Agama, Pendidikan dan Politik
Tiga hal yang berbeda tetapi saling
berkaitan. Politik identik dengan kekuasaan, pendidikan identik dengan
pembentukan karakter, dan agama identik kesakralan. Disadari ataupun tidak,
ketiga hal ini memiliki benang merah yang saling berhubungan baik untuk saling
menopang maupun saling jalan sejajar satu dengan yang lainnya.
Politik, Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri politik para
elit sangat menentukan arah pendidikan di suatu Negara. Politik menjadi dewa
bagi keberlangsungan pendidikan itu sendiri. Kekuasaan digunakan untuk menjaga
eksistensinya dengan mengatur dan membatasi jalur pendidikan. Pendidikan
terbatasi agar menjadi pendidikan yang permisif, aman bagi kekuasaan, dan
mendukung kekuasaan yang ada. Kondisi seperti ini yang selanjutnya menjadikan
banyak masyarakat semakin teralienasi dengan dirinya dan dengan lingkungan
sekitarnya. Masyarakat “dipaksa” untuk memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang
tidak mereka hadapi secara real atau bahkan tidak sama sekali diminatinya. Yang
lebih parah lagi, pendidikan dijadikan alat pembentukan sejarah oleh para elit
penguasa.
Kita dapat melihat bagaimana
teralienasinya masyarakat papua pedalaman. Mereka dituntut dan dipaksa mengikuti
system pendidikan nasional yang begitu umum. Apakah berguna? Menurut saya
tidak. Mereka tidak perlu dijejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang
seharusnya ditujukan pada mereka calon mesin produksi kapitalisme. Masyarakat
papua hanya butuh bagaimana berhitung, bagaimana bercocok tanam, bagaimana
berkomunikasi. Mereka bukanlah calon mesin produksi kapitalisme seperti yang
ada dikota-kota besar. Kalaupun ada diantara mereka yang ingin menjadi mesin
produksi kapitalisme, perjuangan mereka pun sangat berat. Karena mereka masih
terkungkung oleh stigma yang mendiskriminasikan kemampuan mereka. Pabrik dan
perusahaan di daerah sana lebih memilih orang perantau disbanding orang local
untuk urusan yang memiliki kemampuan pikiran yang tinggi. System pendidikan
nasional hanya lah berlaku untuk pulau jawa dan kota-kota besar lainnya. Jika
dipaksakan ke seluruh pelosok, maka akan terjadilah alienasi yan benar-benar
menyiksa eksistensi tiap individu yang mengalaminya
Politik dan pendidikan juga kentara
terlihat ketika bagaimana elit penguasa dengan leluasa menentukan sejarah
peradabannya. Melalui pendidikan, masyarakat dengan mudahnya dihipnotis dengan
sejarah-sejarah yang tidak bebas berkelok. Kasus nyata adalah bagaimana orde
baru mampu membentuk sejarah yang menghipnotis setiap orang bahwa tragedy G 30
S sepenuhnya salah PKI. PKI adalah dalang kekacauan yang tidak
berprikemanusiaan, orang-orang yang tidak beragama, dan tidak berpancasila.
Orde baru pun sukses membentuk sejarah itu. Tetapi tidaklah dipungkiri ketika
kita mengajukan pertanyaan, bagaimana nasib mereka yang hanya menjadi
simpatisan yang tidak tahu apa-apa yang konon katanya berjumlah ratusan ribu?
Mereka hilang tanpa jejak. Coba bandingkan dengan nasib 7 jenderal yang
diagungkan bangsa ini yang konon katanya mati dibunuh oleh mereka yang di cap
PKI. Adil kah? Yang mana yang lebih tidak berprikemanusiaan?
Politik, Agama
Dua hal yang bisa dikatakan sangat
jauh berbeda. Politik identic dengan keduniawian dan agama identic dengan
kesakralan. Tetapi dua hal ini sangat mungkin bersinggungan. Politik dengan
dilandasi oleh agama bisa menjadi politik yang bersih dan menuju sempurna.
Tetapi agama yang dilandasi oleh politik bernasib lain. Agama bisa hancur dan
kotor bahkan kehilangan kesakralannya jika telah dirasuki oleh politik.
Sadar atau tidak dunia politik
adalah dunia yang penuh dengan intrik dan permainan. Ada yang berhati-hati
dalam berintrik, ada yang ceroboh, bahkan ada yang menghalalkan berbagai macam
cara dalam berintrik demi memenangkan permainan. Disinilah peran agama. Ketika
agama dipegang teguh dan dijalankan dengan benar oleh para actor politik, maka
semua akan berintrik dengan aturan-aturan yang lazim dan sehat tanpa
mengorbankan kesakralan agama. Agama mampu membawa kepada pribadi yang lebih
baik jika dijalankan dengan benar dan baik tanpa ada penyimpangan sedikit pun.
Sayangnya, kondisi seperti ini sangat jarang ditemukan dalam dunia politik
sekarang. Bahkan agama pun memiliki kepentingan di dalam dunia politik. Agama
telah terkontaminasi oleh kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia
politik.
Agama terkontaminasi dan pada
akhirnya pun agama kehilangan kesakralannya dimata penganutnya. Agama telah dirasuki
“iblis” politik yang dengan bangganya merayakan kemenangan dirinya terhadap
agama. Agama telah dijadikan hanya sebagai alat untuk menopang kekuasaan dan
“mengelabui” mereka mereka yang tetap mensakralkan agama. Mereka dengan
mudahnya mempertahankan kekuasaannya dengan hanya mahir membaca dan melafalkan
dalil agama. Bisa dikatakan mereka-mereka itu agamis mulut saja. Mereka tidak
benar-benar mengerti apa yang diucapkannya karena mereka tidak sering
menerapkannya dalam setiap langkah mereka.
Agama, Pendidikan
Dua hal ini bisa dibilang lebih
kalem hubungannya. Tetapi didalam kekalemannya itu, ada si pengrusak yang siap
siaga masuk untuk mengkontaminasi hubungan keduanya, yaitu politik. Agama tanpa
pendidikan tidak akan berkembang dan pendidikan membutuhkan agama untuk dapat
melengkapi materinya.
Perjalanan agama tidak terlepas dari
bagaimana pendidikan itu diterapkan. Semakin kuat agama di suatu daerah dapat
dijadikan indicator bahwa pendidikan agama di daerah tersebut baik
penerapannya. Begitu juga sebaliknya jika keberadaan agama di suatu daerah
lemah maka penerapan pendidikan di daerah tersebut harus dipertanyakan
kualitasnya. Seringkali agama hanya lah dijadikan objek dalam pendidikan.
Padahal sebenarnya agama pun memiliki andil yang besar dalam penerapan
pendidikan yang berkualitas. Semuanya kembali kepada setiap moral individu
actor yang terlibat. Karena moral sangat dekat konotasinya dengan sesuatu yang
sacral seperti agama.
Sayangnya, keharmonisan agama dan
pendidikan mulai terganggu dengan munculnya politik yang abu-abu. Agama
sekaligus pendidikan dijadikan alat untuk mengokohkan kekuasaan dalam politik
oleh para elit penguasa. Bahkan agama seakan dipinggirkan dari pendidikan
karena mampu mengancam keberadaan kekuasaan yang memiliki ideology yang tidak
sejalan dengan agama.
Politik dengan kekuasaannya terlihat
begitu jumawa atas bargaining powernya terhadap agama dan pendidikan.
Pendidikan dan agama hanya dijadikan alat untuk membuat scenario yang
diinginkan oleh politik. Isu rasisme pada pilkada DKI contohnya.
Institusi-institusi pendidikan islam digunakan untuk mencoreng demokrasi di
Negara ini. Masalahnya tidak hanya sampai disitu, mereka seakan dibutakan
matanya hanya karena memiliki kesamaan dengan yang dibelanya yaitu kesamaan
agama. Tidak kah mereka melihat bagaimana kedzaliman yang telh diperbuat oelh
yang mereka dukung?
Kasus SKB 3 menteri dan penguatan
ideology pancasila pada era reformasi menjadi isu krusial yang menunjukkan
bagaimana agama dipinggirkan dari pendidikan. Agama dianggap mengancam
keberadaan ideology pancasila yang sengaja ingin diperkuat oleh elit Negara
saat itu. Imbasnya, agama pun memilih mengalah dibanding melawan. Karena agama
sadar jalan terbaik adalah mengalah selama agama tidak diberangus dari dunia
pendidikan negeri ini
Politik, Pendidikan, Agama
Dari uraian diatas terlihat
bagaimana sentralnya politik diantara tiga hal tersebut. Politik selalu
“menang” jika disandingkan dengan hal lain. Bahkan politik mampu “ikut campur”
ketika dua hal lainnya disandingkan. Jika dilihat lebih dalam, kepragmatisan
politik lah yang membuat dirinya “menang”. Pragmatis dalam segala hal yang
penting mendatangkan keuntungan materi bagi para aktornya. Beda halnya dengan
pendidikan dan agama. Sesuatu yang idealis yang sulit untuk dijadikan
pragmatis. Kalaupun bisa menjadi pragmatis, makan agama dan pendidikan sudah
tidak lagi berada di titahnya yang murni. Lihatlah contoh bagaimana terorisme
telah merusak agama karena kepragmatisannya dan lihat juga bagaimana mahalnya
pendidikan telah merusak hakekat dasar pendidikan karena hanya bertujuan untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar