Sabtu, 11 Januari 2014

Logika Pendidikan Paulo Freire

Logika Pendidikan Paulo  Freire
berikut adalah sedikit gambaran tentang pendidikan menurut Paulo Freire dan alirannya pemikirannya dalam dunia pendidikan yang terkenal. tulisan ini jauh dari sempurna untuk menggambarkan seluruh pemikiran dan logika pendidikan Freire tersebut.
Pemikiran Freire bukanlah murni sebagai teori saja melainkan sebagai hasil aksi dan refleksi terhadap realitas yang terjadi di dunia nyata. Bagi Freire, refleksi dan aksi adalah keharusan yang tak terpisahkan (Santoso, dkk, 2003: 130). Hal ini menunjukkan kaitan antara pemikiran Freire dengan Hegel dan Marx. Dimana refleksi dan aksi merupakan suatu bentuk dialektis yang mirip dengan tesis dan anti tesis yang dimiliki oleh Hegel dan diteruskan oleh Marx.
Dalam pemikirannya, Paulo Freire menekankan pada pendidikan, kekuasaan dalam pendidikan, dan politik pendidikan. Dimana ketiga hal tersebut dikolaborasikan olehnya menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pemikirannya, Freire mengkritisi bentuk dan metode pendidikan yang secara umum diterapkan di hampir seluruh negara termasuk pula negara berkembang. bentuk dan metode pendidikan yang dimaksud oleh Freire adalah pendidikan yang disebutnya sebagai pendidikan gaya bank (Freire, 1985: 49-52). Dimana proses pendidikan dilaksanakan dengan analogi menabung di bank. Guru memberikan materi yang diajarkan dan murid menerima semua yang disampaikan guru. Sehingga murid sebagai wadah tabungan bagi guru. Dengan kata lain, guru berperan sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Penerapan pendidikan gaya bank ini memiliki keterkaitan dengan kepentingan kelas berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya atas kelas yang dikuasai. Dimana pendidikan gaya bank mampu memisahkan murid dari realitas yang ada. Murid hanya diberikan refleksi dan segala sesuatu yang tidak mereka alami secara nyata. Kondisi ini pada akhirnya akan menghilangkan kesadaran para murid dengan realitas sebenarnya yang sedang mereka hadapi (Freire, 1985: 53). Dalam proses inilah selanjutnya alienasi kelas tertindas akan terus bertambah kuat dan sulit untuk dihilangkan. Upaya penghilangan kesadaran kelas tertindas ini yang dapat dikatakan sebagai politik pendidikan dan kekuasaan kelas berkuasa digunakan dalam upaya ini agar mereka mampu mempertahankan hegemoni mereka atas kelas lainnya melalui negara.
 Selanjutnya, Freire memberikan pemikirannya dalam upaya untuk memperbaiki bentuk dan metode pendidikan yang dia sebut sebagai pendidikan gaya bank. Freire melihat bahwa tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung tak terbatas. Selanjutnya, Freire menyatakan bahwa pendidikan menjadi jalur permanen pembebasan dan berada dalam dua tahap, yaitu tahap pertama adalah dimana orang menjadi sadar dari penindasan mereka dan melalui praxis mereka mengubah keadaan mereka itu dan tahap kedua dibangun di atas tahap pertama dan merupakan proses permanen aksi dan budaya pembebasan (Santoso, dkk, 2003: 129). Pemikiran Freire ini selanjutnya dikenal sebagai pendidikan kaum tertindas. Pendidikan kaum tertindas, menurut Freire, sebagai pendidikan yang makes oppression and its causes objects of reflection by the oppressed, and from that reflection will come their necessary engagement in the struggle for their liberation. And in the struggle this pedagogy will be made and remade (Santoso, 2007: 131).
Dalam pemikirannya tentang pendidikan ini, Freire memiliki asumsi bahwa keberadaan pendidikan tidak terlepas dari kondisi lingkungan sosial suatu masyarakat itu sendiri (Fakih, 2002: 115). Sehingga pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang parsial melainkan sebagai sesuatu yang sangat terkait denga konteks yang lebih luas dari suatu masyarakat itu sendiri. Pemikirannya ini tentunya sejalan dengan para pemikir konflik lainnya yang melihat suatu masalah secara menyeluruh. Karena pendidikan bagi para pemikir konflik pada umumnya dilihat sebagai suatu hal yang memiliki kepentingan mendasar yang berbeda bagi tiap-tiap kelompok sosial yang ada dan diatur dalam masayarakat kontemporer (Haralambos & Holborn, 2004: 698). Selanjutnya, pemikiran Freire mengenai pendidikan kaum tertindas ini sejalan dengan pemikiran Gramsci tentang pendidikan. Dimana Gramsci Melihat pendidikan terkait dengan masalah pembentukan manusia yang termasuk dalam fungsi teknis dan spiritual yang selanjutnya menjadikan kedua fungsi tersebut sebagai masalah utama dalam pendidikan (Pozzolini, 2006: 179).


 Freire berpendapat bahwa dalam pendidikan harus mengandung dua dimensi, yaitu refleksi dan realitas (aksi). Dimana keduanya harus diterapkan secara bersamaan dalam suatu proses pendidikan. Jika dimensi refleksi saja yang diterapkan maka akan terjadi verbalisme dan sebaliknya jika dimensi aksi saja yang diterapkan maka yang terjadi adalah aktivisme (Freire, 1985: 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar