Senin, 06 Januari 2014

Arti Blusukan dalam sejarah



Blusukan Dalam Sejarah : Dari Sambernyowo Sampai Jokowi
Bung Karno Senang Bicara Dengan Rakyat Dalam Blusukan Bung Karno Centrum
Istilah Blusukan adalah istilah yang dikenal dalam bahasa Jawa dialek Solo, kadang-kadang banyak orang tidak membedakan antara kata Blusukan  dengan Keblasuk, Blusukan adalah ‘Perjalanan ke tempat-tempat jauh’  sementara Blasuk dalam bahasa Jawa dialek Solo artinya ‘Kesasar’. Budaya Blusukan bagi Raja-Raja Jawa memang dikenal dan ini sama terkenalnya  dengan budaya laku pepe bagi rakyat Jawa, bila ‘Laku Pepe’  adalah ‘minta perhatiannya rakyat’ pada pemimpinnya dengan duduk di  bawah pohon beringin yang biasa di alun-alun, maka ‘Blusukan’ adalah  gaya pemimpin Jawa dalam melihat kondisi rakyatnya.
Dalam konsep kepemimpinan Jawa penyatuan antara roh kepemimpinan dengan  keinginan rakyat itu mengalir dalam satu irama kerja seorang Raja, tapi  tidak semuanya Raja bisa mengangkat irama itu, ada Raja yang gagal  mengangkat irama satunya rakyat dengan kepemimpinan seperti hal-nya  Amangkurat (1646-1677) yang selama kepemimpinannya meneror rakyat dan  terjadi ‘pagebluk’ tapi ada juga dalam sejarah Jawa, kepemimpinan Raja  bersatu dengan air. Hal ini yang bisa dijadikan contoh adalah Pangeran  Sambernyowo atau Adipati Mangkunegoro I, penguasa Kadipaten  Mangkunegaran dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Pangeran Sambernyowo, yang kelak bernama Mangkunegoro I adalah Adipati  kharismatis yang kekuasaannya mirip raja di tanah Voorstenlanden (tanah  merdeka milik penerus Mataram setelah era Giyanti 1755). Sambernyowo  memiliki satu prinsip : “Rakyat adalah air, kita hidup di dalam airnya  rakyat, bila pemimpin bersih air juga jernih’. Ia juga adalah Adipati  Jawa pertama yang menerapkan konsep egaliterian dalam hidup kerakyatan  dengan adagiumnya :
“hanebu sauyun, kalamun ta keleban banyu tan ana kang pinilih”. Seperti serumpun batang-batang tebu, jikalau terendam air tak  ada yang bisa dipilih, yang tinggi, yang pendek, yang besar dan yang kecil  semuanya akan turut terendam. Ungkapan Mangkunagoro ini berarti adanya  semangat kesetaraan, kebersamaan dan senasib sepenanggungan.
(Sumber : Pitutur Mangkunagoro I, cetakan Sriwedari Solo 1955)
 Setelah peperangan gerilya selesai dan  Belanda menyerahkan wilayah-wilayah Perdikan yang berada di sebelah  tenggara dari kota Solo sampai Wonogiri. Saat keadaan mapan,  Mangkunagoro I menerapkan agenda blusukan setiap saat yang dikontrol  adalah sumber-sumber air untuk persawahan, selama pemerintahan  Mangkunagoro I surplus beras terjadi di wilayahnya, Wonogiri menjadi  daerah paling makmur. Inilah kenapa kelak Wilayah Kadipaten  Mangkunegaran merupakan wilayah paling kaya raya dibanding  kerajaan-kerajaan Voorstenlanden yang lain, bahkan setelah era  tanam paksa, wilayah Mangkunegaran banyak didirikan pabrik-pabrik gula  yang hasilnya banyak diekspor ke Eropa.
Sambernyowo menurut buku “Babad Mangkunegaran” yang merupakan diary atau catatan harian Mangkunagoro I , menceritakan bahwa setiap Rabu  Legi minggu pertama, dan Kamis Pahing minggu ketiga Mangkunagoro  melakukan blusukan, ia melihat situasi rakyat keseharian. Mangkunagoro  membangun pos-pos laporan hasil padi disetiap kawedanan yang  ditunjuknya. Mulai dari Ulu-ulu (pengatur air) sampai Mantri Pasar harus menyiapkan laporan, laporan ini kemudian dibandingkan dengan apa yang  dilihat oleh Mangkunagoro I.
Selain Mangkunagoro, Raja Jawa yang paling  terkenal suka blusukan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Raja  Yogyakarta terbesar ini berkuasa cukup lama dari tahun 1940 sampai tahun 1988. Salah satu yang membuat dia populer adalah semangat  kerakyatannya.
Ia menyatukan kepemimpinannya dengan ‘rasa  penderitaan rakyat’, ia terus memantau apa mau-nya rakyat, apa keinginan rakyatnya dan yang terpenting kemampuannya membaca jaman. Di tahun 1942 ketika Jepang masuk, ada agenda Jepang bahwa rakyat Yogyakarta harus  ikut agenda Romusha untuk memperluas lapangan terbang Maguwo dan  sebagian akan dibawa ke Burma. Namun Sri Sultan menolak halus pada  Jepang dengan mengatakan rakyatnya diperlukan untuk membangun irigasi  yang kelak disebutnya sebagai ‘Selokan Mataram’. Irigasi ini melibatkan  tenaga-tenaga muda yang kemudian terhindar dari kewajiban ‘budak perang’ Jepang itu.  Sri Sultan juga kerap melakukan blusukan, ia mengunjungi  pos-pos rakyat, mengunjungi warung-warung rakyat, ia berada di tengah  persawahan Yogya, mendengar apa yang diinginkan rakyat Yogya.
Pendamping blusukan Sri Sultan  Hamengkubuwono IX adalah Selo Soemardjan, salah seorang ahli Sosiologi  paling terkenal, konsep kepemimpinan Sri Sultan ini kemudian disusun  oleh Selo Soemardjan sebagai dasar-dasar kepemimpinan yang merakyat.  Dari gaya kepemimpinan Sultan HB IX inilah kemudian lahir adagium yang  terkenal “Tahta Untuk Rakyat”.
Konsep Tahta Untuk Rakyat dihasilkan dari  tukar pikiran antara Sri Sultan dengan Selo Soemardjan, Frans Seda dan  beberapa penasehat Raja di Kepatihan, kalimat itu menurut Selo  Soemardjan lahir pada tahun 1952. Hal ini menjadi aturan dalam cara  menjalani kepemimpinan di masa Sri Sultan HB IX. Sri Sultan  memerintahkan Kepatihan terus memperhatikan kehidupan rakyat, mulai dari keamanannya sampai tingkat produksi masyarakat seperti Pabrik Perak di  Kotagede, Usaha Transportasi di Pasar Gede, Usaha-Usaha Pegadaian sampai pada Paguyuban-Paguyuban Tani. Sultan sendiri sering langsung inspeksi  ke Pasar dan melihat bagaimana harga-harga berkembang, bahkan ada  kejadian lucu dimana Sultan sendirian menginspeksi dikira Sultan sebagai sopir truk dan disuruh angkut beras oleh salah satu pedagang pasar.  Kejadian ini merupakan cerita rakyat terkenal di Yogya.
Lain Sri Sultan, Lain Bung Karno. Presiden  Pertama Republik ini juga suka blusukan, di masa muda ia sering  bersepeda jauh kesana kemari, ia sangat kuat sekali bersepeda. Sukarno  bisa bersepeda ratusan kilometer, ia pernah bersepeda dari Bandung  sampai Tasikmalaya, atau ke pinggiran kota Bandung. Dalam blusukan  Sukarno sering bertanya pada penduduk desa, ngobrol, mencatat dan  merasakan bagaimana kehidupan rakyat, kegemaran blusukan ini berlanjut  sampai Sukarno menjadi Presiden. Saat Istana Presiden di Yogyakarta,  salah satu kegemaran Sukarno adalah berjalan-jalan di persawahan  Yogyakarta, yang dulu mengawal saat Sukarno blusukan adalah Latief  Hendraningrat, Kanapi, Mangil dan Dokter Suharto. Sukarno kadang  berlama-lama di rumah rakyat untuk mengetahui kehidupan mereka.
Setelah tahun 1950, Bung Karno senang blusukan ke berbagai daerah, tapi yang kerap ia lakukan adalah incognito. Pernah suatu saat Sukarno blusukan ke Pasar Senen, lalu Bung Karno  duduk di depan tukang sate ayam. Saat rakyat mendengar suara Sukarno  bicara pada tukang sate ayam, beberapa orang di Pasar mengenalinya dan  berteriak “eh, itu kan bapak…itu kan bapak…” lalu beberapa orang  mengerumuni dan pasar tiba-tiba menjadi gaduh.
Bung Karno amat menyukai kebersihan kota  dan senang mengontrol monumen-monumennya. Ia amat mencintai Jakarta,  salah satu obsesinya adalah Jakarta menjadi kota yang berbudaya. Bung  Karno sering naik Jeep Hardtop dan keliling Jakarta ditemani beberapa  orang mengontrol kota Jakarta, penentuan Jalan Sudirman sebagai central  bisnis sebenarnya ditetapkan saat Bung Karno duduk di tepi jalan dekat  kampung Senayan, saat blusukan Sukarno terbayang gambar daun semanggi di pikirannya, lalu ia teringat jembatan besar di Amerika Serikat, dari  sinilah Sukarno kemudian terinspirasi membangun Jembatan Semanggi, yang  sampai saat ini masih jadi Jembatan Jalan Raya terindah di Indonesia.  Sukarno juga merencanakan Boulevard Sudirman sebagai pusat bisnis sampai Jalan Thamrin dan kemudian di seputaran Monas adalah gedung-gedung milik negara.
Yang ditanyakan Sukarno saat blusukan biasanya soal-soal kehidupan sehari-hari, ada satu cerita dimana Bung Karno  menyelidiki sendiri penyebab langka-nya beras di Jakarta, ia langsung  blusukan mengontrol gudang beras bersama Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung. Saat itu Bung Karno memperkirakan langkanya beras karena  permainan politik karena disaat itu Bung Karno sedang ramai di demo  mahasiswa dan ada isu akan ada ’sanering’ alias potong nilai uang.
Pak Harto juga suka blusukan, terutama sekali di awal-awal kekuasaannya. Ia berkeliling di Jawa, kadang-kadang Suharto naik kuda besar Australia keliling sebuah desa. Di Kemusuk, kampung halaman Suharto sering  melihat Pak Harto kalau pulang kampung dia berjalan-jalan dengan naik  kuda besar. Di dalam salah satu biografi soal Pak Harto diceritakan Pak  Harto blusukan ditemani Try Sutrisno. Yang terpenting dalam blusukan  model Suharto ditemukan cara berkomunikasi dengan rakyat desa, bagi  Suharto berkomunikasi dengan rakyat desa lewat Kelompencapir atau  Paguyuban-Paguyuban Tani adalah cara lain dalam menandingi model  komunikasi Sukarno yang amat jago berpidato di podium. Biasanya setelah  bicara Suharto langsung melakukan blusukan, bagi pengeritik Suharto,  kerap mengatai desa yang dimasuki Suharto adalah desa Potempkin, desa  Potempkin adalah suatu istilah dari Rusia, bahwa desa itu diatur seperti memiliki kehidupan yang baik tapi sebenarnya dibaliknya tidak seperti  itu. Namun apapun kritikan terhadap Suharto, faktanya memang Suharto  suka blusukan.
Kini blusukan melekat pada diri Jokowi,  banyak yang merasa iri dengan  popularitas Jokowi ketika Blusukan, karena tokoh lain tidak mendapatkan  sambutan rakyat banyak dalam blusukan. Kenapa Jokowi mendapatkan  sambutan yang luar biasa dalam blusukan, karena Jokowi melakukan dengan  rasa tulus, Jokowi mempunyai kesenangan bertemu dengan orang, ia genuine dalam segala tindakannya dalam blusukan. Dan ini yang tidak dipunyai  hampir semua tokoh saat ini dalam seni blusukan, Jokowi melakukannya  dengan otentik, dia menemui rakyat sebagai ‘pribadinya sendiri’ yang  lahir dari kegelisahan rakyat. Itu yang membedakan…….
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar