Nasionalisme menurut Para Tokoh
Pada
beberapa waktu yang lalu, publik Indonesia digegerkan oleh kasus
pembunuhan yang dilakukan Muhyaro, seorang dukun pengganda uang di
Magelang. Kemungkinan pembunuhan yang dilakukan Muhyaro ini karena ia
kesal dengan tagihan para korban. Walaupun begitu, ia pada akhirnya juga
tetap nekat dengan melakukan bunuh diri terjun dari atas jurang.
Tradisi
dukun di Indonesia merupakan tradisi yg cukup mengakar sekali. Ini
seiring dengan tabiat sosial masyarakat Indonesia yang merupakan
masyarakat yang sangat religius, dan sangat kental dengan hal-hal yang
mistis. Tabiat ini juga nyatanya hampir melingkupi semua aspek kehidupan
masyarakat, entah itu politik, ekonomi, pendidikan, atau yang lainnya.
Sejatinya
kehadiran gerakan Islam modern Indonesia di awal abad 20 pun memiliki
agenda untuk purifikasi ajaran Islam dari hal-hal tahayul seperti ini.
Kiyai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah beserta amal usahanya yang
melingkupi sekolah, panti asuhan, dan lain-lain turut berperan kuat
dalam agenda pembentukkan karakter dakwah yang lebih rasional, senafas
dengan modernitas, dan membumi.
Kiyai
Ahmad Dahlan dalam beberapa kesempatan selalu menjelaskan kepada
murid-muridnya agar selalu berlaku rasional. Ia berpendapat bahwa salah
satu faktor ketertinggalan masyarakat Indonesia pada umumnya karena
sudah terlalu dalam dirasuki oleh paham-paham yang berbau mistik dan
tahayul. Karena faktor inilah, masyarakat Indonesia secara umum pada
saat itu lebih memilih meminta-minta ke kuburan dibandingkan belajar
ilmu-ilmu sains.
Pada
selanjutnya di era pergerakan kemerdekaan Indonesia, kita bisa
mendapatkan Tan Malaka berpendapat mengenai rasionalitas yang dibungkus
dalam Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam buku Madilog Bab 1
yang ia tulis pada tahun 1943 mengenai Logika Mistik, ia secara
eksplisit mengkritik habis-habisan dasar argumen yang selalu dipakai
oleh kebanyakan masyarakat berlogika mistik.
Rumusan
RUU KUHP yang di dalamnya dibahas pula mengenai kejahatan bernama
santet salah satu mengapa logika mistik masih kental dalam alam pikiran
politik masyarakat Indonesia. Ini memperlihatkan betapa kualitas
politik dan politisi masih primitif, irasional serta terpengaruh oleh
kultus eskatologis sebab lekat dengan magi, klenik, dan dukun.
Tan
Malaka yang selama hidupnya banyak menelurkan karya-karya berdasarkan
sains modern pada ujungnya ia bersama karya-karyanya terlupakan sama
sekali dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Karena pengikisan filosofis
sains modern dalam kurikulum pendidikan nasional inilah, masyarakat
Indonesia hingga kini cenderung masih dilingkupi oleh logika mistik.
Pasca
kemerdekaan Indonesia, rumusan dasar konstitusi menjadi salah satu
topik yang sangat panjang untuk dibahas, terutama terkait pemasukan
kata-kata yang menjadikan agama dan negara dalam satu tubuh. Pada era
inilah lahir generasi anak muda berbasis keislaman yang lebih modern.
Dalam konteks ini, kita melihat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
menelurkan cendikiawan-cendikiwian seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur),
dan yang lainnya.
Pada era ini, Cak Nur merumuskan ide mengenai rasionalitas yang disebut sebagai sekularisasi. Dalam papernya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang disampaikan pada tanggal 3 Januari 1970, Cak Nur berujar bahwa sekularisasi yang ia tancapkan bermaksud untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Sakralisasi
kepada hal-hal yang bersifat duniawi, baik itu benda-benda berwujud
(materiil) hingga yang tak berwujud (moril, kaidah nilai-nilai), pada
hakikatnya menurut Cak Nur ialah
tindakan yang sudah menyerempet pada tindakan syirik, karena
sesungguhnya yang Sakral dan Suci hanyalah Tuhan semata, tidak ada yang
lain.
Cak
Nur berpendapat ini karena sudah seharusnya masyarakat Indonesia selalu
berpikir dan bertindak rasional. Melegitimasikan tindakan politik
dengan mengatasnamakan Agama sesungguhnya itu sudah mencederai spirit
terdalam dari agama itu sendiri. Selain itu, politisasi agama sendiri
akan menimbulkan tindakan yang diskriminatis kepada golongan yang
berbeda identitas dan berbeda paham.
Tentunya,
tindakan politik dengan mengatasnamakan agama pada dunia yang sudah
lebih maju ini menjadi tindakan yang sangat-sangat tidak rasional.
Lebih-lebih jika hal seperti ini sudah mendogmatisasi pengikutnya, dan
menemui kontradiksi, pada akhirnya akan terjadi eksodus besar-besaran
akibat ketidaksinkronan dunia idealisme dengan dunia tindakan yang
menuntut rasionalisasi dan cenderung pragmatis. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar