Mahbub Djunaedi
1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi
menghembuskan nafas terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita, batang
hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi kata-katanya masih hidup. Siapa
yang hendak belajar bahasa? Mahbub salah satu rujukannya.
BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna.
BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna.
Gagasan dan kejutan yang diajukan
dalam esai-esainya sulit dibayangkan bisa di tulis dalam gaya penulisan lain.
Pendek kata, bagi saya Mahbub adalah penyihir kata-kata.
Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern, sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal yang jadi kekuatan dalam esai-esainya?
Cara pandang terhadap realitas
Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. Sekurang-kurangnya membahas dampak kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi rakyat berhadapan dengan negara.
Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka.
Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern, sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal yang jadi kekuatan dalam esai-esainya?
Cara pandang terhadap realitas
Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. Sekurang-kurangnya membahas dampak kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi rakyat berhadapan dengan negara.
Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka.
Namun posisi teoretik Mahbub ini
boleh dibilang unik. Ia tak pernah mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis.
Untuk kepentingan ini digunakanlah cerita, anggapan umum, peristiwa populer,
humor, atau macam-macam perabot lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub
amat lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah.
Silakan cek esai Dinamisasi via
Binatang yang ditulisnya menyambut ide Menteri Agama Mukti Ali untuk
memodernisasi pesantren lewat pemberian binatang ternak. Pada awalnya Mahbub
seperti mengikuti jalan pikiran Mukti Ali, bahkan terkesan menjelaskannya.
Namun belakangan, ia justru bertanya, kenapa cuma pesantren yang dituding
sekadar konsumen? Bukankah perilaku institusi pendidikan lainnya juga
kurang-lebih demikian adanya?
Sekarang silakan teliti juga esai
berjudul Demokrasi: Martabat dan Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan
bagaimana Mahbub bisa memiliki cara pandang demikian. Sumbernya tak lain
keluguan. Dia menceritakan perihal rancangan kenaikan anggaran buat anggota DPR
sambil menceritakan betapa logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut,
persis orang awam yang hanya paham perkara teknis tanpa menangkap motif
lainnya. Mendadak di paragraf akhir, setelah kita diajak tamasya sambil
tertawa-tawa, lewat pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan
lembut, bahwa tuah hak Budget legislatif tiada gigi.
Dalam esai, aku-esai yang mewakili
pengarang bercerita lewat medium bahasa, terwujud dalam cara pandang, cara
mengajukan gagasan, cara ajukan pertanyaan, cara menyimpulkan, dan hal-hal lain
yang bersifat unik. Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak
ada realitas di luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan bahwa kemampuan
seseorang untuk berpikir logis dan jernih, akan terefleksi dalam tulisannya,
dalam bahasanya. Hal yang demikian bias kita lihat pada Mahbub.
Mahbub pernah bilang, dirinya lebih
senang digantungi merk sebagai sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi
perkara ini di luar fakta bahwa ia pernah menulis beberapa novel. Perspektif
keluguan membuatnya bisa mengeker kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana
umumnya dipraktikkan para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya, pameran
hasil pengamatan yang sering bikin kita terlonjak keheranan. Ada dikatakan
orang yang selalu membicarakan cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut
perihal berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul sanggup
berbicara bersama-sama. Di lain waktu, ia menceritakan anak-anak di bulan puasa
yang mulai siang tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar
hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang diam-diam menggigit mangga muda
di belakang kakus.
Dengan pengamatan sekuat ini, tak
heran Mahbub seperti tukang dongeng yang bisa menggubah peristiwa apa saja
menjadi cerita yang mengesankan. Saya menduga kemampuan mendongeng ini
diwariskan Mahbub dari khazanah tradisi Betawi yang melahirkan beberapa tukang
cerite yang legendaris, seperti Zahid bin Muhammad.
Dalam khazanah sastra Indonesia,
tradisi menulis dengan gaya kocak dan lugu ini bisa dilacak dalam karya-karya
Idrus, sebagaimana terlihat dalam kumpulan cerita terbaiknya, Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma. Saat ini kemampuan Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa
disejajarkan dengan sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan mendongeng ini, Pak
Haji Mahbub mampu menyajikan persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk
persoalan tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala serasa
berlipat.
Pemberontakan literer
Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub selanjutnya.
Pemberontakan literer
Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub selanjutnya.
Mahbub sepertinya tak pernah ambil
pusing apakah istilah dan kata-kata yang digunakannya masuk hitungan kebakuan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya kita bisa capek sendiri menghitung
pelanggaran EYD yang dilakukan dalam esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah
dan struktur bahasa Betawi yang di Indonesia sering dipakai dalam bahasa
percakapan. Beberapa kali ia juga memakai istilah dari bahasa Jawa. Alih-alih
ditegur karena kebandelannya, Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa
malah memujinya sebagai penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam hal ini Mahbub
memang keblinger, tapi justru dari sinilah esai-esainya mencerminkan karakter
yang khas. Dia menemukan sendiri capaian estetikanya.
Kebandelan Mahbub dalam berbahasa
bukanlah sembarang pelanggaran. Jika ukurannya adalah pencapaian estetik, ia
sanggup memenuhi tagihan sertifikat licentia poetica dengan impas, barangkali
berikut bunganya. Barangkali sifat sastrawi dalam karya-karya Mahbub bukanlah
yang melankolis, sensitif, mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck yang
menulis cerita-cerita yang menyanyikan humor dan kesintingan pun akhirnya harus
datang ke Stockholm, Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani
banyak orang.
Humor
Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap saya sinting atau semacamnya.
Humor
Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap saya sinting atau semacamnya.
Mahbub sering menyajikan humor
satir. Hal ini bisa kita simak antara lain pada Sepatu, di mana ia mengejek
banyaknya koleksi sepatu Imelda Marcos. Kadang ia bercerita yang baik-baik saja
perihal lembaga negara atau individu dengan demikian sempurnanya, sampai-sampai
pembaca akhirnya sadar bahwa Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan menyebut
nilai-nilai yang justru tak dimiliki pihak bersangkutan. Hal yang demikian,
misalnya muncul pada Kota.
Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya. Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut:
Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya. Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut:
- Futurolog
itu…semacam dukun juga, tapi keluaran sekolahan
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak anjing ras
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting, apalagi jadi bendaharawan
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri
- Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar
- Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti sekandang burung parkit
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci
Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya, membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan.
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak anjing ras
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting, apalagi jadi bendaharawan
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri
- Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar
- Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti sekandang burung parkit
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci
Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya, membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan.
Tak jarang demi memberi tempat buat
dorongan humornya, Mahbub harus melenceng barang sebentar dari persoalan utama.
Sering juga berlama-lama. Tapi memang kerapkali pada karya-karya bermutu
tinggi, irisan-irisan “ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru membumbui
estetika. Coba Saudara simak musikus-musikus hebat yang secara teoretik bakal
lebih bagus lagunya didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah
disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar musik yang paham duduk
persoalan bakal lebih memilih mendengarkan suara live-nya di panggung, meski
lewat medium perantara.
MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara spesialisasi, wong sarjana saja bukan?
MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara spesialisasi, wong sarjana saja bukan?
Ia memang unggul dalam hal
menyajikan persoalan dengan sederhana melalui generalisasi yang cerdas. Tapi
untuk itu kadang ia tak sempat menengok ke celah-celah persoalan, menakar
barang sebentar, barangkali ada satu hal atau dua yang tak masuk dalam kategori
generalisasinya. Ia juga sering membahas masalah hanya dari aspek spesifik
tertentu. Dengan begini, ia tak pernah membahasnya untuk menyajikan solusi
dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai jempol kaki.
Tapi kelihatannya memang bukan
pembahasan lengkap model demikian yang diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur
dengan berbagai macam manusia, lengkap bersama pluralitas persoalannya, tanpa
bermaksud menarik sebuah rumus deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan
sekali-kali menganggap Mahbub tak bisa menulis dengan gaya konvensional,
artinya nirbumbu-bumbu humor di sembarang tempat, tanpa hilang kejernihan.
Kalau tak percaya, sila dibaca, "Soal Pilihan".
Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras. Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali anggapan ini ada benarnya.
Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras. Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali anggapan ini ada benarnya.
Tapi bagi saya sih, peduli
setan! Dengan atau tanpa Orde Baru, Mahbub tetaplah Mahbub yang menyihir kita
lewat kata-kata. Dan kata-kata Mahbub, masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar