Sabtu, 11 Januari 2014

Islam Sebagai Perubahan Sosial


Islam Sebagai Perubahan Sosial

Perubahan Sosial

Perubahan sosial seringkali dikaitkan dengan proses pembangunan. Menurut Laur, perubahan sosial adalah:


variation over time in the relationship, among individual, groups cultural, and societies. Social change is pervasive, all of social life is continually changing.(Salim, 2002: 1)


sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan sosial dapat terjadi pada segala tingkatan kehidupan dari yang mikro hingga yang makro. Kata sosial dalam perubahan sosial di sini tidak sama artinya dengan societal melainkan sosial dalam arti segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama. Kata sosial di sini lebih dekat dengan struktur sosial yang mencakup social interaction dan social relation (Salim, 2002: 15).


Struktur sosial dalam perubahan sosial pada dasarnya bukan kepada perubahan struktur belaka tetapi perubahan yang lebih kompleks. Dimana dalam hal ini terdapat 3 (tiga) perubahan struktur, yaitu di awali dengan perubahan struktur ekonomi (material infra-structure), kemudian perubahan pada social structure, dan yang terakhir perubahan ideological superstructure (Salim, 2002: 17). Pada tiga tingkatan ini, perubahan pada ideological structure merupakan hasil dari perubahan dari dua tahap sebelumnya yang terjadi secara lambat. Selanjutnya, perubahan sosial dapat disebabkan oleh lima unsur yang dapat dikatakan sebagai kekuatan eksternal, yaitu informasi komunikasi (pengaruh media massa), birokrasi (keterkaitan birokrasi sipil dengan militer), ideologi (agama dan HAM), modal (modal finansial dan SDM), dan teknologi (tergantung pada pemilikan modal) (Salim, 2002: 12-13). Dari kelima unsur ini dapat dilihat bahwa terdapat tiga aktor yang memiliki andil dalam perubahan sosial yang terjadi di satu masyarakat, yaitu state, market, dan society.


Proses perubahan sosial yang terjadi pada konteks tertentu terdiri dari proses reproduksi dan proses transformasi (Salim, 2002: 20-21). Dimana proses reproduksi merupakan proses mengulang, menghasilkan kembali segala sesuatu yang menjadi warisan budaya yang terdiri dari warisan material (kebendaan, teknologi) dan warisan immaterial (adat, norma, dan nilai). Sedangkan proses transformasi adalah suatu proses penciptaan hal baru yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mengubah aspek budaya yang sifatnya material saja dan tidak mengubah aspek budaya yang sifatnya immaterial. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu proses transformasi tidak mampu mengubah nilai-nilai, norma, dan adat yang ada dalam suatu masyarakat dalam proses perubahan sosial.


Perubahan Sosial dari Perspektif Islam

Perubahan sosial juga mendapat perhatian dalam agama Islam. Jalaludin Rakhmat menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam proses perubahan sosial menurut Islam (Dhakiri, 2000: 136-137). Pertama, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individu. Kedua, secara berangsur-angsur, perubahan individu ini harus disusul dengan perubahan institusional. Dari dua hal tersebut, perubahan sosial yang dimaksud dalam Islam adalah perubahan dalam hal struktur sosial yang timpang, hegemonik, dan dominatif. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial yang ada merupakan syarat yang harus ada untuk mencapai suatu bentuk ideal. Sehingga perubahan sosial tersebut tergantung pada struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat pada bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi (Dhakiri, 2000: 138).


Refleksi Perubahan Sosial

Jika dikaitkan dengan kasus-kasus yang melibatkan Islam belakangan ini seperti sweeping FPI di kendal atau kasus terorisme lainnya, saya melihat terjadi kesalahpahaman untuk mengaplikasikan perubahan sosial menuju kebaikan berdasarkan nilai-nilai islam. Kesalahpahaman ini condong kepada bagaimana mereka oknum pelaku memaksakan perubahan sosial langsung kepada perubaha institusional bukan perubahan individu terlebih dahulu. Tidak sesuainya konsepsi perubahan sosial menurut islam dengan apa yang diimplementasikan telah membuat perubahan sosial secara islam mendapat tanggapan negatif dari banyak kalangan dan tidak sesuai dengan harapan pemuka agama.


Perubahan institusional dalam konteks terbatas seperti organisasi mungkin mampu berdampak kepada perubahan individu. Misalnya, suatu perusahaan menerapkan kebijakan baru mengenai jam kerja. Kebijakan tersebut berlaku untuk seluruh karyawan dan jika ada yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Secara perlahan para karyawan pun siap akan perubahan tersebut tanpa ada keinginan untuk membangkang.


Untuk konteks yang lebih luas seperti dalam tataran negara atau dunia, perubahan institusional sangat sulit untuk memberikan dampak kepada perubahan individu. Karena aturan main yang berlaku tidak mengikat dengan kuat. Aturan main yang berlaku hanya berlaku untuk beberapa hal yang menyinggung masalah hukum formal yang berlaku universal atau yang telah diatur oleh negara. Sehingga perubahan sosial secara islam lebih mengutamakan perubahan individu terlebih dahulu yang diikuti dengna perubahan institusional berikutnya. Ketika setiap individu berubah dan mengajak orang lain berubah, maka kumpulan individu tersebut secara otomatis memberikan dampak kepada perubahan institusional.


Kesalahpahaman cara yang terjadi pada kasus FPI atau terorisme yang mengusung kekerasan untuk memberikan shock therapy kepada tataran yang makro dan luas saat ini telah mempersulit jalan islam dalam mengusung perubahan sosial yang sesuai dengan nilai-nilai ideal yang ada. Selanjutnya tugas semua umat islam adalah bagaimana cara kekerasan untuk melakukan perubahan sosial dapat diminimalisir untuk mempermudah jalan islam mengusung perubahan sosial. Selain itu, cara yang lebih efektif untuk saat ini lebih kepada bagaimana umat islam menyebarkan virus positif yang sesuai dengan nilai-nilai islam tanpa harus menonjolkan keislaman yang berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar