti
didengar betul oleh urusan demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa
terlandpur atau ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu
sesudah perang Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup
mengadakan Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan
Buruh, maka ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik
negeri, sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh
Tambang 3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat
Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.
Supaya
demonstrasi di Indonesia berhasil, haruslah kelak di Sentral Pimpinan Revolusioner
diadakan Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta di Indonesia. Begitulah suara
dari segenap pihak boleh di ukur dan kita tak mudah ketinggalan seperti di
Italia atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah terlanjur seperti pada Aksi
bulan Maret di Jerman 1921.
Demonstrasi
itu menuntut Pimpinan yang plastis dan Korban yang banyak. Pimpinan mesti
selalu tahu, apa demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan Pemogokan atau
Boikot. Dalam masa itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan surat menyurat
mesti ditempat yang rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.
Sebelum
demonstrasi keluar, haruslah dibicarakan lebih dahulu tempat Demonstrator yang
keluar dari semua penjuru kota atau desa mesti bertemu, apa tuntutan yang
penting buat masa itu, apa perspektif atau Hasil demonstrasi kelak, kapan dan
bagaimana mesti dibubarkan. Bersama-sama dengan beriburibu dan berjuta-juta
Demonstrator itu ada tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum atau Sidang
Pimpinan, yang cukup mendapat kabar dari manamana dan pada tiap-tiap saat bisa
memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh dipenjuru yang
penting-penting, buat memimpin sekalian pasukan demonstrasi tadi.
2.
Tentara Nasional.
Berapa
susahnya mengadakan Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti Indonesia,
sudahlah bisa dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri dalam
kira-kira 17 tahun yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung
diawang-awang saja, sama sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P
dan S.I yang diembus dengan "kebangsaan" dan "Agama"
sekarang sudah kosong karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi
itu mesti berurat pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap.
Tetapi kita mesti bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita
sendiripun belumlah jelas dan konsekuen, bahwa "Keadaan ekonomi dan
Keadaan Kasta di Indonesia" itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam
pertimbangan kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti
Mesir, India d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan
Nasionalisme yang revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah
timbul pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis
sendiri, melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan
dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan
Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh
diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan
di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak
ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri,
yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner,
diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan
menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata
pihak ini seterusnya melemparkan "imperialisme."
Disini
tak tempatnya buat memeriksa pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi kita boleh mengambil
pengajaran dari pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan pergerakan
nasionalisme itu buat melemparkan imperialisme satu faktor atau hal yang sangat
penting, yang tiada boleh kita putuskan dengan dogma atau "kajian
hapalan" saja.
Sebaliknya
pula kita tidak boleh menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan berkata :
"Nah, kan perlu lagi dihidupkan bangkai bangkai ini."
N.I.P
dan S.I mati karena ada mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah karena tak ada
Nasional Kapital yang kuat di Indonesia, yang bisa memberi inspirasi atau
semangat buat mendirikan Program yang kokoh, Organisasi yang teratur serta
Taktik yang tetap, seperti di Mesir dan India. Oleh karena pemimpin-pemimpin
B.O, N.I.P, & S.I seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro Aminoto dan Salim
terpaut oleh Kasta dan didikan mereka, ia tak pernah sampai ke kasta Kaum
Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah yang kuat
karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa datangnya
inspirasi dan pimpinan buat merebut kemerdekaan.
Sebaliknya
pula kita Komunis tak pula boleh memandang Indonesia sabagai Negeri industri,
seperti Jerman atau Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan Agama dalam
pertarungan kemerdekaan sama sekali tak ada artinya. Dan berhubungan dengan hal
ini cukuplah kalau di Indonesia kita adakan Satu Partai Komunis saja.
Sikap
inilah kira-kira yang dipeluk oleh pihak yang mau menghapuskan S.R pada
Konferensi bulan November 1924 di Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :
"Kaum
borjuis kecil di Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan dengan
imperialisme Belanda, yang tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab itu S.R
yang juga kumpulan borjuis kecil tak akan bisa menang."
Demikianlah
kira-kira isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya borjuis kecil di
Indonesia buat kita pada masa ini perkara "puur philosophisch"
(filosofi murni) artinya perkara timbang menimbang dengan tiada akan mendapat
keputusan. Tetapi bukanlah kesimpulan atau putusan kalah menangnya itu sekarang
yang terpenting buat kita, melainkan akuan, yang tak dibantah, malah terbawa
oleh Referaat tadi sendiri, yakni Kaum borjuis kecil masih selalu berkelahi,
jadi masih revolusioner.
Inilah
yang terpenting buat kita, dan hal ini memang apriori atau sudah termasuk ke
dalam pikiran. Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis Besar atau
Hartawan-Besar. Pada Zaman Bangsawan, Borjuis kecil Indonesia terhambat oleh
Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia acap berperang dengan Bangsawan itu. Pada
Zaman kita mereka terhambat oleh imperialisme Belanda, sebab itu ia sekarang
melawan imperialisme Belanda. Perlawanan ini sudah terbawa oleh alam dan tak
akan habis, selama keadaan kasta-kasta masih tetap. Ringkasnya sekarang dalam
himpitan imperialisme Belanda, borjuis kecil kita yang kira-kira 70% banyaknya
dan tak berapa bedanya tertindas dari Kaum Buruh Industri akan tinggal
revolusioner.
Berhubung
dengan akuan diatas ini maka persoalan kita seharusnya, sebelum imperialisme
Belanda belum kalah, ialah:
Bagaimana
kita mesti mengatur P.K.I. yang kuat sebagai Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari
pergerakan revolusioner Indonesia ?
Bagaimana
kita mesti menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai Reserve atau Pasukan Pembantu
pergerakan revolusioner ?
Bagaimana
kita mesti menarik Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak, dari seluruh
Rakyat Melarat ?
Bagaimana
kita mesti mengadakan perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai Partai
Non-Proletar ?
Inilah
persoalan kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa Non-Proletar saja
tanpa Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa
pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah akan menang. Sedangkan di Jerman,
dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali buruh Industri model baru, pada
tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali buat revolusi, kita dengan
segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia kemerdekaan kita
peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang banyaknya 80%
itu, jadi dengan borjuis kecil juga.
Berhubungan
dengan 4 persoalan yang diatas, maka kita sangka pertimbangan buat mengadakan
Satu Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh Indonesia ada salah. Kita pikir di
kota besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti
dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai, baik
di seluruh Indonesia ataupun buat kota-kota besar, kita pikir, pertama kita
bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti perut kemasukan
angin.
Kecil,
karena sudah kita terangkan, bahwa Indonesia tidak negeri industri betul
melainkan landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota kita
bukan pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya kota-kota
kita, terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi, saudagar kecil-kecil seperti
penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti guru-guru, jongos, clerk
d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat sedikit, kalau
diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan buruh industri
produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll), melainkan buruh
pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya juga kurang dari
buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau New York, dimana,
kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai 1.000.000 Buruh
Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan minyak mesin,
berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum seperti Bombay,
dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang mempunyai
300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain, mesin, kereta,
kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan gula, tetapi
mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan sebab disini ada
pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab sangat
terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.
Ringkasnya
betul buruh kita (kereta, kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat dari
non-proletar, karena mereka menjalankan perusahan negeri, tetapi kita jangan
overschatten (overestimate atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan
kekuatan kita. Kalau kita bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan
mengadakan Satu Partai, serta menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat
kecil.
Kalau
ia dijadikan besar, maka terpaksa ia menarik jadi anggotanya saudagar-saudagar
cendol, nasi, rujak d. s. g. Inilah namanya verwatering (mengencerkan), lebih
santan dari pada air dan seperti SI akan segera jatuh kegemukan saja. Tidak
boleh tidak elemen borjuis kecil itu, kalau masuk Partai Komunis, walaupun ia
"menghapalkan" program kita, akan membawa semangat dan wataknya
borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul kursus dan didikan bisa
membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita mesti tahu
"bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat" atau de materieele
onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan Dogmatis yang
percaya, bahwa dengan "menghapalkan" saja satu ilmu bisa jadi orang
bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang bukan golongan buruh bisa
menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis kecil tak bisa dilompatkan
menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis kecil itu memang
masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah menang) sebab
itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu ia Komunis.
Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI sendiri,
yang bisa memecahkan diri dari dalam.
Bagaimana,
kalau kita dirikan Satu Partai buat seluruh Indonesia dari kaum Buruh, dan
non-proletar kita susun dalam Serikat Buruh?
Serikat
Buruh saja tak cukup buat mereka, karena mereka borjuis kecil di negeri kita
juga mempunyai cita-cita politik. Siapapun di kota-kota atau desa-desa, apapun
juga pekerjaannya ia mau merdeka sebagai bangsa. Jadi kita harus mengadakan
politik yang sepadan dengan kehendak mereka itu. Koperasi, Serikat Buruh atau
Serikat Tani tak mencukupi cita-cita politik, lebih-lebih dari penduduk kota
dan setengah kota.
Lagi
pula, kalau kita mau mengadakan Serikat Buruh buat borjuis kecil di kota
besar-besar seperti Betawi, Semarang, Surabaya d.s.g. di kota-kota klas dua
seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang, Banjarmasin d.s.g, berapa ribu Serikat
Buruh mesti kita bikin, buat mengikat saudagar kecil-kecil, jongos, tukang
penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya mustahil!
Kita
tidak saja di desa-desa dan kota-kota klas dua mesti mengadakan Organisasi
politik yang memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita, tetapi juga di kotakota
besar seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi kecilah yang terbanyak dan
industri produktif sama sekali belum ada. Baru kalau Partai Komunis bersamping
dengan Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota, yang pada segenap waktu
bisa dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi politik umpamanya
demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau
kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh beribu-ribu
Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh seluruh Rakyat
yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.
Berhubung
dengan pertimbangan kita diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan tadi buat
Indonesia Organisasi yang berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita
1.
Diadakan Partai-Kembar (PKI & S. R.), pada pusat ekonomi, politik dan
Pergerakan, seperti di Betawi, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang dan Medan,
pada pusat ekonomi (industri) seperti Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan
Brandan, Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang,
Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik kereta atau kapal, seperti lain
yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g.
yakni menurut pertimbangan yang lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup
PKI saja).
Anggota
PKI terutama mesti dari Buruh industri, seperti dari bengkel, baik kereta
ataupun pelabuhan, Buruh Cetak, Pabrik gula, minyaktanah, tambang arang,
minyak d.s.g. Golongan inilah yang mesti jadi ruggegraat atau tulang
punggungnya P.K.I.
Kursus
mesti dikencangkan, tetapi isinya mesti praktis dan berpadan dengan keadaan dan
aksi di Indonesia. Program dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah yang
berhubungan dengan industri dan negeri. (Lihat Program Nasional!).
Kontribusi
dipertinggi dan disiplin diperkeras. Dalam semua Aksi seperti Pertemuan, Mogok
dan demonstrasi anggota P.K.I mesti dimuka.
2.
Diadakan S.R. saja, selainnya dari tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh
Indonesia, di kota-kota klas dua, seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh,
Pontianak, di pelabuhan klas dua, di desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk
ke dalam hutan seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak ada tempat yang boleh di
lupakan.
Anggota
S.R boleh dari sembarang kasta, asal mengakui dasar revolusioner, yakni mau mengusir
imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O & S.I ). Student,
saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau itu, beragama Islam, Kong Hu Tju
atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama atau anarkisme, pendeknya semua
yang benci kepada Tindasan Imperialisme bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.
Kursus
haruslah berhubungan betul dengan "keadaan dan cita-cita mereka. Perkara
kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka, perkara sewa rumah, Pajak,
pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul oleh penduduk kota tak
boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun dengan pakrol-pakrol si
Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu mesti ditolong oleh S. R.
Kontribusi
mesti serendah-rendahnya, karena maksud kita yang terutama, supaya menarik
mereka ke bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga disiplin tidak bisa
begitu keras, karena hal ini sudah terbawa oleh watak mereka. Jadi maksud kita
yang terutama ialah mengumpulkan semua golongan yang tak senang hati di bawah
Imperialisme Belanda dan memimpin mereka dalam segala aksi.
3.
Dengan Perantaraan P.K.I, kalau krisis ekonomi dan politik datang kita bisa
menarik terutama, segala Buruh industri yang ada, baik yang sudah diatur dalam
Serikat Buruh ataupun yang belum di atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI.
akan memberi pimpinan yang langsung atas semua golongan Kaum Buruh di
Indonesia.
Dengan
perantaraan S.R, semua penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual ini atau
itu, student d.s.g dan semua penduduk desa dan gunung akan menarik dengan
Tuntutan yang pantas ke dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat melawan
Krisis ekonomi atau politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I. & S. R.
keduanya mesti menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat Indonesia merebut
Kemerdekaan.
Teranglah
sudah maksud kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan Bovenbouw
(atas) dan Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak di kursus atau tinggi
berendah (memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke zaman persamaan, bukan?),
melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi berlainan keperluan dan
sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam dua pasukan. Sebab
Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang terutama serta
non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang Aksi yang tetap,
Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan Senjata yang tetap
(Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa memberi Pimpinan yang
tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena internasional (memang ini
dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama (memang ini mengandung
dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri atas kasta non-proletar
yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat revolusioner itulah yang menjadi
kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada melanggar Agama atau Kebangsaan,
malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu ada memperkuat keyakinan dan
semangat Revolusioner.
4.
Karena Buruhlah kasta yang terkumpul, dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam,
yakni mogok, maka ialah pula yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut
kemerdekaan Indonesia.
Walaupun
Seksi atau Lokal diatur dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu mesti satu,
supaya urusan, agitasi dan aksi bisa satu pula. Supaya semua golongan di
Indonesia bisa diperhatikan keperluannya, maka pada Sentral Pimpinan
Revolusioner di Betawi, seberapa boleh kelak mesti diadakan wakil dari semua
pulau, dan semua kasta yang terutama seperti Buruh, Student, Tani dan Penduduk
kota. Buat memperhatikan kepulauan Indonesia yang begitu besar tentulah belum
cukup 5 atau 6 orang duduk di Sentral Pimpinan.
Supaya
agitasi buat seluruh Indonesia dirasa betul oleh semua golongan haruslah
Sentral Pimpinan Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri dengan yang
lain (Jawa dengan Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan satu
golongan dengan golongan lain (Buruh dan Tani atau Student dengan Penduduk
kota). Berhubung dengan hal ini pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah
dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren van arbeid) (partisi dan spesialisi
kerja).
Supaya
pimpinan tinggal revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P, haruslah baik di
Sentral Pimpinan ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang mayoritas atau terbanyak
ialah pemimpin Komunis. Dengan jalan begitu, kita menjaga supaya pergerakan
Indonesia tinggal proletaris dan tak menjadi oportunistis atau reformistis,
yakni lembek seperti S. I. dan N. I. P.
Demikianlah
Sentral Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua Seksi P.K.I
& S. R, semua Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan Rakyat-Scholen,
yang menaruh semangat proletaris dan revolusioner, menunggu datangnya saat,
dimana ia dengan Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan politik.
Oleh
karena Massa-Aksi itu cuma bisa dijalankan dengan Massa, yakni beramai-ramai,
maka haruslah P.K.I yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R yakni pasukan Muka Kaum
Non-Proletar menambah anggotanya dengan berlipat ganda. Kalau S.I pada waktu
baiknya bisa mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota (betul belum seperti
anggota sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri sampai 5 atau 6 juta
simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau Taktik, Program dan
Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita mesti dapat laskar buat
PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari Serikat Buruh yang terutama
seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B haruslah berlipat ganda banyaknya.
Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g mesti ada koperasi-koperasi yang
kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak anggota dan Seksinya. Di Betawi,
Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I yang bisa mempunyai 1000-2000
anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota. Kalau sudah bisa kita mengadakan
Tentara Nasional sebesar ini tidak saja Imperialisme Belanda segenap waktu bisa
hancur, tetapi juga imperialisme Asing tak akan gampang menentang Tentara yang
sebesar itu.
V. REVOLUSI.
1.
Peperangan dan Revolusi.
Sebermula
maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam
(hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua
hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan
berbeda cepatnya bekerja.
Seperti
suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita
ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu
mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup
kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju dengan sentosa. Berhubung
dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban maju dengan tiada di rasa.
Tetapi
seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung akan menebus gunung itu,
demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau
Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.
Baik
dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap
maju.
Sebagian
dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain,
dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian,
maka bangsa yang menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah
pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche,
seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam
bukunya "Also Sprach Zarathustra" (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster)
dan dalam "Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia
menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima
perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di
medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan
segala keyakinan.
Nietsche,
ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh
kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme,
yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban
bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa
yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh
Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.
Selamanya
ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan. Cacingpun, yang
diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan
berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan
majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika
dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di
India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan putus
putusnya.
Peperangan
buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan
tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar,
Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih
dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L'Ouverture pemimpin
budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria,
laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar
Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari
pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin
laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme,
melainkan kegiatan yang suci.
Tindasan
feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan
tindisan satu kasta dari kasta yang lain.
Voltaire
dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan
melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru pula, yakni: "Kemerdekaan,
Persamaan dan Persaudaraan."
Kaum
Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi.
Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman
baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria
Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu
sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.
Pemikir
baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan
baru: "Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah" Tidak lagi satu kasta
dalam satu negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah
dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan
Komunisme.
Lenin,
Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan
Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur
kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.
Imperialisme
boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom
dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh
sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata.
Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari
pada peluru dan bom, yakni kerukunan.
Kalau
Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara
imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian
senjata itu ialah Kaum Proletar juga.
Inilah
senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.
Serdadu
Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah
sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh
berapapun besarnya.
Revolusi
bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas
merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa
Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia
yang termulia untuk maksud yang tersuci.
2.
Revolusi di Indonesia.
Objektifnya,
yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi.
Lepasan-Kerja (pemecatan - catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum
Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum
Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi.
Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat kita.
Walaupun
ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner,
artinya itu belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang
urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik,
sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu
persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam
dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu
hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai
hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah
tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita
mesti dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga.
Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun
Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat
merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian
hasil itu (produksi dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh
di dalam dan di luar negeri.
Wataknya
kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan.
Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur
sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama pertanian kecil
(bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim
buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gununggunung, buat meneruskan
peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat besar dan penduduk
sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4
1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat
Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36
juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang sekali, maka perang
gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa
yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada
tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai
ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar
negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi
dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar kapitalistis dan
internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme.
(Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5 juta).
Oleh
karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan
politik selamanya ini bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma
buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari
Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu
perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat
Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak ekonomi dan
politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris, politiknya Kaum
Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat
maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat dilawankan kepada
Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka Ghandi melarang
Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum Nasionalis di India ialah
Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan dan perniagaan Inggris dan
membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi Putera.
Tetapi
di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena tak ada
kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti
disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan untuk satu
golongan kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang
terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa
mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang
besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di
tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat
akan segera bisa menjadi baik.
Berhubung
dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan
pemberontakan Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray).
Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda
dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk
menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).
Jadi
pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu
perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur dengan
perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.
Mana
kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi dan
politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama
kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.
Di
Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa
dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap
waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R)
dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap
boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua
kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih
setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari
luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol,
sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika,
begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk.
Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti
kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu
terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik
dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.
Di
luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita
mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok,
boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan,
maka pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.
Meskipun
begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate
bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat
kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat
Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner
akan tetap naik di seluruh Indonesia.
Kita
tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak
bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap
tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang
memberi senjata pada Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik
(sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat
mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita
sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat Kemerdekaan Indonesia
dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme di
Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan nasibnya,
protes dan maksud kita, selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke Aksi
Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api
revolusioner itu akan meletus di lain tempat: "Umpamanya gula akan habis
terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh
dimana-mana." Bukan karena kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang
sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.
Walaupun
pemberontakan Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab
ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan
internasional, maka Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran
pergerakan kebangsaan dan kekastaan.
Berhubung
dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang
gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi
"aanvulling" (tambahan - catatan editor) atau tempelan dari
pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak terutama pada
massa aksi yang teratur: "mogok, boikot dan demonstrasi."
Walaupun
berapa juga verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme
(lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan
menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa
memegang senjata Massa aksi yang maha tajam itu.
3.
Taktik di Indonesia.
Dalam
daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada
memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis
c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di
lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya
imperialisme.
Cuma
kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial
Demokrat tak bisa masuk.
Taktik
kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka
kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform,
yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar
kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme
Belanda.
Taktik
kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang
hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula
yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000,
buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari
1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas,
timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan
kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang di
sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang,
Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan
diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor
dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh
bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas
terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan
segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota
P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil
saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah.
Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo,
Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang
bisa membayar cukup dan tetap.
Kalau
kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan
sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu
adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat
ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu
dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita
yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program
Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.
Kalau
kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras,
barulah kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa
mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.
Inggris
tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di
Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di
Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan
Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka
perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan
alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan
politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh
dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu
bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan
sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan
menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam
pergerakan revolusioner di Eropa.
Kita
tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada
Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya - catatan
editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan
negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua jajahan akan lebih keras
menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh.
Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan
bersatu.
Walaupun
Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun
yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga
ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena
Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak
hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda.
Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda.
Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk
ke Indonesia buat menambah kebun getah.
Jadi
ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan
semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka
seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita.
Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa
imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran
dan maksud tak satu akan hancur.
Sebaliknya
kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang
lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik
kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan
memperdalam pertentangan itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi
dan kita terpelihara.
Kalau
saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal
kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati
dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas
akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal
kemerdekaan itu.
4.
Massa Aksi di Indonesia..
Apabila
kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa
Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka
Bonifacio dengan marah berkata: "Bliksem (petus!). Dimana dia baca?"
Dr.
Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah
pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang
palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia,
mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau
lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada
Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio
menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa
bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan
bedil buat revolusi.
Bonifacio
ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia
cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian
serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina
luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan
Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang
kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal
diseganinya sebagai pemikir dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan
pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.
Apabila
akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina
meratap dan berniat membalas dendam. "Kalau Rizal seorang yang begitu
besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah
apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan
Filipina?" Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki
dan perempuan.
Sekaranglah
datangnya saat buat Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa
atau Rakyat Filipina. Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio
mengumpulkan anggotanya dan dengan "bolo" (pedang) sekerat saja
mereka menyerang tentara Spanyol yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat
mengikut panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa
pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu
merebut dengan tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan
peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat
mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.
Tiada
lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain
robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah
benteng Manila saja yang belum jatuh.
Banyak
lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang
revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa
bisa menundukan laskar yang teratur.
Umpamanya
L'Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak
miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon
berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan
kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner bertahun-tahun,
akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya.
Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917,
tiada lebih dahulu memesan "kapal terbang" sebelum ia menyerang
tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.
Senjatanya
Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau
semangat revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka
semua kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut
dengan tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal.
Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil
contoh terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari
penduduk negeri lain.
Orang
tak bisa bantah, "O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu
kuat." Atau "mereka berkulit putih atau berasal ini atau itu."
Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.
Sebaliknya,
walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina
lebih dalam kecelakaan dari pada kita.
Ketika
mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun
mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan
satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000
terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan
Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6
1/2 juta saja.
Kita
sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu
revolusi industri belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan peperangan,
yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.
Kita
lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih
besar dari bangsa apapun juga di dunia.
Kita
masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita cukup
mempunyai propagandisten dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal.
Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu
ditembak, dan propaganda terutama harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio
harus menjalankan propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia sekali serta
dengan kaki atau sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar revolusioner,
karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia sekali dari
Spanyol, Hong-Kong dan Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang
membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena
pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat
kabar itu.
Walaupun
Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani
menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara
kedua negeri yang sangat teratur itu.
Kita
satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau
Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah
tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan
dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua
musuh dari luar negeri.
Disini
tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau
Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai
sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia
cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang
55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan
damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk
kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g mau
merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo
hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: "Besok Republik
Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan)."
5.
Rapat Rakyat Indonesia.
Saat
kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik
yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya
datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah
sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.
Kalau
Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan
tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat
sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu, maka
Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat
sendiri dengan pimpinan baru.
Kalau
pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada
akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan
tiada senangnya dengan peraturan yang ada.
Kalau
pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu
sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau
memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri,
mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok,
Pertemuan, dan demonstrasi.
Kalau
Pemerintah terus memakai "Tangan Besi" dan tiada menimbang permintaan
Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum
berani melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan
gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan
kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.
Semangat
revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa
dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk
di semua kasta dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat
Rakyat Indonesia.
Proletar,
Tani, Student, Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah,
memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau
Pertemuan.
Rapat
Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah
Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah
tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau
Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman
pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam laskar itu
sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).
Memanggil
Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang,
yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan
tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh
kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan
demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat
melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat
itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.
Tentulah
Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda,
bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::
"Umpamanya
kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan
(tentulah kalau pimpinan merasa perlu...). Kalau tuntutan ekonomi dan politik
dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh
seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari
untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau
rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun
terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi
Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok,
Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak,
menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih - catatan editor),
Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta
itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan
karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta
dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu
mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan
tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak
berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih
dahulu..."
Inilah
semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan
menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.
Barulah
datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan
lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap
kepada musuh di dalam dan di luar negeri.
Sebelumnya
saat buat bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang
terutama terus: "Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi."
Kalau
Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana
perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan
Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di
Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir batin lebih dari
cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang
betul.
Kita,
sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan
kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner
dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu,
maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat
dan saat yang tidak kita kehendaki.
Semua
pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia
belaka. Semua macam "putch" (pemberontakan tiba-tiba dari satu
golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu
sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan
seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa
melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun
1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di
tangan Yuan Shi Kai & Co.
Aksi
ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang
tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri
pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari
bangsa Indonesia sendiri.
6.
Revolusioner Komunis.
Pada
suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme,
seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme
membawa agama dan politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo
Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya,
bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya
percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan
bisa dibangunkan lagi.
Kapitalisme
jajahan yang masih muda di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit
pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang
tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih
muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang
dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada
zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis
kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu
individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya
bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.
Tetapi
buruh industri model baru, yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin
(karena kapitalisme memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu menentang
kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh industri
saja terbawa "kerja bersama" dan "bertarung bersama" dan
dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin
hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju "kerja
bersama" dan "aksi Bersama."
Jadi
revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis cuma
perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu
ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.
Dasarnya
revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain
tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan
kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat
Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan
kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup
sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan
pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.
Kalau
keadaan ekonomi dan politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan
Partai kita belum siap, maka kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita
sebagai individu, menyingkiri segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan
menunggu bertarung sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita
boleh ditarik perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita
menjunjung tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini didorong oleh
musuh.
Imperialis
putih ialah, politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti
banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama
dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual
buat kita sangat sedikit harganya.
Kalau
keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi
sementara lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat
atau jadi mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi
revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa
mengatur negeri dan besoknya krisis mesti datang lagi.
Strategi
kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian
sebagai individu (melemparkan bom), melainkan bersandar pada pengetahuan
tentangan ekonomi & politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas
psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan
keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta
sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita ketahui betul, karena keadaan
inilah yang menurun naikkan semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.
Kalau
krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner. Partai kita sempurna
mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar
negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan
yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan
sebagai kasta..
Hai
Rakyat Melarat !!
Berapa
lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu
tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf,
bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu
terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?
Hai
Kawan-Kawan Separtai !!
Ketahuilah,
bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah
mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa,
kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan
pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat.
Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu
mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh
kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela
ditindas dan dihisap...
Kawan-Kawan
!!!
Janganlah
segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan
menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak
Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu,
dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai
dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan
55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa
pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan
menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh
kering. Bersiaplah !!
Kalau
saatnya datang, berdirilah tegak di tengah-tengah Rakyat, menentang peluru dan
bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: "Menang atau mati
dalam Massa Aksi."
Di
tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan,
Kepandaian dan Peradaban...
Kamu
Kaum Revolusioner !!
Kelak
Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan
bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini bersemayam Semangat
Revolusioner"
Tokyo,
Januari 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar