Islam
Sebagai Perubahan Sosial
Perubahan Sosial
Perubahan sosial seringkali dikaitkan dengan
proses pembangunan. Menurut Laur, perubahan sosial adalah:
variation over time in the
relationship, among individual, groups cultural, and societies. Social change
is pervasive, all of social life is continually changing.(Salim, 2002: 1)
sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan sosial dapat terjadi pada segala
tingkatan kehidupan dari yang mikro hingga yang makro. Kata sosial dalam
perubahan sosial di sini tidak sama artinya dengan societal melainkan
sosial dalam arti segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
bersama. Kata sosial di sini lebih dekat
dengan struktur
sosial yang mencakup social interaction dan social relation (Salim,
2002: 15).
Struktur sosial dalam perubahan sosial pada dasarnya bukan kepada perubahan
struktur belaka tetapi perubahan yang lebih kompleks. Dimana dalam hal ini
terdapat 3 (tiga) perubahan struktur, yaitu di awali dengan perubahan struktur
ekonomi (material infra-structure), kemudian perubahan pada social
structure, dan yang terakhir perubahan ideological superstructure
(Salim, 2002: 17). Pada tiga tingkatan ini, perubahan pada ideological
structure merupakan hasil dari perubahan dari dua tahap sebelumnya yang terjadi
secara lambat. Selanjutnya, perubahan sosial dapat disebabkan oleh lima unsur
yang dapat dikatakan sebagai kekuatan eksternal, yaitu informasi komunikasi
(pengaruh media massa), birokrasi (keterkaitan birokrasi sipil dengan militer),
ideologi (agama dan HAM), modal (modal finansial dan SDM), dan teknologi
(tergantung pada pemilikan modal) (Salim, 2002: 12-13). Dari kelima unsur ini
dapat dilihat bahwa terdapat tiga aktor yang memiliki andil dalam perubahan
sosial yang terjadi di satu masyarakat, yaitu state, market, dan society.
Proses perubahan sosial yang terjadi
pada konteks tertentu terdiri dari proses reproduksi dan proses transformasi
(Salim, 2002: 20-21). Dimana proses reproduksi merupakan proses mengulang,
menghasilkan kembali segala sesuatu yang menjadi warisan budaya yang terdiri
dari warisan material (kebendaan, teknologi) dan warisan immaterial (adat,
norma, dan nilai). Sedangkan proses transformasi adalah suatu proses penciptaan
hal baru yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu
mengubah aspek budaya yang sifatnya material saja dan tidak mengubah aspek
budaya yang sifatnya immaterial. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu proses
transformasi tidak mampu mengubah nilai-nilai, norma, dan adat yang ada dalam suatu
masyarakat dalam proses perubahan sosial.
Perubahan Sosial dari Perspektif Islam
Perubahan sosial juga mendapat perhatian dalam agama Islam. Jalaludin
Rakhmat menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam proses perubahan sosial
menurut Islam (Dhakiri, 2000: 136-137). Pertama, Islam memandang perubahan
sosial harus dimulai dari perubahan individu. Kedua, secara berangsur-angsur,
perubahan individu ini harus disusul dengan perubahan institusional. Dari dua
hal tersebut, perubahan sosial yang dimaksud dalam Islam adalah perubahan dalam
hal struktur sosial yang timpang, hegemonik, dan dominatif. Oleh karena itu,
perubahan struktur sosial yang ada merupakan syarat yang harus ada untuk
mencapai suatu bentuk ideal. Sehingga perubahan sosial tersebut tergantung pada
struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat pada bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan ideologi (Dhakiri, 2000: 138).
Refleksi Perubahan Sosial
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus yang melibatkan Islam belakangan ini
seperti sweeping FPI di kendal atau kasus terorisme lainnya, saya melihat
terjadi kesalahpahaman untuk mengaplikasikan perubahan sosial menuju kebaikan
berdasarkan nilai-nilai islam. Kesalahpahaman ini condong kepada bagaimana
mereka oknum pelaku memaksakan perubahan sosial langsung kepada perubaha
institusional bukan perubahan individu terlebih dahulu. Tidak sesuainya
konsepsi perubahan sosial menurut islam dengan apa yang diimplementasikan telah
membuat perubahan sosial secara islam mendapat tanggapan negatif dari banyak
kalangan dan tidak sesuai dengan harapan pemuka agama.
Perubahan institusional dalam konteks terbatas seperti organisasi mungkin
mampu berdampak kepada perubahan individu. Misalnya, suatu perusahaan
menerapkan kebijakan baru mengenai jam kerja. Kebijakan tersebut berlaku untuk
seluruh karyawan dan jika ada yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Secara
perlahan para karyawan pun siap akan perubahan tersebut tanpa ada keinginan
untuk membangkang.
Untuk konteks yang lebih luas seperti dalam tataran negara atau dunia,
perubahan institusional sangat sulit untuk memberikan dampak kepada perubahan
individu. Karena aturan main yang berlaku tidak mengikat dengan kuat. Aturan
main yang berlaku hanya berlaku untuk beberapa hal yang menyinggung masalah
hukum formal yang berlaku universal atau yang telah diatur oleh negara.
Sehingga perubahan sosial secara islam lebih mengutamakan perubahan individu
terlebih dahulu yang diikuti dengna perubahan institusional berikutnya. Ketika
setiap individu berubah dan mengajak orang lain berubah, maka kumpulan individu
tersebut secara otomatis memberikan dampak kepada perubahan institusional.
Kesalahpahaman cara yang terjadi pada kasus FPI atau terorisme yang
mengusung kekerasan untuk memberikan shock therapy kepada tataran yang makro
dan luas saat ini telah mempersulit jalan islam dalam mengusung perubahan
sosial yang sesuai dengan nilai-nilai ideal yang ada. Selanjutnya tugas semua
umat islam adalah bagaimana cara kekerasan untuk melakukan perubahan sosial
dapat diminimalisir untuk mempermudah jalan islam mengusung perubahan sosial.
Selain itu, cara yang lebih efektif untuk saat ini lebih kepada bagaimana umat
islam menyebarkan virus positif yang sesuai dengan nilai-nilai islam tanpa
harus menonjolkan keislaman yang berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar