G30S PKI, Perang Kemerdekaan, dan “Sejarah Adalah Versi Pemenang”
Beberapa waktu lalu, pada 30 September dan 1 Oktober, hari
peringatan Kesaktian Pancasila, saya sempat gugling, menyelidiki tentang
kisah G30S tersebut. Sudah sejak kecil saya mendengar desas-desus bahwa
sejarah G30S itu dipelintir oleh pemerintah, sehingga saya jadi
penasaran. Hasilnya, saya menemukan banyak sekali artikel yang intinya
mengatakan bahwa sebenarnya Ahmad Yani, Katamso, Sutoyo dll itu
diam-diam ingin melengserkan Soekarno, makanya PKI membasmi mereka
semua. Jadi tujuan PKI sebenarnya bukan ingin meruntuhkan Pancasila,
melainkan melindungi rezim Soekarno. Benarkah demikian? Saya tidak tahu,
karena penyelidikan via gugling saja tentunya memiliki banyak
keterbatasan.
Beberapa tahun lalu saya pernah membaca di koran Jawapos. Dalam sebuah pertemuan para sejarawan, mereka mengatakan “sejarah adalah versi pemenang”. Setelah saya pikir-pikir, benar juga pernyataan tersebut. Saya bayangkan, seandainya waktu itu PKI yang menang, sehingga PKI masih eksis sampai sekarang, pasti sejarah G30S itu akan berbeda dari sekarang. PKI mungkin akan dimunculkan sebagai pihak yang tidak bersalah.
Saya bayangkan pula, seandainya di zaman perang kemerdekaan Belanda menjadi pihak yang menang, berhasil menjajah terus Indonesia sampai sekarang atau misalnya Indonesia menjadi negara bagian atau negara persemakmuran Belanda, mungkin buku-buku sejarah tidak akan dipenuhi kisah-kisah kekejaman Belanda menjajah Indonesia. Mungkin buku-buku sejarah itu justru akan menceritakan usaha-usaha Belanda membangun Indonesia dan memberi pendidikan pada masyarakat Indonesia.
Ketika saya di SMP dan SMA, saya belajar bahwa Timor Leste adalah provinsi Indonesia yang kemudian memisahkan diri dari Indonesia. Namun belakangan, saat saya mengobrol dengan mahasiswa Timor Leste yang berkuliah di Surabaya, ia tanpa ragu bercerita bahwa Timor Leste dari dulu dijajah terus-menerus; pertama oleh Portugis, lalu Jepang, dan lalu INDONESIA. Dan belakangan saya mendapati ternyata orang-orang Timor Leste lainnya pun juga mengatakan bahwa Indonesia dulu menjajah Timor Leste. Hal ini sempat memunculkan lelucon di kalangan teman-teman saya, “hebat juga ya kita ini. Kita ini bukan cuma pernah dijajah, tapi juga pernah MENJAJAH! Hahaha”.
Saya menyimpulkan bahwa memang benar pernyataan tersebut: Sejarah adalah versi pemenang. Jadi sejarah itu subjektif, bukan objektif.
Suatu kali di perkuliahan Ilmu sosial budaya di kampus, sang dosen memutarkan video tentang sejarah-sejarah Indonesia yang dipelintir. Yang paling saya ingat adalah kisah perang kemerdekaan Indonesia. Tentang perang Pattimura, Pangeran DIponegoro, Cut Nyak Dhien, Tuanku Imam Bonjol, dll. Mereka ternyata bukan berperang melawan tentara-tentara Belanda; mereka berperang melawan tentara Indonesia sendiri! Jadi Belanda menggunakan strategi adu domba. Rakyat dari sulawesi dibawa berperang melawan rakyat aceh, rakyat dari sumatra dibawa berperang melawan rakyat jawa, dll. Saya pikir, masuk akal juga. Belanda yang cuma negara kecil dan berpenduduk sedikit, bagaimana mungkin bisa berperang melawan begitu banyak daerah di Indonesia yang sangat luas? Hal itu pasti membutuhkan tentara dalam jumlah besar. Jadi sebenarnya yang diperangi Pangeran Diponegoro dll itu adalah pasukan Indonesia sendiri, tapi dari daerah lain. Bukti-bukti yang dipaparkan di video itu cukup banyak; antara lain yang paling jelas adalah daftar nama tentara Belanda yang tewas di perang aceh yang dimakamkan di kuburan Belanda. Nama-nama yang tertera di sana merupakan nama-nama ala Indonesia, bukan ala Belanda.
Di video tersebut dipaparkan pula mengenai pemelintiran sejarah terkait rezim Soeharto, antara lain mengenai adanya petrus (penembak misterius). Ketika itu saya sempat bertanya pada sang dosen, “pak, bagaimana dengan G30S PKI? Beliau langsung menjawab, “nah, itu bohong!”. Lalu beliau mengatakan bahwa sejarah G30S PKI itu memang bohong dan beliau memiliki data-datanya, namun belum bisa dibuka (saya tidak tahu kenapa).
Dan seiring berjalannya waktu, saya juga menemukan banyak sekali kisah maupun tokoh yang memiliki jasa besar namun tidak tercatat dalam sejarah. Misalnya saja, Johanes Leimena, orang Kristen asal Ambon yang pernah 7 kali menjabat Presiden sementara saat Soekarno sedang di luar negeri. Beliau tokoh yang hebat, sampai-sampai Soekarno pernah memujinya, “kejujuran Johanes Leimena ini setara dengan Yesus Kristus sendiri”. Tapi kenapa dia tak ada dalam buku sejarah?
Pada akhirnya, pertanyaan yang terlintas di benak saya adalah: Kurikulum pendidikan mengatakan bahwa tujuan sejarah diajarkan di sekolah adalah supaya kita belajar dari sejarah masa lalu, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, dsb. Tapi bagaimana kita bisa belajar dari sejarah kalau sejarah itu sendiri subjektif dan banyak dipelintir?
Beberapa tahun lalu saya pernah membaca di koran Jawapos. Dalam sebuah pertemuan para sejarawan, mereka mengatakan “sejarah adalah versi pemenang”. Setelah saya pikir-pikir, benar juga pernyataan tersebut. Saya bayangkan, seandainya waktu itu PKI yang menang, sehingga PKI masih eksis sampai sekarang, pasti sejarah G30S itu akan berbeda dari sekarang. PKI mungkin akan dimunculkan sebagai pihak yang tidak bersalah.
Saya bayangkan pula, seandainya di zaman perang kemerdekaan Belanda menjadi pihak yang menang, berhasil menjajah terus Indonesia sampai sekarang atau misalnya Indonesia menjadi negara bagian atau negara persemakmuran Belanda, mungkin buku-buku sejarah tidak akan dipenuhi kisah-kisah kekejaman Belanda menjajah Indonesia. Mungkin buku-buku sejarah itu justru akan menceritakan usaha-usaha Belanda membangun Indonesia dan memberi pendidikan pada masyarakat Indonesia.
Ketika saya di SMP dan SMA, saya belajar bahwa Timor Leste adalah provinsi Indonesia yang kemudian memisahkan diri dari Indonesia. Namun belakangan, saat saya mengobrol dengan mahasiswa Timor Leste yang berkuliah di Surabaya, ia tanpa ragu bercerita bahwa Timor Leste dari dulu dijajah terus-menerus; pertama oleh Portugis, lalu Jepang, dan lalu INDONESIA. Dan belakangan saya mendapati ternyata orang-orang Timor Leste lainnya pun juga mengatakan bahwa Indonesia dulu menjajah Timor Leste. Hal ini sempat memunculkan lelucon di kalangan teman-teman saya, “hebat juga ya kita ini. Kita ini bukan cuma pernah dijajah, tapi juga pernah MENJAJAH! Hahaha”.
Saya menyimpulkan bahwa memang benar pernyataan tersebut: Sejarah adalah versi pemenang. Jadi sejarah itu subjektif, bukan objektif.
Suatu kali di perkuliahan Ilmu sosial budaya di kampus, sang dosen memutarkan video tentang sejarah-sejarah Indonesia yang dipelintir. Yang paling saya ingat adalah kisah perang kemerdekaan Indonesia. Tentang perang Pattimura, Pangeran DIponegoro, Cut Nyak Dhien, Tuanku Imam Bonjol, dll. Mereka ternyata bukan berperang melawan tentara-tentara Belanda; mereka berperang melawan tentara Indonesia sendiri! Jadi Belanda menggunakan strategi adu domba. Rakyat dari sulawesi dibawa berperang melawan rakyat aceh, rakyat dari sumatra dibawa berperang melawan rakyat jawa, dll. Saya pikir, masuk akal juga. Belanda yang cuma negara kecil dan berpenduduk sedikit, bagaimana mungkin bisa berperang melawan begitu banyak daerah di Indonesia yang sangat luas? Hal itu pasti membutuhkan tentara dalam jumlah besar. Jadi sebenarnya yang diperangi Pangeran Diponegoro dll itu adalah pasukan Indonesia sendiri, tapi dari daerah lain. Bukti-bukti yang dipaparkan di video itu cukup banyak; antara lain yang paling jelas adalah daftar nama tentara Belanda yang tewas di perang aceh yang dimakamkan di kuburan Belanda. Nama-nama yang tertera di sana merupakan nama-nama ala Indonesia, bukan ala Belanda.
Di video tersebut dipaparkan pula mengenai pemelintiran sejarah terkait rezim Soeharto, antara lain mengenai adanya petrus (penembak misterius). Ketika itu saya sempat bertanya pada sang dosen, “pak, bagaimana dengan G30S PKI? Beliau langsung menjawab, “nah, itu bohong!”. Lalu beliau mengatakan bahwa sejarah G30S PKI itu memang bohong dan beliau memiliki data-datanya, namun belum bisa dibuka (saya tidak tahu kenapa).
Dan seiring berjalannya waktu, saya juga menemukan banyak sekali kisah maupun tokoh yang memiliki jasa besar namun tidak tercatat dalam sejarah. Misalnya saja, Johanes Leimena, orang Kristen asal Ambon yang pernah 7 kali menjabat Presiden sementara saat Soekarno sedang di luar negeri. Beliau tokoh yang hebat, sampai-sampai Soekarno pernah memujinya, “kejujuran Johanes Leimena ini setara dengan Yesus Kristus sendiri”. Tapi kenapa dia tak ada dalam buku sejarah?
Pada akhirnya, pertanyaan yang terlintas di benak saya adalah: Kurikulum pendidikan mengatakan bahwa tujuan sejarah diajarkan di sekolah adalah supaya kita belajar dari sejarah masa lalu, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, dsb. Tapi bagaimana kita bisa belajar dari sejarah kalau sejarah itu sendiri subjektif dan banyak dipelintir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar