Logika Pendidikan Paulo Freire
berikut adalah sedikit gambaran tentang pendidikan
menurut Paulo Freire dan alirannya pemikirannya dalam dunia pendidikan
yang terkenal. tulisan ini jauh dari sempurna untuk menggambarkan
seluruh pemikiran dan logika pendidikan Freire tersebut.
Pemikiran Freire bukanlah murni sebagai teori saja
melainkan sebagai hasil aksi dan refleksi terhadap realitas yang terjadi
di dunia nyata. Bagi Freire, refleksi dan aksi adalah keharusan yang
tak terpisahkan (Santoso, dkk, 2003: 130). Hal ini menunjukkan kaitan
antara pemikiran Freire dengan Hegel dan Marx. Dimana refleksi dan aksi
merupakan suatu bentuk dialektis yang mirip dengan tesis dan anti tesis
yang dimiliki oleh Hegel dan diteruskan oleh Marx.
Dalam pemikirannya, Paulo Freire menekankan pada
pendidikan, kekuasaan dalam pendidikan, dan politik pendidikan. Dimana
ketiga hal tersebut dikolaborasikan olehnya menjadi satu-kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Dalam pemikirannya, Freire mengkritisi bentuk
dan metode pendidikan yang secara umum diterapkan di hampir seluruh
negara termasuk pula negara berkembang. bentuk dan metode pendidikan
yang dimaksud oleh Freire adalah pendidikan yang disebutnya sebagai
pendidikan gaya bank (Freire, 1985: 49-52). Dimana proses pendidikan
dilaksanakan dengan analogi menabung di bank. Guru memberikan materi
yang diajarkan dan murid menerima semua yang disampaikan guru. Sehingga
murid sebagai wadah tabungan bagi guru. Dengan kata lain, guru berperan
sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Penerapan pendidikan gaya bank ini memiliki keterkaitan
dengan kepentingan kelas berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya atas
kelas yang dikuasai. Dimana pendidikan gaya bank mampu memisahkan murid
dari realitas yang ada.
Murid hanya diberikan refleksi dan segala sesuatu yang tidak mereka
alami secara nyata. Kondisi ini pada akhirnya akan menghilangkan
kesadaran para murid dengan realitas sebenarnya yang sedang mereka
hadapi (Freire, 1985: 53). Dalam proses inilah selanjutnya alienasi
kelas tertindas akan terus bertambah kuat dan sulit untuk dihilangkan.
Upaya penghilangan kesadaran kelas tertindas ini yang dapat dikatakan
sebagai politik pendidikan dan kekuasaan kelas berkuasa digunakan dalam
upaya ini agar mereka mampu mempertahankan hegemoni mereka atas kelas
lainnya melalui negara.
Selanjutnya, Freire memberikan pemikirannya dalam upaya
untuk memperbaiki bentuk dan metode pendidikan yang dia sebut sebagai
pendidikan gaya bank. Freire melihat bahwa tekanan dan penindasan
terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung tak
terbatas. Selanjutnya, Freire menyatakan bahwa pendidikan menjadi jalur
permanen pembebasan dan berada dalam dua tahap, yaitu tahap pertama
adalah dimana orang menjadi sadar dari penindasan mereka dan melalui
praxis mereka mengubah keadaan mereka itu dan tahap kedua dibangun di
atas tahap pertama dan merupakan proses permanen aksi dan budaya
pembebasan (Santoso, dkk, 2003: 129). Pemikiran Freire ini selanjutnya
dikenal sebagai pendidikan kaum tertindas. Pendidikan kaum tertindas,
menurut Freire, sebagai pendidikan yang makes oppression and its
causes objects of reflection by the oppressed, and from that reflection
will come their necessary engagement in the struggle for their
liberation. And in the struggle this pedagogy will be made and remade
(Santoso, 2007: 131).
Dalam pemikirannya tentang pendidikan ini, Freire
memiliki asumsi bahwa keberadaan pendidikan tidak terlepas dari kondisi
lingkungan sosial suatu masyarakat itu sendiri (Fakih, 2002: 115).
Sehingga pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang
dapat dilihat sebagai sesuatu yang parsial melainkan sebagai sesuatu
yang sangat terkait denga konteks yang lebih luas dari suatu masyarakat
itu sendiri. Pemikirannya ini tentunya sejalan dengan para pemikir
konflik lainnya yang melihat suatu masalah secara menyeluruh. Karena
pendidikan bagi para pemikir konflik pada umumnya dilihat sebagai suatu
hal yang memiliki kepentingan mendasar yang berbeda bagi tiap-tiap
kelompok sosial yang ada dan diatur dalam masayarakat kontemporer
(Haralambos & Holborn, 2004: 698). Selanjutnya, pemikiran Freire
mengenai pendidikan kaum tertindas ini sejalan dengan pemikiran Gramsci
tentang pendidikan. Dimana Gramsci Melihat pendidikan terkait dengan
masalah pembentukan manusia yang termasuk dalam fungsi teknis dan
spiritual yang selanjutnya menjadikan kedua fungsi tersebut sebagai
masalah utama dalam pendidikan (Pozzolini, 2006: 179).
Freire berpendapat bahwa dalam pendidikan harus mengandung dua dimensi, yaitu refleksi dan realitas (aksi). Dimana keduanya harus diterapkan secara bersamaan dalam suatu proses pendidikan. Jika dimensi refleksi saja yang diterapkan maka akan terjadi verbalisme dan sebaliknya jika dimensi aksi saja yang diterapkan maka yang terjadi adalah aktivisme (Freire, 1985: 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar