Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Tetapi, pembangunan yang memusatkan dirinya pada pencapaian pertumbuhan di tingkat makro, ternyata justru menimbulkan banyak petaka bagi sebagian besar masyarakat yang akan diperbaiki kehidupannya.
Karena itu, sejak kegagalan teori dan model pembangunan yang terlalu mengagungkan pertumbuhan, banyak kalangan mengalihkan kiblatnya kepada pembangunan yang memusatkan kepada rakyat, yang di dalam nya mensyaratkan optimasi sumberdaya local, partisipasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Sejak saat itulah, “Pemberdayaan” yang dikenalkan di Indonesia sejak awal 1990-an melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal), telah membius banyak kalangan dan dijadikan tumpuan harapan banyak pihak. Tidak saja oleh sebagian besar masyarakat lapisan bawah, tetapi juga para elit kekuasaan.
Pemberdayaan, dewasa ini telah menjelma sebagai program nasional melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), sehingga tidak satupun SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yang tidak memiliki program/kegiatan pemberdayaan masyarakat. Bahkan, di seluruh provinsi, dan kabupaten/kota, perlu dibentuk instansi khusus yang bernama Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat.
Demikiian juga di dalam struktur pemerintah desa/kelurahan, juga dibentuk Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (LPMD/LPMK). Tidak cukup di situ, di kalangan dunia-usaha, baik BUMN/Swasta, juga ada kewajiban melakukan pemberdayaan masyarakat melalui progran tanggungjawab sosdial dan lingkiungan dalam bentuk: Proram Kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) di BUMN, maupun CSR (Coporate Sosial Responsibility) di kalangan Swasta.
Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa praktek pelaksanaan pemberdayaan masyarakat seringkali jauh meleset dari konsepnya. Pemberdayaan menjadi lebih “memperdayai”, upaya pengembangan kemandirian masyarakat justru lebih cenderung melestarikan ketergantungan masyarakat kepada beragam bentuk bantuan, pinjaman lunak, modal bergulir, dll.
Lebih ironisnya, program/kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak sedikit yang dijadikan ladang manipulasi dan korupsi.
Oleh sebab itu, buku ini diterbitkan dengan harapan untuk dapat dijadilkan acuan bagi semua pihak, baik: aparat birokrasi, politisi, akademisi, praktisi/fasilitator maupun pemerhati/ pengamat kegiatan pemberdayaan masyarakat,
Buku ini berisi 13 Bab, yang diawali dengan dua Bab yang berisi telaahan kritis tentang upaya perbaikan kesejahteraan dan perubahan-perubahan paradigma pembangunan, Dua Bab berikutnya, Bab 3 berisi tinjauan tentang pembangunan berbasis pemberdayaan yang diawali dengan pengertian pemberdayaan, dan Bab 4 telaahan tentang pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses. Bab 5, berisi tentang filosofi dan prinsip pemberdayaan, disambung Bab 6 tentang lingkup dan tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Bab 7 tentang pendekatan dan strategi bagi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Bab 9, 10, dan 11 menyampaikan pengenalan wilayah-kerja, metoda dan materi pemberdayaan masyarakat. Akhirnya ditutup dengan dua Bab tentang perencanaan serta pemantauan dan evaluasi program/kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Buku ini bukanlah “Kitab Suci” yang harus ditaati, tetapi lebih untuk membuka percakapan, dan mengajak untuk secara kritis bersama-sama membangun kegiatan belajar-bersama serta berbagi pengetahuan dan pengalaman (sharing).
Karena itu, adanya kritik untuk melengkapi dan memperbaiki isi buku ini akan diterima dengan senang hati.
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar