Mahasiswa antara gerakan Moral, Intelektual dan Aksi
Mahasiswa adalah agent of change. Slogan itulah
yang selalu disuarakan oleh kebanyakan mahasiswa. Slogan yang terlanjur melekat
dan didentikkan pada seorang mahasiswa. Hanya saja slogan seperti ini harusnya
diberikan pada mahasiswa dengan kriteria yang seperti apa? Tentunya pada
mahasiswa yang bisa membawa perubahan positif
bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negaranya.
Ketika bicara mengenai mahasiswa kaitannya dengan
generasi muda, dengan semangat muda tentunya masih kreatif sehingga sangat
produktif sebagai elemen potensial bagi progress sebuah negara. Untuk itu
mahasiswa yang dimaksud adalah mahasiswa yang kehidupannya dipenuhi dengan
spirit idealisme tinggi, penuh kreatifitas dan mempunyai aura positif dalam
menyikapi segala masalah, baik yang internal maupun yang eksternal.
Mahasiswa secara harfiah tentu akan terkait dengan
ciri-ciri tradisi intelektualitas mahasiswa, yang harus memiliki poin-poin seperti;
punya rasa ingin tahu yang tinggi, punya rasa disiplin, berpikir yang
ilmiah, inovatif, kreatif, objektif, mandiri, terbuka, berwawasan luas,
progresif, dan produktif, yang mana semua itu terwujud dalam tradisi
reading, writing, discussing and organizing.
Sekarang banyak mahasiswa yang merasa bangga atau ”proud” ketika menyandang
predikat mahasiswa, apalagi dengan slogan tambahan lainnya seperti mahasiswa
sebagai agent of change, agent of control dan agent of development.
Padahal dengan predikat yang mereka sandang akan muncul banyak tuntutan yang
wajib dilakukan yakni keharusan untuk memberikan kontribusi riil minimal bagi
kehidupan mereka sendiri.
Jika dirunut, sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia tidak terlepas dari peran kepemudaan masa itu yang sebagian besar
pelajar STOVIA. Ketangguhan mahasiswa juga terbukti dengan keikutsertaan mahasiswa
menurunkan rezim-rezim. Namun kini pemuda termasuk mahasiswa sangat dimanjakan
oleh keadaan dimana mereka tidak lagi harus berjuang dengan keras. Keadaan
inilah yang membuat sebagian pemuda tidak lagi respect dengan kondisi
sosial saat ini yang semakin terpuruk. Bahkan untuk menghidupkan dinamika
organisasi saja sudah kehilangan gairah. Contoh kecil banyak organisasi
kepemudaan atau kemahasiswaan yang vakum karena kehabisan kader dengagn idealisme
tinggi. Seperti kampus yang kian hedonis dan memudar intelektualitasnya,
apalagi organisasi kepemudaan seperti KNPI yang lebih tepat sebagai organisasi
Kakek Nenek Pemuda Indonesia ketimbang Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Saat generasi kepemudaan mengalami kebobrokan
dalam organ positif justru semakin marak muncul organ-organ yang
mengidentifikasikan dirinya sebagai perkumpulan pemuda primordial yang tidak
jelas visi-misinya serta apa yang akan menjadi kontribusi mereka untuk bangsa
dan negaranya.
Satu lagi tanda-tanda dari semakin terpuruknya
karakteristik dari mahasiswa/pemuda yang biasa diidentikkan sebagai agen
perubahan dan pembangunan, yakni semakin maraknya aksi brutal dan anarki dari
kalangan mahasiswa yang katanya kaum intelektual dan berperan sebagai penyalur
aspirasi rakyat sebagai wujud kepekaan terhadap masalah-masalah sosial. Hal ini
jelas menjatuhkan kredibilitas mahasiswa sebagai generasi pejuang pembela kaum
tertindas!
Beda kasusnya ketika gerakan kepemudaan
(Mahasiswa) yang terjadi pada tahun 1998 dimana saat itu mereka benar-benar
memperjuangkan kebebasan berdemokrasi secara murni sebagai gerakan moral tanpa
ada unsur kepentingan yang lain, sehingga gerakan mahasiswa pada saat itu
mendapat reward yang luar biasa dari masyarakat.
Dalam memahami gerakan mahasiswa, perlu dilihat
dari platform gerakannya. Sejak awal gerakan mahasiswa mengidentifikasikan
dirinya sebagai gerakan moral, dengan tuntutan seputar keadilan, kebebasan,
pemerataan kesejahteraan, dan hak-hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa
gerakan mahasiswa sarat dengan visi kebangsaan, keagamaan dan kemanusiaan.
Seharusnya ini yang terus digalakkan, sehingga gerakan mahasiswa tetap pada
jalurnya.
Namun bermasalah jika mengartikulasikan suatu
gerakan dengan keanarkisan, karena malah akan menyudutkan dan menjadi gambaran
keterpurukan mahasiswa saat ini. Apalagi memang sudah terlihat mayoritas
mahasiswa dan pemuda saat ini menjadi korban life style yang hedonis
kapitalistik, dengan tersedianya segala hal yang diinginkan meskipun secara
sadar bahwa semua itu tidak terlalu mereka butuhkan.
Menurut Romy Febri, mantan aktivis dan
wartawan senior Tempo, ada lima jenis mahasiswa yang dapat diidentifikasi,
yakni mahasiswa dengan tipe strukturalis, profesional, hedonis konsumtif,
idealis dan oportunis. Sekarang tipe yang banyak bermunculan di kalangan
mahasiswa adalah tipe hedonis dan oportunis, sehingga cukup sudah gambaran yang
sangat nyata terlihat bahwa keterpurukan itu terjadi baik secara dinamika
organisasi ataupun secara personal. Jika ini terus terjadi, maka Indonesia akan
benar-benar mengalami krisis generasi muda produktif yang menjadi pengemban
tugas bangsa dan negaranya sebagai generasi pro-perubahan.
Indonesia masih mengalami keterjajahan, masih
banyak kemiskinan dan keterbelakangan, mudah-mudahan jangan ditambah lagi
dengan keterpurukan generasi muda terutama mahasiswa yang seharusnya menjadi
gerbong pro perubahan. Bergerak dan bergeraklah mahasiswa Indonesia, bangkitlah
bersama-sama melawan keterjajahan melawan penindasan dan memperjuangkan
perubahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar