Pemikiran Islam Menurut Mohammed Arkoun
Abstract: This
paper discusses about Mohammed Arkoun and his ideas about rethinking
Islam. Arkoun is one of the wellknown post-modernism Muslim thinkers
today. He has been criticizing islamic thought and reality which,
according to him, has been dominated by logocentrism Islamic reason.
This reason, in many cases, has been one of the complicated problems.
Because of that, Arkoun invites all Muslim scholars to have a great
project of rethinking Islam, by using anthropological multi-disciplin
approach. He has proved that by his approach and metodology, Islam can
be wellunderstood (won’t be misunderstood) and meet many human
necessities in this modern world. After this project of rethinking,
Islam will –according to Arkoun- be the best solution of human problems
today.
Keywords: Arkoun, method, approach, rethinking, thought, anthropology
Pendahuluan
Mohammed
Arkoun (selanjutnya disebut Arkoun saja), menyatakan bahwa kenyataan
Islam yang dialami masyarakat muslim dewasa ini telah dikuasai oleh
nalar Islami yang memiliki karakter logosentris. Ada beberapa ciri yang
menunjukkan adanya kenyataan itu. Pertama, nalar Islam dikuasai
oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan)
yang tentu saja lebih bersifat estetisetis daripada ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi ‘aql)
telah menjadi sempit dan hanya berkutat di dalam wilayah tempat
kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika, teologi, moral dan hukum.
Ketiga, nalar hanya bertiti tolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat,
data-data empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan
kebenaran transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi
penafsiran serta menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam
cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, sosial,
budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-satunya
wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam,
pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam
ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung
mengulang-ulang sesuatu yang lama. Selain itu, wacana batin yang
melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan spiritual,
cenderung diabaikan.1
Dari
kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang
bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada
kaum intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai
sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah
manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga,
meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan
sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya)
untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan
suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan
yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.
Biografi Arkoun
Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 1928 dalam eluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di ebuah desa di
kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah imur Aljir, Aljazair.
Keluarganya berada pada strata fisik dan osial yang rendah (ibunya buta
huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian
melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama
di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun
melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir
(1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah
Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair.
Pada
saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun
melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne,
Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee)
di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun
1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris,
sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di
bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor
mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang
pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan
filsafat.
Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan
menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani.
Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap
di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh
perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan
ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan
Perancis.
Jenjang
pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat
pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan
tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari,
barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannyayang begitu besar
terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga
bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya,
cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia
merupakanalat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai
kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa
Arab merupakan alat untuk
melestarikan
tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam
lainnya. Sedangkan bahasaPerancis merupakan bahasa administrasi
pemerintahan serta
alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.
Pada
tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke
Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas
Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya
penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk
memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi
keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University,
Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma,
Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam,
Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah
memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin,
Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya.
Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu
menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki
bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan
kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu
saja, membuka peluang terhadap kritik.
Selain
mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki
jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai
direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis
untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota
Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan
Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques,
sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia
universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam
dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III). Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai
cendekiawan yang engage,
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya
penting bagi kemanusiaan, sebab, baginya, pemikiran dan aksi harus
saling berkaitan.
Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka sepert Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta),
di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga menerbitkan beberapa
kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan
lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq) (sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan
pengantar untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan
kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam,
agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya
lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting,
seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.
Karya
Arkoun mayoritas dibuat dalam bahasa Perancis, dan kemudian tersebar
dalam bentuk karya terjemahan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Beberapa karya terjemahan yang penting antara lain adalah al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Asalah wa Mumarasah (bahasa Arab), Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (bahasa Inggris), NalarIslami dan Nalar Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, dan Rethinking Islam (bahasa Indonesia).
Karya-karya
Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami oleh
ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack
Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh
ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack
Goody, ahli sastra Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut tampak misalnya pada anggitan tentang myth dan imaginaire social dari Ricoeur, episteme, discours dan archeology dari Foucault, signifiant dan signifie dari de Saussure dan Derrida, deconstruction, unthought (l’impense), unthinkable (l’impensable) dan thinkable (le pense) dari Derrida dan sebagainya.
Arkoun
terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum
Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia
Barat modern. Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsur yang
sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga
di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan
begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa
memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum
Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang
mereka buat sendiri.
Kerangka Pemikiran Arkoun
Kegelisahan
Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya adalah kenyataan
adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat
Muslim. Dikotomidikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan
dengan persoalan-persoalan particularity versus (vs) universality, dan marginality vs centrality.
Problem-problem ini tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian
dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syi’i, kaum mistik
dengan kaum tradisionalis, Muslim dengan non- Muslim, Berber (non-Arab)
dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan sebagainya.
Oleh
karena itu, dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak ada
pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak
ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior dan
tidak ada kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran.
Arkoun berusaha mengajukan pertanyaan yang kritis kepada kita, yaitu
“Bagaimana seluruh manusia bisa menjadi diri mereka sendiri dengan
identitas mereka sendiri tanpa menyendiri dari tetangga-tetangga dan
sesama manusia lainnya?” Bagi orang Islam, Arkoun bertanya-tanya,
“Dapatkah identitas-identitas Muslim itu didamaikan dengan
identitas-identitas non-Muslim?"
Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Di dalam melakukan ijtihad (dengan
menafsirkan Islam) yang tidak pernah berhenti, ada dua kekuatan tradisi
pemikiran yaitu, budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial
di dalam pemikiran Yunani dan monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh
para Nabi. Secara jelas, Arkoun mengemukakan dirinya sebagai pengguna
metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara
modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang
pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama,
yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah
positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19. Dengan demikian, usaha
intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang
Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk
mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan
yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan
sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap
budayabudaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama
dan sebagai sebuah produk sosial sejarah.
Di
dalam pembicaraan yang didasarkan pada postulatpostulat kaum metafisik
klasik yang esensialis dan substansialis, Islam digambarkan sebagai
suatu sistem pemikiran, kepercayaan, dan ketidakpercayaan yang khusus,
esensial, dan tidak berubah, sehingga memunculkan adanya
kelompok-kelompok superior dan inferior (menurut orang Islam atau
non-Islam) ketika dihadapkan dengan sistem Barat (Kristen). Menurut
Arkoun, inilah saat yang tepat untuk menghentikan
pertentangan-pertentangan antara dua sikap dogmatis yang berupa klaim
kebenaran teologis dari orangorang yang beriman dan postulat-postulat
ideologis dari rasionalisme kaum positivistik. Sejarah agama telah
mengumpulkan fakta-fakta dan gambaran-gambaran dari berbagai macam
agama, akan tetapi agama sebagai dimensi universal dari manusia belum
didekati dengan perspektif epistemologis yang relevan. Kelemahan dalam
pemikiran modern ini nampak secara jelas dari literatur yang miskin,
seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama
wahyu.
Untuk
menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan perhatian lebih
terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan
tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh
karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk
memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan
historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode
Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi.
Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan
epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar (reason)
harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme
yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di
dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Semua
ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pemikir, penulis,
seniman, sarjana, politisi dan produsen ekonomi.
Dalam
melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari
suara atau teori yang dianggap memiliki otoritas, karena hanya dia yang
dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah,
dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam
bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang
Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.
Ada enam garis pemikiran (six heuristic lines of thinking)
yang diajukan Arkoun untuk merekapitulasikan ilmu pengetahuan Islam dan
mengkonfrontasikannya dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Enam garis
pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Di dalam masyarakat, manusia menggunakan berbagai ara yang
berubah-ubah, yang dialihbentukkan menjadi ebuah tanda, di mana sistem
tanda itu ditampilkan elalui bahasa. Tanda-tanda tersebut merupakan
persoalan ang radikal bagi ilmu pengetahuan yang kritis dan erkendali.
Persoalan ini muncul mendahului berbagai saha untuk menafsirkan wahyu.
Kitab-kitab suci itu endiri dikomunikasikan melalui bahasa-bahasa alami
yang igunakan sebagai sistem tanda dan telah diketahui bahwa etiap tanda
merupakan locus dari tindakan-tindakan onvergent yang berlaku di semua hubungan antara bahasa dan pemikiran. Persoalan tanda dalam bahasa merupakan isu di dalam pendekatan
strukturalis-semiotik dari metodologi linguistik yang antropologis.
Menurut Greimas, J. Courtes, agama merupakan lahan subur bagi analisis
semiotis, sebab tanda akan memainkan peran penting di dalamnya, semiotik
dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan signifikasi yang hanya
menekankan aspek tertentu dari jangkauan ilmu pengetahuan tanda. Semiotik, secara radikal juga dianggap sebagai ilmu yang membahas segala gejala budaya sebagai proses komunikasi.
2.
Semua hasil semiotik manusia dalam proses penampakan sejarah dan budaya
merupakan sasaran dari perubahan sosial yang oleh Arkoun disebut
sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity.
Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap
fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita.
Penampakan-penampakan yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan
kebenaran yang pertama) dan transendensi milik nalar teologis dan nalar
metafisis tentu elah meniadakan historisitas sebagai dimensi kebenaran.
al ini terjadi karena, karena alat-alat, konsep-konsep, efinisi-definisi
dan postulat-postulat yang terus berubah digunakan untuk mengetahui
kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua pemikiran abad pertengahan
yang didasarkan pada esensi-esensi dan substansi-substansi yang telah
mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut sistem semiotik yang
menjadi sasaran historisitas. Definisi aristitelian tentang logika
formal dan kategori abstrak, harus direvisi dalam konteks teori semiotik
tentang makna dan historisitas nalar.
Garis pemikiran kedua ini merupakan pendekatan post-strukturalis
dekonstruksionis dari linguistik kritis. Di dalamnya ada demistifikasi
dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan
interpretasi yang dilahirkan oleh nalar teologis.
3. Terdapat berbagai tingkatan dan bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah Islam. Imagination dan imaginaire
dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu pengetahuan dan tindakan.
Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam kerangka agama
maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut
sangat menentukan di dalam masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah,
karena budaya rasional hanya mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda
dengan masyarakat Barat yang meski juga masih memiliki imaginaire. Garis pemikiran seperti ini merupakan pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.
4. Discours sebagai
artikulasi ideologis tentang realitas sebagaimana yang dipersepsikan
dan digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berkompetisi itu,
datang mendahului iman yang diekspresikan, ditemukan dan
diaktualisasikan di dalam dan melalui discours. Sebaliknya, setelah mengambil bentuk dan akar dari discours keagamaan, politik dan keilmuan, iman kemudian memberikan arah dan postulat-postulat bagi dicsours dan
perilaku-perilaku yang mengikutinya (baik individu maupun kolektif).
Dengan demikian, iman merupakan kristalisasi dari angan-angan,
penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh tiap
kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah.
Dari garis keempat ini, dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah
post-strukturalis semiotis sosiokritis dengan metodologi linguistik
kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata discours menuntut adanya
pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima pesan yang
bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi (konteks)
pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan
emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan
sebagai alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan
cara pandang dan cara pikir para penuturnya.
5. Pada saat ini kita sedang mengalami krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah
tidak memiliki relevansi historis lagi. Belum ada suatu sistem
legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat di kalangan umat.
Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang untuk dapat
mengajukan sebuah sistem legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi
pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis.
Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis
dari sebuah teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada
lembaga-lembaga politik, namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal
dari tiga agama wahyu (Islam, Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini
bertentangan dengan jaminan teologis dari pewahyuan atau ontologi klasik
mengenai keberadaan awal dari neo-platonik yang didasarkan pada
legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu, sehingga Arkoun
menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok
orang.
Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan kritik
epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral
pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang
digunakan dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali
terinspirasi dari istilah “kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant,
sekalipun bisa jadi memang karena budaya kritik yang pernah hidup subur
di kalangan umat Islam. Kritik epistemologis ini ditujukan pada bangunan
keilmuan agama secara keseluruhan, yang dilihat Arkoun sebagai produk
sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu.
6. Pencarian terhadap makna tertinggi bergantung kepada
pertanyaan yang radikal mengenai relevansi dan eksistensi
sebuah makna tertinggi tersebut. Kita tidak berhak
menyangkal adanya kemungkinan munculnya makna
tertinggi. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah
berkenaan dengan cara untuk mendasarkan seluruh
pemikiran kita di atas postulat mengenai adanya makna
tertinggi tersebut. Menurut Arkoun, kita mempunyai
tanggung jawab terhadap terwujudnya nalar kritis dan oleh
karena itu, kita bertanggung jawab untuk mencari
pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara
makna dan realitas. Pertama-tama, kita harus
meningkatkan
peralatan intelektual, yaitu yang menyangkut mengenai kosa kata,
metodologi, strategi prosedur, definisi dan wawasan penelitian.
Dengan begitu, berarti Arkoun mengakui adanya “petanda transendental”
sebagai petanda terakhir yang merupakan pendekatan yang melampaui batas
semiotika dalam metodologi struktural linguistik.
Dengan
memperhatikan enam garis pemikiran Arkoun tersebut, maka dapat ditarik
sebuah garis lurus bahwa pendekatan dan metodologi pemikiran Arkoun
adalah multi disiplin yang bersifat antropologis.
Pemikiran-Pemikiran Arkoun Yang Penting
Berikut
ini akan disampaikan dua buah pemikiran Arkoun yang menarik untuk
dijadikan sebagai diskusi, berdasarkan metodologi dan pendekatan yang
dia pakai.
1. Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama,
wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak
diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini,
biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan
berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan
Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah
Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad
selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).
Pencatatan
Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan
parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi
tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun
kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut,
adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang
mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan
tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.
Penyebaran
dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali
persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya
kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique).
Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka
terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami
memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu
garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani. Kenyataan islami
lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan
berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik
kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik.
Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus
penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai
produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai
ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia. Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut :
Firman Allah (Umm al-Kitab)
Sejarah Penyelamatan Manusia
Wacana Alqur’an KRT KT Sejarah Dunia
(Peristiwa sejarah pewahyuan) Masyarakat Penafsir
al-Qur’an, al-Kitab, al-Dzikr, al-Furqan tradisi, ingatan
kolektif, seleksi,
eliminasi, kristalisasi,
mitologisasi,
imaginaire social dan
munculnya
rasionalisme kritis
Ket:
KRT : Korpus Resmi Tertutup
KT : Korpus Tafsir
2. Pembacaan al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral).
Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami
wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an
sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah
keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu
dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre,
mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang
bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks
tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk
mereproduksi makna.
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara
liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada
saat-saat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan
untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk
pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours)
dari “ujaran 1”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani,
baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan
pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga,
cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara
memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu bahasa. Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut
tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan
sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas
dikupas oleh manusia.
Untuk
pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke
dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan
kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai
data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs).
Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah,
langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan
berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode
linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan
langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis
mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai
sebuah qira’ah).
Pemikiran-pemikiran
Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan
di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model
Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda
dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan
telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model
pemikiran kaum Muslim lainnya.
Arkoun
berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat
kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan
filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model
Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih
bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda
dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas
dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika
harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang
beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab
secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”.
Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq
sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari
kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan
prasangka-prasangka keagamaan dari massa.
Namun
demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima
Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai
tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu
Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan
mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.
Karena
karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan
kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka
karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di
dalam masyarakat, pengikut berbagai agama.
Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai
istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai
artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami,
meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala
ilmu pengetahuan para pembacanya.
Penutup
Hampir
seluruh pemikiran Arkoun tentang kajian ulang pemikiran Islam, ternyata
merupakan pemikiran epistemologis yang tidak praktis dan belum tuntas.
Hal tersebut merupakan nilai tambah dan sekaligus merupakan nilai kurang
dalam pemikiran Arkoun.
Arkoun
banyak menemukan hambatan psikologis dari pembaca Muslim yang menolak
“diganggunya” wilayahwilayah sakral. Hal ini terjadi karena Arkoun
berusaha membongkar “kekeramatan” yang dilekatkan pada berbagai sumber
dan wilayah bangunan pemikiran Islam yang telah ada dan memberikan
alternatif pemikiran yang bercorak historis empiris.
Abstract: This
paper discusses about Mohammed Arkoun and his ideas about rethinking
Islam. Arkoun is one of the wellknown post-modernism Muslim thinkers
today. He has been criticizing islamic thought and reality which,
according to him, has been dominated by logocentrism Islamic reason.
This reason, in many cases, has been one of the complicated problems.
Because of that, Arkoun invites all Muslim scholars to have a great
project of rethinking Islam, by using anthropological multi-disciplin
approach. He has proved that by his approach and metodology, Islam can
be wellunderstood (won’t be misunderstood) and meet many human
necessities in this modern world. After this project of rethinking,
Islam will –according to Arkoun- be the best solution of human problems
today.
Keywords: Arkoun, method, approach, rethinking, thought, anthropology
Pendahuluan
Mohammed
Arkoun (selanjutnya disebut Arkoun saja), menyatakan bahwa kenyataan
Islam yang dialami masyarakat muslim dewasa ini telah dikuasai oleh
nalar Islami yang memiliki karakter logosentris. Ada beberapa ciri yang
menunjukkan adanya kenyataan itu. Pertama, nalar Islam dikuasai
oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan)
yang tentu saja lebih bersifat estetisetis daripada ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi ‘aql)
telah menjadi sempit dan hanya berkutat di dalam wilayah tempat
kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika, teologi, moral dan hukum.
Ketiga, nalar hanya bertiti tolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat,
data-data empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan
kebenaran transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi
penafsiran serta menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam
cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, sosial,
budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-satunya
wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam,
pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam
ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung
mengulang-ulang sesuatu yang lama. Selain itu, wacana batin yang
melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan spiritual,
cenderung diabaikan.1
Dari
kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang
bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada
kaum intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai
sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah
manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga,
meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan
sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya)
untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan
suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan
yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.2
Biografi Arkoun
Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 192833
dalam eluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di ebuah desa di
kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah imur Aljir, Aljazair.
Keluarganya berada pada strata fisik dan osial yang rendah (ibunya buta
huruf)4 dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.5
Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian
melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama
di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun
melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir
(1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah
Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair.6
Pada
saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun
melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne,
Paris.7 Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee)
di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun
1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris,
sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di
bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor
mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang
pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan
filsafat.8
Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan
menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani.9
Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap
di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh
perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan
ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan
Perancis.10
Jenjang
pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat
pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan
tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari,
barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannyayang begitu besar
terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga
bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya,
cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia
merupakanalat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai
kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa
Arab merupakan alat untuk
melestarikan
tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam
lainnya. Sedangkan bahasaPerancis merupakan bahasa administrasi
pemerintahan serta
alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.11
Pada
tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke
Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas
Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya
penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk
memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi
keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University,
Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma,
Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam,
Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah
memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin,
Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya.12
Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu
menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki
bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan
kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu
saja, membuka peluang terhadap kritik.13
Selain
mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki
jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai
direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis
untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota
Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan
Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques,
sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia
universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam
dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III).14 Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai
cendekiawan yang engage,
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya
penting bagi kemanusiaan, sebab, baginya, pemikiran dan aksi harus
saling berkaitan.15
Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka sepert Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta),
di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga menerbitkan beberapa
kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan
lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq) (sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan
pengantar untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan
kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam,
agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya
lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting,
seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.
Karya
Arkoun mayoritas dibuat dalam bahasa Perancis, dan kemudian tersebar
dalam bentuk karya terjemahan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Beberapa karya terjemahan yang penting antara lain adalah al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Asalah wa Mumarasah (bahasa Arab), Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (bahasa Inggris), NalarIslami dan Nalar Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, dan Rethinking Islam (bahasa Indonesia).
Karya-karya
Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami oleh
ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack
Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh
ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack
Goody, ahli sastra Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut tampak misalnya pada anggitan tentang myth16 dan imaginaire social17 dari Ricoeur, episteme, discours dan archeology dari Foucault18, signifiant dan signifie dari de Saussure dan Derrida19, deconstruction, unthought (l’impense), unthinkable (l’impensable) dan thinkable (le pense) dari Derrida20 dan sebagainya.
Arkoun
terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum
Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia
Barat modern. Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsur yang
sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga
di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan
begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa
memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum
Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang
mereka buat sendiri.21
Kerangka Pemikiran Arkoun
Kegelisahan
Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya adalah kenyataan
adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat
Muslim. Dikotomidikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan
dengan persoalan-persoalan particularity versus (vs) universality, dan marginality vs centrality.
Problem-problem ini tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian
dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syi’i, kaum mistik
dengan kaum tradisionalis, Muslim dengan non- Muslim, Berber (non-Arab)
dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan sebagainya.22
Oleh
karena itu, dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak ada
pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak
ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior dan
tidak ada kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran.
Arkoun berusaha mengajukan pertanyaan yang kritis kepada kita, yaitu
“Bagaimana seluruh manusia bisa menjadi diri mereka sendiri dengan
identitas mereka sendiri tanpa menyendiri dari tetangga-tetangga dan
sesama manusia lainnya?” Bagi orang Islam, Arkoun bertanya-tanya,
“Dapatkah identitas-identitas Muslim itu didamaikan dengan
identitas-identitas non-Muslim?”23
Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Di dalam melakukan ijtihad (dengan
menafsirkan Islam) yang tidak pernah berhenti, ada dua kekuatan tradisi
pemikiran yaitu, budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial
di dalam pemikiran Yunani dan monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh
para Nabi. Secara jelas, Arkoun mengemukakan dirinya sebagai pengguna
metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara
modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang
pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama,
yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah
positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19. Dengan demikian, usaha
intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang
Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk
mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan
yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan
sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap
budayabudaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama
dan sebagai sebuah produk sosial sejarah.24
Di
dalam pembicaraan yang didasarkan pada postulatpostulat kaum metafisik
klasik yang esensialis dan substansialis, Islam digambarkan sebagai
suatu sistem pemikiran, kepercayaan, dan ketidakpercayaan yang khusus,
esensial, dan tidak berubah, sehingga memunculkan adanya
kelompok-kelompok superior dan inferior (menurut orang Islam atau
non-Islam) ketika dihadapkan dengan sistem Barat (Kristen). Menurut
Arkoun, inilah saat yang tepat untuk menghentikan
pertentangan-pertentangan antara dua sikap dogmatis yang berupa klaim
kebenaran teologis dari orangorang yang beriman dan postulat-postulat
ideologis dari rasionalisme kaum positivistik. Sejarah agama telah
mengumpulkan fakta-fakta dan gambaran-gambaran dari berbagai macam
agama, akan tetapi agama sebagai dimensi universal dari manusia belum
didekati dengan perspektif epistemologis yang relevan. Kelemahan dalam
pemikiran modern ini nampak secara jelas dari literatur yang miskin,
seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama
wahyu.
Untuk
menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan perhatian lebih
terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan
tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh
karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk
memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan
historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode
Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi.
Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan
epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar (reason)
harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme
yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di
dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Semua
ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pemikir, penulis,
seniman, sarjana, politisi dan produsen ekonomi.
Dalam
melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari
suara atau teori yang dianggap memiliki otoritas, karena hanya dia yang
dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah,
dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam
bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang
Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.25
Ada enam garis pemikiran (six heuristic lines of thinking)
yang diajukan Arkoun untuk merekapitulasikan ilmu pengetahuan Islam dan
mengkonfrontasikannya dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Enam garis
pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Di dalam masyarakat, manusia menggunakan berbagai ara yang
berubah-ubah, yang dialihbentukkan menjadi ebuah tanda, di mana sistem
tanda itu ditampilkan elalui bahasa. Tanda-tanda tersebut merupakan
persoalan ang radikal bagi ilmu pengetahuan yang kritis dan erkendali.
Persoalan ini muncul mendahului berbagai saha untuk menafsirkan wahyu.
Kitab-kitab suci itu endiri dikomunikasikan melalui bahasa-bahasa alami
yang igunakan sebagai sistem tanda dan telah diketahui bahwa etiap tanda
merupakan locus dari tindakan-tindakan onvergent yang berlaku di semua hubungan antara bahasa dan pemikiran.26
Persoalan tanda dalam bahasa merupakan isu di dalam pendekatan
strukturalis-semiotik dari metodologi linguistik yang antropologis.
Menurut Greimas, J. Courtes, agama merupakan lahan subur bagi analisis
semiotis, sebab tanda akan memainkan peran penting di dalamnya, semiotik
dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan signifikasi yang hanya
menekankan aspek tertentu dari jangkauan ilmu pengetahuan tanda.27 Semiotik, secara radikal juga dianggap sebagai ilmu yang membahas segala gejala budaya sebagai proses komunikasi.28
2.
Semua hasil semiotik manusia dalam proses penampakan sejarah dan budaya
merupakan sasaran dari perubahan sosial yang oleh Arkoun disebut
sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity.
Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap
fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita.
Penampakan-penampakan yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan
kebenaran yang pertama) dan transendensi milik nalar teologis dan nalar
metafisis tentu elah meniadakan historisitas sebagai dimensi kebenaran.
al ini terjadi karena, karena alat-alat, konsep-konsep, efinisi-definisi
dan postulat-postulat yang terus berubah digunakan untuk mengetahui
kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua pemikiran abad pertengahan
yang didasarkan pada esensi-esensi dan substansi-substansi yang telah
mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut sistem semiotik yang
menjadi sasaran historisitas. Definisi aristitelian tentang logika
formal dan kategori abstrak, harus direvisi dalam konteks teori semiotik
tentang makna dan historisitas nalar.29
Garis pemikiran kedua ini merupakan pendekatan post-strukturalis
dekonstruksionis dari linguistik kritis. Di dalamnya ada demistifikasi
dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan
interpretasi yang dilahirkan oleh nalar teologis.30
3. Terdapat berbagai tingkatan dan bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah Islam. Imagination dan imaginaire
dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu pengetahuan dan tindakan.
Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam kerangka agama
maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut
sangat menentukan di dalam masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah,
karena budaya rasional hanya mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda
dengan masyarakat Barat yang meski juga masih memiliki imaginaire.31 Garis pemikiran seperti ini merupakan pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.32
4. Discours sebagai
artikulasi ideologis tentang realitas sebagaimana yang dipersepsikan
dan digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berkompetisi itu,
datang mendahului iman yang diekspresikan, ditemukan dan
diaktualisasikan di dalam dan melalui discours. Sebaliknya, setelah mengambil bentuk dan akar dari discours keagamaan, politik dan keilmuan, iman kemudian memberikan arah dan postulat-postulat bagi dicsours dan
perilaku-perilaku yang mengikutinya (baik individu maupun kolektif).
Dengan demikian, iman merupakan kristalisasi dari angan-angan,
penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh tiap
kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah.33
Dari garis keempat ini, dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah
post-strukturalis semiotis sosiokritis dengan metodologi linguistik
kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata discours menuntut adanya
pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima pesan yang
bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi (konteks)
pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan
emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan
sebagai alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan
cara pandang dan cara pikir para penuturnya.34
5. Pada saat ini kita sedang mengalami krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah
tidak memiliki relevansi historis lagi. Belum ada suatu sistem
legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat di kalangan umat.
Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang untuk dapat
mengajukan sebuah sistem legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi
pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis.
Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis
dari sebuah teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada
lembaga-lembaga politik, namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal
dari tiga agama wahyu (Islam, Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini
bertentangan dengan jaminan teologis dari pewahyuan atau ontologi klasik
mengenai keberadaan awal dari neo-platonik yang didasarkan pada
legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu, sehingga Arkoun
menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok
orang.35
Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan kritik
epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral
pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang
digunakan dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali
terinspirasi dari istilah “kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant,
sekalipun bisa jadi memang karena budaya kritik yang pernah hidup subur
di kalangan umat Islam. Kritik epistemologis ini ditujukan pada bangunan
keilmuan agama secara keseluruhan, yang dilihat Arkoun sebagai produk
sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu.36
6. Pencarian terhadap makna tertinggi bergantung kepada
pertanyaan yang radikal mengenai relevansi dan eksistensi
sebuah makna tertinggi tersebut. Kita tidak berhak
menyangkal adanya kemungkinan munculnya makna
tertinggi. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah
berkenaan dengan cara untuk mendasarkan seluruh
pemikiran kita di atas postulat mengenai adanya makna
tertinggi tersebut. Menurut Arkoun, kita mempunyai
tanggung jawab terhadap terwujudnya nalar kritis dan oleh
karena itu, kita bertanggung jawab untuk mencari
pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara
makna dan realitas. Pertama-tama, kita harus
meningkatkan
peralatan intelektual, yaitu yang menyangkut mengenai kosa kata,
metodologi, strategi prosedur, definisi dan wawasan penelitian.37
Dengan begitu, berarti Arkoun mengakui adanya “petanda transendental”
sebagai petanda terakhir yang merupakan pendekatan yang melampaui batas
semiotika dalam metodologi struktural linguistik.38
Dengan
memperhatikan enam garis pemikiran Arkoun tersebut, maka dapat ditarik
sebuah garis lurus bahwa pendekatan dan metodologi pemikiran Arkoun
adalah multi disiplin yang bersifat antropologis.
Pemikiran-Pemikiran Arkoun Yang Penting
Berikut
ini akan disampaikan dua buah pemikiran Arkoun yang menarik untuk
dijadikan sebagai diskusi, berdasarkan metodologi dan pendekatan yang
dia pakai.
1. Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama,
wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak
diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini,
biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan
berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan
Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah
Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad
selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).39
Pencatatan
Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan
parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi
tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun
kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut,
adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang
mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan
tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.
Penyebaran
dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali
persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya
kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique).
Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka
terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami
memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu
garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani. Kenyataan islami
lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan
berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik
kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik.40
Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus
penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai
produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai
ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia.41 Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:42
Firman Allah (Umm al-Kitab)
Sejarah Penyelamatan Manusia
Wacana Alqur’an KRT KT Sejarah Dunia
(Peristiwa sejarah pewahyuan) Masyarakat Penafsir
al-Qur’an, al-Kitab, al-Dzikr, al-Furqan tradisi, ingatan
kolektif, seleksi,
eliminasi, kristalisasi,
mitologisasi,
imaginaire social dan
munculnya
rasionalisme kritis
Ket:
KRT : Korpus Resmi Tertutup
KT : Korpus Tafsir
2. Pembacaan al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral).
Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami
wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an
sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah
keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu
dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre,
mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang
bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks
tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk
mereproduksi makna.43
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara
liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada
saat-saat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan
untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk
pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours)
dari “ujaran 1”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani,
baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan
pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga,
cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara
memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu bahasa. Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut
tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan
sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas
dikupas oleh manusia.44
Untuk
pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke
dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan
kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai
data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs).
Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah,
langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan
berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode
linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan
langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis
mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai
sebuah qira’ah).45
Pemikiran-pemikiran
Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan
di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model
Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda
dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan
telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model
pemikiran kaum Muslim lainnya.
Arkoun
berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat
kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan
filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model
Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih
bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda
dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas
dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika
harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang
beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab
secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”.46
Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq
sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari
kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan
prasangka-prasangka keagamaan dari massa.47
Namun
demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima
Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai
tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu
Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan
mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.48
Karena
karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan
kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka
karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di
dalam masyarakat, pengikut berbagai agama.49
Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai
istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai
artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami,
meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala
ilmu pengetahuan para pembacanya.
Penutup
Hampir
seluruh pemikiran Arkoun tentang kajian ulang pemikiran Islam, ternyata
merupakan pemikiran epistemologis yang tidak praktis dan belum tuntas.
Hal tersebut merupakan nilai tambah dan sekaligus merupakan nilai kurang
dalam pemikiran Arkoun.
Arkoun
banyak menemukan hambatan psikologis dari pembaca Muslim yang menolak
“diganggunya” wilayahwilayah sakral. Hal ini terjadi karena Arkoun
berusaha membongkar “kekeramatan” yang dilekatkan pada berbagai sumber
dan wilayah bangunan pemikiran Islam yang telah ada dan memberikan
alternatif pemikiran yang bercorak historis empiris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar