Sabtu, 04 Januari 2014

Hubungan Politik dengan Agama

Relasi Agama dengan Politik: Berebut Ruang Publik

599644_446710425359649_1917821882_nAgama bukan sekadar sistem pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin yang terkait dengan keberadaan Zat yang Adikodrati. Dalam realitas sosial, agama turut mewadahi masyarakat dan berfungsi menguatkan solidaritas serta menegaskan identitasnya. Agama juga bukan sekadar tata aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. Di dalamnya terkandung aturan mengenai tata hubungan antarmanusia dan antara manusia dengan alam semesta. Kondisi ini menyebabkan agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Agama menjadi bagian dari ruang publik (public sphere) yang dibangun bersama.
Sementara itu, politik juga beroperasi pada ranah kehidupan bersama. Politik merupakan upaya untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju bonnum commune (kebaikan bersama). Upaya pewujudan kebaikan bersama ini terutama dilakukan melalui kekuasaan. Maka politik mencakup pula upaya-upaya meraih dan proses mengelola kekuasaan dalam suatu masyarakat.
Politik mempunyai ranah yang luas, mulai dari tataran ide tentang masyarakat ideal  hingga praktik meraih dan menjalankan kekuasaan (politik praktis). Dalam proses ini, terdapat lembaga yang mempunyai kewenangan (otoritas) untuk memaksa, yakni negara. Otoritas memaksa yang dimiliki oleh negara terutama dioperasikan oleh tiga unsur utamanya, yaitu: pemerintah sebagai lembaga eksekutif, parlemen sebagai lembaga legislatif, dan pengadilan sebagai lembaga yudikatif. Tentu tiga unsur ini tidak selalu ada pada setiap negara, tergantung pada bentuk negara dan  sistem pemerintahan yang dianutnya. Namun bagaimanapun bentuk dan sistem pemerintahannya, negara mempunyai otoritas untuk memaksa.
Dalam mengatur kehidupan publik, lembaga-lembaga negara mempunyai kewenangan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan publik (public policy). Melalui kebijakan publik inilah negara ‘mengintervensi’ rakyatnya agar tujuan bersama yang dicita-citakan bisa tercapai. Kebijakan publik melibatkan banyak pihak yang mempunyai kepentingan baik secara langsung maupun tidak. Para pemangku kepentingan (stakeholders) ini turut menentukan apakah sebuah kebijakan publik efektif-efisien atau tidak.
Dengan begitu, pranata politik menjangkau jauh hingga ke kehidupan pribadi individu dalam kedudukannya sebagai penduduk/warga negara. Tidak ada seorangpun yang bisa sepenuhnya melepaskan diri dari politik. Orang bisa saja menyepi ke gua dalam sebuah hutan. Namun hutan tempatnya berada berada dalam kekuasaan negara. Apabila pemerintah memutuskan untuk mengubah hutan itu menjadi kebun kelapa sawit, misalnya, maka orang yang menyepi tersebut juga akan terkena dampaknya.
Karena sifatnya yang masif inilah politik ‘bertemu’ dengan agama. Agama juga merupakan pranata sosial yang turut menentukan kehidupan bersama sebuah masyarakat. Namun perlu dicatat, ketika kita membicarakan agama, maka pada kenyataannya agama tidaklah tunggal. Ada beragam agama dengan tingkat orientasi terhadap politik yang berbeda-beda. Kompleksitas ini semakin kuat karena agama tidak pernah lepas dari proses penafsiran terhadap sumber-sumber utamanya sehingga melahirkan corak keberagamaan yang berbeda-beda.
‘Pertemuan’ agama dengan politik antara lain terjadi dalam beberapa ranah, yakni:
1. Pengetahuan
Politik dan agama mempunyai sistem pengetahuannya sendiri. Sumber pengetahuan politik adalah pemikiran-pemikiran rasional baik dalam tataran filsafat maupun ilmu pengetahuan (science) hasil riset terhadap realitas sosio-politis masyarakat. Sedangkan sumber pengetahuan agama adalah wahyu yang termuat dalam kitab suci, sabda dan perilaku tokoh yang dianggap sebagai pendirinya, wejangan-wejangan para pemuka yang dianggap memperoleh petunjuk (ilham) dari Tuhan, renungan-renungan kaum mistis (sufi), tafsiran-tafsiran terhadap wahyu dan hukum-hukum sebelumnya yang dilakukan oleh para pemikir sesuai dengan perkembangan zaman, dan sebagainya.
Pada ranah pengetahuan inilah agama dan politik beririsan. Dalam agama terdapat pengetahuan bagaimana bentuk dan pengelolaan kehidupan bersama dalam masyarakat. kemudian terjadi ragam penafsiran terhadapnya. Ada yang menjadikan pengetahuan tersebut sebagai format dan substansi yang harus dijalankan, ada juga yang berupaya untuk menjalankan substansinya saja. Wacana negara Islam ketika bersentuhan dengan nation-state (negara bangsa), bisa menjadi contoh dalam hal ini. Begitu juga mengenai Kerajaan Tuhan dalam agama Kristen. Dalam ranah pengetahuan, kadang terjadi ‘persekutuan’ yang harmonis antara politik dan agama. Tapi tidak jarang terjadi konflik di antara keduanya. Misalnya, untuk sebagian kalangan bentuk nation-state tidak bertentangan dengan agama asal proses operasinya sesuai dengan kandungan kitab suci atau sumber pengetahuan agama yang lain. Namun bagi sebagian kalangan, negara harus mengikuti bentuk yang terkandung dalam pengetahuan dan perjalanan sejarah agama sehingga harus menjadi negara agama (teokrasi).
Dari sisi pengetahuan politikpun terjadi hal serupa.  Ada pengetahuan politik yang menjadi dasar bagi pemisahan secara tegas antara agama dengan negara (sekularisme).[1] Agama direduksi hanya menjadi persoalan individual antara manusia dengan Tuhan. Paham ini terutama diusung oleh para pemikir di Eropa sejak masa pencerahan pada abad ke-17, yang ‘trauma’ oleh dominasi gereja di abad pertengahan sehingga membawa Eropa ke abad kegelapan (the dark age). Bahkan berkurangnya dominasi agama dalam kehidupan sebuah masyarakat, termasuk dalam bidang politik, dijadikan tolok ukur kemajuan masyarakat tersebut. Contohnya Auguste Comte (1798-1857 M), sosiolog Perancis, yang membagi tahap perkembangan masyarakat menjadi tahap teologis, metafisik, dan positivistik.  Namun ada juga pengetahuan dalam politik yang mencoba mengakomodasi agama dalam kehidupan publik. Beberapa pemikir Muslim menekankan hal ini. Nurcholish Madjid, misalnya mengusung sekularisasi tapi menolak sekularisme, sekaligus juga menolak negara agama dengan semboyannya yang terkenal: ‘Islam yes, partai Islam No.’[2]
Menelisik hubungan agama dengan politik dalam ranah pengetahuan memang tidak mudah. Pada kenyataannya, di antara keduanya terjalin hubungan yang rumit karena tidak mempunyai batas yang tegas  dan mengandung komplekistas masing-masing. Selain itu, dipengaruhi juga oleh aspek sosio-historis dan konstelasi politik atau dominasi suatu kebudayaan. Sejak era pencerahan yang kemudian diikuti oleh modernisme, kolonialisme, dan imperialisme (beserta bentuknya yang paling mutakhir: neo-imperialisme), negara-negara Barat[3] medominasi dunia, termasuk dalam pengetahuan politik. Dominasi ini coba dilawan oleh beberapa kalangan. Misalnya oleh para pemikir Islam seperti Jamaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Redha, dan Hassan Hanafi. Upaya ini menghasilkan dialektika yang menarik dalam ranah pengetahuan politik.
2. Nilai dan Norma
Kata ‘nilai’ mengandung arti ‘apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan.’[4] Adapun ‘norma’ antara lain didefinisikan sebagai ‘a standard or rule regulating behavior in a social setting – standar atau aturan yang mengatur perilaku dalam suatu keadaan sosial’.[5] Nilai dan norma ini saling berkaitan karena norma mengacu pada nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat. dengan kata lain, nilai turut menentukan norma yang mengatur kehidupan segenap anggota masyarakat dalam berbagai bidang.
Dalam ranah nilai dan norma, agama dan politik mempunyai karakteristik masing-masing. Agama mendasarkan nilai dan normanya pada sumber-sumber sakral dari Tuhan dan tradisi, sementara politik lebih pada hasil pemikiran yang bersifat profan dan humanistik. Dalam konteks ini, politik yang dimaksud adalah politik dalam wacana pengetahuan modern yang memang mengalami desakralisasi. Pembatasan ini diperlukan sebagai starting point dalam meninjau hubungan agama dengan politik dalam ranah nilai dan norma.
Sebagaimana dalam ranah pengetahuan, dalam ranah nilai dan norma pun terjadi tarik menarik antara agama dengan politik. Hasilnya, terdapat beberapa jenis hubungan yang terjalin: pertama, agama mendominasi politik. Dalam jenis hubungan ini nilai-nilai dan norma agama lah yang mengatur kehidupan bersama. Hubungan jenis ini berlaku di negara-negara atau wilayah yang menjadikan agama sebagai dasar keberadaan sekaligus acuan hukumnya. Misalnya negara-negara seperti Arab Saudi atau Afghanistan pada masa kekuasaan Taliban.
Kedua, politik (baca: negara) mendominasi agama. Nilai dan norma politik yang bersumber dari pemikiran manusia mendominasi kehidupan masyarakat, misalnya dalam bentuk etika humanisme universal, konsensus kebangsaan, konstitusi negara, undang-undang, dan sebagainya. Dalam bentuk ekstrimnya, agama sama sekali tidak diijinkan muncul di ruang publik, bahkan simbol-simbol agama harus tidak boleh hadir di institusi atau tempat-tempat umum. Nilai dan norma agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Saat berhadapan dengan kepentingan umum, maka yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi adalah nilai dan norma negara. contoh dari jenis hubungan ini adalah negara-negara Eropa, khususnya Inggris dan Perancis.
Ketiga, terjadi perpaduan antara nilai dan norma agama dengan nilai dan norma politik. Secara eksplisit, bisa saja bentuk negara atau undang-undang yang berlaku di dalamnya bukan nilai atau norma agama. Namun secara ‘kebetulan’ atau disengaja melalui kiprah atau tekanan kelompok agama tertentu, terjadi pangakomodasian nilai dan norma agama ke dalam tata aturan negara. Negara kita, Indonesia, bisa menjadi contoh dalam hal ini. Bentuk dan tata aturan negara kita bukanlah berdasar pada agama tertentu. Namun nilai dan norma agama termuat dalam hukum publik, bahkan secara eksplisit. Misalnya saat ini banyak daerah yang mengeluarkan Perda syariah. Bahkan negara yang dianggap sekular seperti Amerika pun banyak dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Kristen, khususnya Kristen Protestan.[6]

3. Praktik
Pengetahuan, nilai, dan norma pada gilirannya akan mendasari praktik politik dalam bentuk struktur kelembagaan, mekanisme operasional, dan dinamika pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam ranah ini juga terjadi tarik menarik kepentingan baik antara politik (negara) dengan umat atau kelompok keagamaan, maupun antarkelompok keagamaan. Tarik menarik ini bisa dilihat dalam konstelasi politik dan perumusan atau pelaksanaan kebijakan publik, yang melibatkan partai politik, kelompok-kelompok penekan (pressure group), para stakeholder, warga sebagai individu, dan sebagainya.
Partai-partai politik atau kelompok penekan tidak jarang berbasis agama, baik secara formal maupun substansial. Kelompok-kelompok ini menggunakan kapasitas yang dimilikinya untuk mempengaruhi proses politik di suatu negara atau di suatu daerah. Mereka berupaya memasukkan nilai atau norma agamanya ke dalam aturan-aturan resmi negara, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, perda, dsb. Proses ini tidak jarang menimbulkan konflik antara mereka dengan pemerintah atau di anatara mereka sendiri.
Corak hubungan agama dengan politik dalam ranah praktik tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam ranah yang lain. Ada kondisi di mana agama mendominasi kehidupan politik atau sebaliknya, agama dipisahkan secara ketat dari politik. Ada juga proses pemaduan nilai-nilai dan norma dari agama yang berbeda-beda ke dalam praktik politik. Untuk kasus di Amerika Serikat, Hargrove melihat bahwa ada kelompok keagamaan (jemaat gereja) yang menarik diri dari kehidupan politik, berpartisipasi di dalamnya dengan berupaya memasukkan nilai-nilai dan norma yang dianutnya, dan ada juga yang berupaya melawan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan agamanya.[7]

Simpulan
Agama dan politik (khususnya negara sebagai organisasi formalnya) adalah dua pranata sosial yang saling beririsan. Dalam hubungan keduanya terdapat tarik-menarik pengaruh sehingga menghasilkan corak hubungan yang berbeda-beda. Secara umum, corak hubungan tersebut terbagi ke dalam dua titik ekstrim, yakni: pertama, kehidupan politik didasarkan pada agama tertentu sehingga terbentuk negara teokrasi. Kedua, kehidupan politik ‘dibersihkan’ dari agama. Agama didorong ke wilayah pribadi sejauh mungkin sehingga negara netral agama. Di antara kedua titik ekstrim ini terdapat beraneka bentuk perpaduan dan penyesuaian politik (lebih khusus: negara) dengan agama. Kompleksitas ini bisa dimaklumi mengingat keberagaman agama dan panjangnya sejarah umat manusia dengan segala dinamikanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar