Sabtu, 11 Januari 2014

Agama, Pendidikan dan Politik


Agama, Pendidikan dan Politik

Tiga hal yang berbeda tetapi saling berkaitan. Politik identik dengan kekuasaan, pendidikan identik dengan pembentukan karakter, dan agama identik kesakralan. Disadari ataupun tidak, ketiga hal ini memiliki benang merah yang saling berhubungan baik untuk saling menopang maupun saling jalan sejajar satu dengan yang lainnya.

Politik, Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri politik para elit sangat menentukan arah pendidikan di suatu Negara. Politik menjadi dewa bagi keberlangsungan pendidikan itu sendiri. Kekuasaan digunakan untuk menjaga eksistensinya dengan mengatur dan membatasi jalur pendidikan. Pendidikan terbatasi agar menjadi pendidikan yang permisif, aman bagi kekuasaan, dan mendukung kekuasaan yang ada. Kondisi seperti ini yang selanjutnya menjadikan banyak masyarakat semakin teralienasi dengan dirinya dan dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat “dipaksa” untuk memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang tidak mereka hadapi secara real atau bahkan tidak sama sekali diminatinya. Yang lebih parah lagi, pendidikan dijadikan alat pembentukan sejarah oleh para elit penguasa.

Kita dapat melihat bagaimana teralienasinya masyarakat papua pedalaman. Mereka dituntut dan dipaksa mengikuti system pendidikan nasional yang begitu umum. Apakah berguna? Menurut saya tidak. Mereka tidak perlu dijejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang seharusnya ditujukan pada mereka calon mesin produksi kapitalisme. Masyarakat papua hanya butuh bagaimana berhitung, bagaimana bercocok tanam, bagaimana berkomunikasi. Mereka bukanlah calon mesin produksi kapitalisme seperti yang ada dikota-kota besar. Kalaupun ada diantara mereka yang ingin menjadi mesin produksi kapitalisme, perjuangan mereka pun sangat berat. Karena mereka masih terkungkung oleh stigma yang mendiskriminasikan kemampuan mereka. Pabrik dan perusahaan di daerah sana lebih memilih orang perantau disbanding orang local untuk urusan  yang memiliki kemampuan pikiran yang tinggi. System pendidikan nasional hanya lah berlaku untuk pulau jawa dan kota-kota besar lainnya. Jika dipaksakan ke seluruh pelosok, maka akan terjadilah alienasi yan benar-benar menyiksa eksistensi tiap individu yang mengalaminya

Politik dan pendidikan juga kentara terlihat ketika bagaimana elit penguasa dengan leluasa menentukan sejarah peradabannya. Melalui pendidikan, masyarakat dengan mudahnya dihipnotis dengan sejarah-sejarah yang tidak bebas berkelok. Kasus nyata adalah bagaimana orde baru mampu membentuk sejarah yang menghipnotis setiap orang bahwa tragedy G 30 S sepenuhnya salah PKI. PKI adalah dalang kekacauan yang tidak berprikemanusiaan, orang-orang yang tidak beragama, dan tidak berpancasila. Orde baru pun sukses membentuk sejarah itu. Tetapi tidaklah dipungkiri ketika kita mengajukan pertanyaan, bagaimana nasib mereka yang hanya menjadi simpatisan yang tidak tahu apa-apa yang konon katanya berjumlah ratusan ribu? Mereka hilang tanpa jejak. Coba bandingkan dengan nasib 7 jenderal yang diagungkan bangsa ini yang konon katanya mati dibunuh oleh mereka yang di cap PKI. Adil kah? Yang mana yang lebih tidak berprikemanusiaan?

Politik, Agama
Dua hal yang bisa dikatakan sangat jauh berbeda. Politik identic dengan keduniawian dan agama identic dengan kesakralan. Tetapi dua hal ini sangat mungkin bersinggungan. Politik dengan dilandasi oleh agama bisa menjadi politik yang bersih dan menuju sempurna. Tetapi agama yang dilandasi oleh politik bernasib lain. Agama bisa hancur dan kotor bahkan kehilangan kesakralannya jika telah dirasuki oleh politik.

Sadar atau tidak dunia politik adalah dunia yang penuh dengan intrik dan permainan. Ada yang berhati-hati dalam berintrik, ada yang ceroboh, bahkan ada yang menghalalkan berbagai macam cara dalam berintrik demi memenangkan permainan. Disinilah peran agama. Ketika agama dipegang teguh dan dijalankan dengan benar oleh para actor politik, maka semua akan berintrik dengan aturan-aturan yang lazim dan sehat tanpa mengorbankan kesakralan agama. Agama mampu membawa kepada pribadi yang lebih baik jika dijalankan dengan benar dan baik tanpa ada penyimpangan sedikit pun. Sayangnya, kondisi seperti ini sangat jarang ditemukan dalam dunia politik sekarang. Bahkan agama pun memiliki kepentingan di dalam dunia politik. Agama telah terkontaminasi oleh kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia politik.

Agama terkontaminasi dan pada akhirnya pun agama kehilangan kesakralannya dimata penganutnya. Agama telah dirasuki “iblis” politik yang dengan bangganya merayakan kemenangan dirinya terhadap agama. Agama telah dijadikan hanya sebagai alat untuk menopang kekuasaan dan “mengelabui” mereka mereka yang tetap mensakralkan agama. Mereka dengan mudahnya mempertahankan kekuasaannya dengan hanya mahir membaca dan melafalkan dalil agama. Bisa dikatakan mereka-mereka itu agamis mulut saja. Mereka tidak benar-benar mengerti apa yang diucapkannya karena mereka tidak sering menerapkannya dalam setiap langkah mereka.

Agama, Pendidikan
Dua hal ini bisa dibilang lebih kalem hubungannya. Tetapi didalam kekalemannya itu, ada si pengrusak yang siap siaga masuk untuk mengkontaminasi hubungan keduanya, yaitu politik. Agama tanpa pendidikan tidak akan berkembang dan pendidikan membutuhkan agama untuk dapat melengkapi materinya.

Perjalanan agama tidak terlepas dari bagaimana pendidikan itu diterapkan. Semakin kuat agama di suatu daerah dapat dijadikan indicator bahwa pendidikan agama di daerah tersebut baik penerapannya. Begitu juga sebaliknya jika keberadaan agama di suatu daerah lemah maka penerapan pendidikan di daerah tersebut harus dipertanyakan kualitasnya. Seringkali agama hanya lah dijadikan objek dalam pendidikan. Padahal sebenarnya agama pun memiliki andil yang besar dalam penerapan pendidikan yang berkualitas. Semuanya kembali kepada setiap moral individu actor yang terlibat. Karena moral sangat dekat konotasinya dengan sesuatu yang sacral seperti agama.

Sayangnya, keharmonisan agama dan pendidikan mulai terganggu dengan munculnya politik yang abu-abu. Agama sekaligus pendidikan dijadikan alat untuk mengokohkan kekuasaan dalam politik oleh para elit penguasa. Bahkan agama seakan dipinggirkan dari pendidikan karena mampu mengancam keberadaan kekuasaan yang memiliki ideology yang tidak sejalan dengan agama.

Politik dengan kekuasaannya terlihat begitu jumawa atas bargaining powernya terhadap agama dan pendidikan. Pendidikan dan agama hanya dijadikan alat untuk membuat scenario yang diinginkan oleh politik. Isu rasisme pada pilkada DKI contohnya. Institusi-institusi pendidikan islam digunakan untuk mencoreng demokrasi di Negara ini. Masalahnya tidak hanya sampai disitu, mereka seakan dibutakan matanya hanya karena memiliki kesamaan dengan yang dibelanya yaitu kesamaan agama. Tidak kah mereka melihat bagaimana kedzaliman yang telh diperbuat oelh yang mereka dukung?

Kasus SKB 3 menteri dan penguatan ideology pancasila pada era reformasi menjadi isu krusial yang menunjukkan bagaimana agama dipinggirkan dari pendidikan. Agama dianggap mengancam keberadaan ideology pancasila yang sengaja ingin diperkuat oleh elit Negara saat itu. Imbasnya, agama pun memilih mengalah dibanding melawan. Karena agama sadar jalan terbaik adalah mengalah selama agama tidak diberangus dari dunia pendidikan negeri ini


Politik, Pendidikan, Agama
Dari uraian diatas terlihat bagaimana sentralnya politik diantara tiga hal tersebut. Politik selalu “menang” jika disandingkan dengan hal lain. Bahkan politik mampu “ikut campur” ketika dua hal lainnya disandingkan. Jika dilihat lebih dalam, kepragmatisan politik lah yang membuat dirinya “menang”. Pragmatis dalam segala hal yang penting mendatangkan keuntungan materi bagi para aktornya. Beda halnya dengan pendidikan dan agama. Sesuatu yang idealis yang sulit untuk dijadikan pragmatis. Kalaupun bisa menjadi pragmatis, makan agama dan pendidikan sudah tidak lagi berada di titahnya yang murni. Lihatlah contoh bagaimana terorisme telah merusak agama karena kepragmatisannya dan lihat juga bagaimana mahalnya pendidikan telah merusak hakekat dasar pendidikan karena hanya bertujuan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar