Pengertian Paradigma
Apakah Paradigma itu?Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of
Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The
Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan
Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak
mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata
paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh
Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.1.
Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian
ilmuwan.2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan
sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.3.
Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam
lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.Masterman
sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang
menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has
of its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma
sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti
dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir
sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan
secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word”
semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas
sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan
pergerakan. Apakah yang disebut Teori kritis ?Apa sebenarnya makna
“Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan
teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga
teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan
teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak
bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan
produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang
digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi
publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi
intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara
Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu
Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut
antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).
Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah
tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran
dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau
mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari
manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah
bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx,
tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan
beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara
baru dan kreatif.Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max
Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan
filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud),
Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan
fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan
New Left di Amerika).Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas
teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi.
Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah
ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras
truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan
manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai
sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada
struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan
masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab
Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift
tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori
Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis”
pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer
(1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse
(1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt
yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge
Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi
:§ Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan
pada bidang ekonomi;§ Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok
metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik
epistimologi;§ Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya
memperpanjang status quo;§ Kritik terhadap masyarakat modern yang
terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal
membebaskan manusia dari dominasi;§ Kritik kebudayaan yang dianggap
hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Madzhab Frankfrut
mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);
2. Berpikir empiris-historis;
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan
praksis; 4. Berpikir dalam realitas yang
tengah dan terus bekerja (working reality). Mereka mengembangkan apa
yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini
bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang
dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam pengertian Kantian.Immanuel Kant melihat
teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga
akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan
“isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition
of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik
Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan
pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri
dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental.
Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan
menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian.Kritik dalam makna
Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel,
Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu
teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya
menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak
dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya
Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is
rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis
sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul
atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas
sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai
refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan
diri-rasio dalam sejarah manusia. 3.
Kritik dalam pengertian Marxian.Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang
berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang
terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini
kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material
dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri
dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.
Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari
alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam
masyarakat. 4. Kritik dalam pengertian
Freudian.Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian
mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran
dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi
dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu
karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan
perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas
konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi
Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian
kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi
pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris.
Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat : Pertama,
bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua,
berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan
masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak
melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma
Sosial:William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga
jenis utama paradigma : 1. Order
Paradigm (Paradigma Keteraturan)Inti dari paradigma keteraturan adalah
bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial
adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan
misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini
yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal
paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya,
anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada
kekuasaan senantiasa ada perlawanan.Untuk memahami pola pemikiran paradigma
keteraturan dapat dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi sifat dasar
manusia
|
Rasional, memiliki
kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi memunculkan
dis integrasi sosial
|
Pandangan hobes
mengenai konsep dasar Negara
|
Imajinasi tentang
masyarakat
|
Consensus, kohesif/fungsional
struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo,
anti perubahan
|
Negara Republic Plato
|
Imajinasi ilmu
pengetahuan
|
Sistematic,
positivistic, kuantitatif dan prediktif.
|
Fungsionalisme Auguste
Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Parson
|
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) Secara konseptual paradigma Konflik menyerang
paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :-
Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi
internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan
tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka
panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat
dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi sifat dasar
manusia
|
Rasional,kooperatif,
sempurna
|
Konsep homo feber
hegel
|
Imajinasi tentang
masyarakat
|
Integrasi sosial
terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia
|
Negara Republic plato
|
Imajinasi ilmu
pengetahuan
|
Filsafat materialisme,
histories, holistic, dan terapan
|
Materialisme historis
marx
|
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)Dari kontras/perbedaan antara paradigma
keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis
keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia
sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk
melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada
disekitarnya. Untuk memahami pola pemikiran paradigma plural dapat
dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik
|
Asumsi dasar
|
Type ideal
|
Imajinasi sifat dasar
manusia
|
Manusia bertindak atas
kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif
|
Konsep kesadarn diri
imanuel kant
|
Imajinasi tentang
masyarakat
|
Struktur internal yang
membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control.
|
Konsep kontrak sosial
J.J Rousseau
|
Imajinasi ilmu
pengetahuan
|
Filsafat idealisme,
tindakan manusia tidak dapat diprediksi
|
Metode verstehen Weber
|
²
Terbentuknya Paradigma Kritis Ketiga paradigma di atas merupakan
pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori
sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi
antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.Paradigma pluralis
memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa
manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk
menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma
kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok
pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan
paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau
pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: a. Analisis
struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu
masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar
pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.b. Analisis
ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun
internasional.c. Analisis kritis yang membongkar “the dominant
ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat.
Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola
eksklusi antar wacana.d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di
masyarakat.e. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar
tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik dalam level
individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
² Kritis dan TransformatifNamun
Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti
apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem
yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun
belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif”
melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif dianut
epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan
pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah;
entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak
yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu
mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke
masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran
praksis antara lain:1. Transformasi dari Elitisme ke PopulismeDalam
model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam
melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu
kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap
masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering
berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal,
yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang
terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit
dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis.
Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai
tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini
haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal. 2.
Transformasi dari Negara ke MasyarakatModel tranformasi kedua adalah
transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis
teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.
Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu,
Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif
untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.
Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara. 3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.Bentuk
transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal
ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang
dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat
desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya
benturan sosial di lapangan. 4. Transformasi dari Individu ke MassaModel
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang
adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini
tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat
dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun
(ipoleksosbudhankam). Paradigma Kritis Transformatif (PKT )
yang diterapkan di PMII?Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah
sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat
tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari
tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh
warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai
kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru
ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT
berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan
segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan
yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat
diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang
paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan
paradigma kritis dari beberapa intelektual islam, diantaranya Hassan Hanafi dan
Arkoun. MENGAPA PMII MEMILIH PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
?“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam
setiap membaca tafsir sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada
beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis
Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta
menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial.
Alasan-alasan tersebut adalah:1.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme
modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik
yaitu budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik
modernisme.2. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur
maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).3.
Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola
yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti
perubahan dan pro status quo)4.
Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku,
bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya
penegakan nilai kemanusiaan. Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih
Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan
realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah
bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal
ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII
yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual
Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan
Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif. DATA-DATA
BACAAN PENUNJANG1. Andi Arief, Politik Hegemoni Gramsci,
Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 19992. Ali Mudhofir, Kamus Istilah
Filsafat, Liberty, Yogykrta, 19923. Andree Feilrad, NU
vis a vis Negara, LkiS, Jogjakarta, 19924. Bendix,
Reinhard, Max Weber, Berkeley University of California Press,
19975. Franscis Arif Budiman, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius,
Jogjakarta, 19926. Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis, Kanisius, Jogjakarta, 19927. F. Budi Hardiman, Kritik
Ideologi, Kanisius, Jogjakarta, 19908. Greg Barton (Ed), Radikalisme
Tradisional, LKiS, Jogjakarta, 19989. Kazuo Simogaki, Kiri
Islam ; Antara Modernisme dan Post-Modernisme (Telaah Kritis
Pemikiran Hasan Hanafi), LkiS, Jogjakarta,
199310. Moh. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar