Pemikiran Politik Tan Malaka
Tan Malaka Adalah sosok pahlawan nasional
yang bergerak sebagai tokoh revolusioner yang membangun kesadaran masyarakat
Ind[1]onesia untuk terbebas dari belenggu penjajahan.
Tan Malaka adalah putra daerah Sumatera utara yang menjalani hidup sebagai
akademisi di salah satu sekolah di Belanda. Diana dia belajar tentang
konsep-konsep Marx serta cara-cara untuk membebaskan bangsanya dari dekapan
Belanda.
Tan malaka sebagai Pioner dalam
partai komunis indonesia yang mempelopori berbagai gerakan dalam memimpin kaum
buruh dan kaum tertindas. Sosialisme menjadi senjata secara intelektual bagi
perubahan yang ingin dicapai oleh Tan Malaka. Karena selain kelahirannya memang
kritik terhadap masyarakat kapitalis, juga dikarenakan nilai–nilai ideal yang
dibawa sosialisme akan keadilan ekonomi dan sosial untuk kesejahteraan bersama
berhasil menelanjangi praktek penindasan kapitalisme beserta imperialisme. Hal
ini yang kemudian menjadikan sosialisme sebagai pilihan menuju perubahan sosial
menuju cita–cita Indonesia merdeka. Dari latar belakang ini, saya membatasi
beberapa rumusan masalah tentang pemikiran politiknya, yakni :
1. Biografi Tan Malaka Sebagai Latar
Belakang Pemikirannya
2. Bagaimana konsep pemikiran Tan
Malaka Tentang Kemerdekaan R.I
Marxisme sebagai aliran pemikiran dapat dikatakan sebagai hasil produksi
dari
tradisi Renaissance dan Aufklarung. Marxisme adalah sistem pemikiran daripada
pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran Karl Marx. Menurut Lenin Marxisme adalah
seni yang meneruskan dan menyempurnakan ketiga aliran ideologi yang pokok pada abad ke-19 yang masing-masing diwakili oleh
tiga negeri paling maju dari
sejarah umat manusia yaitu:
filsafat
klasik
Jerman,
ekonomi politik
klasik Inggris dan Sosialisme Perancis yang dirangkai dengan ajaran revolusioner Perancis.[2]
Kejeniusan Marx adalah
karena ia yang pertama kalinya menyimpulkan pelajaran sejarah dunia dan menerapkan pelajaran itu secara konsisten. Kesimpulan yang dibuatnya menjadi doktrin dari perjuangan klas terhadap sistem kapitalisme
yang menindas. la tumbuh sebagai intelektual yang tajam di masa filsafat dipertanyakan, dari sebuah
situasi yang mendesak
orang memilih tempatnya dalam sejarah. Filosofi materialisme yang dipaparkan Marx menunjukkan jalan bagi kelas proletariat untuk bebas dari perbudakan
spiritual yang membelenggu setiap kelas yang tertindas hingga kini. Teori ekonomi yang dijabarkan Marx menjelaskan posisi sebenarnya proletariat di dalam sistem
kapitalisme. Marxisme banyak dianggap sebagai
praksis baru bagi filsafat yang mampu menyatukan filsafat, moralitas, ideologi, ekonomi politik ke dalam panduan praksis untuk merubah
tatanan struktural masyarakat dunia dibawah istem kapitalisme yang menindas.[3]
Marxisme dikemudian hari
banyak dijadikan
panduan bagi
banyak pergerakan- pergerakan rakyat tertindas diseluruh dunia.
Marxisme
banyak
dipakai sebagai pisau analisis untuk membedah realitas masyarakat dan mengubahnya menjadi keadaan yang lebih baik. Banyak tokoh yang mendasarkan diri dan pergerakanya
pada Marxisme, tak terkecuali seorang Tan
Malaka seorang tokoh revolusioner Indonesia semasa zaman
pergerakan
kemerdekaan. Perkenalannya dengan
Marxisme banyak mempengaruhi
pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan perjuangannya dalam mengusir kolonialisme
Belanda di Indonesia.
Pandangan Marx tentang sosialisme bertentanngan dengan
konsepsi-konsepsi sosialisme yang diciptakan Fourier dan Owen – yang
menciptakan ‘dunia baru’ dimana setiap orang hidup bahagia. Marx berasumsi
bahwa konsepsi tersebuat hanya angan-angan belaka, karena tidak menunjukkan
jalan bagaimana mencapainya. Semua itu utopia, kata Marx, hanya impian belaka.
Disisi lain, Marx sendiri selalu menolak member gambaran sosialisme.
Menurutnya, sosialisme – ilmiah – tidak dapat “membuat resep bagi dapur umum
dimasa datang”.
Sementara itu, untuk membedakan
ajaran dari gagasan sosialisme utopis, Marx menyusun suatu teori sosial yang
menurutnya didasari hokum-hukum ilmiah dan karena itu pasti terlaksana. Marx
meyakini adanya ‘hukum-hukum gerak’ dalam masyarakat yang dijalankan dengan
prinsip ‘kebutuhan yang mutlak’ didasarkan pada penjelasan naïf dari kemajuan
ilmu pengetahuan alam[4].
Pertimbangan moral, menurut Marx, bukanlah dasar bagi sosialisme. Penilaian
bahwa kapitalisme itu jahat dan sosialisme itu baik tidak berlaku mutlak,
melainkan jika syarat-syarat objektif pengahpusan hak milik pribadi atas
sesuatu itu terpenuhi. Hal ini berarti klaim Marx terhadap sosialisme-nya yang
bersifat ilmiah bisa diterima, karena berdasarkan pengetahuan hukum-hukum
objektif perkembangan masyarakat – yang kemudian tersohor dengan istilah
‘Pandangan Materialis Sejarah’
Sosialisme yang akan datang menggantikan
kapitalisme adalah buah dari pada perkembangan masyarakat dalam sejarah dibawah
pengaruh hokum dialektik. Menurut Marx, menggunakan jalan ilmiah, sosialisme
tidak dapat ditentukan sekarang bentuk dan rupa masa yang akan datang – artinya
susunan baru pada masyarakat tidak dibuat, melainkan dilahirkan. Melihat
realita sejarah, menurut penulis, sosialisme yang berorientasi pada
terbentuknya ‘masyarakat tidak berkelas’ adalah bagian dari hegemoni dan upayah
manusia mencapai sebuah kesetaraan. Meskipun realita yang berkembang kini tidak
berjalan horizontal, melainkan vertikal. Dengan demikian, apakah tujuan
sosialisme yang diutarakan oleh Marx sudah tercapai ?
Konsep sosialisme Marx memang lebih
kompleks daripada filsuf lainnya. Tujuan sosialisme dalam pandangn Marx
bukanlah membuat suatu konstruksi masyarakat dalam suatu sistem yang selesai
bentuknya, melainkan menyelidiki suatu perkembangan sejarah yang melahirkan dua
kelas yang bertentangan, dan kemudian mempelajari betapa berpengaruhnya
faktor-faktor kelas tersebut terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang akan
melenyapkan pertentangan tersebut.
Pendapat Marx diatas dikuatkan oleh
Engels dalam bukunya “Perkembangan Sosialisme dari Utopia sampai ke Ilmu.” Ajarannya
adalah bahwa komunisme merupakan ajaran tentang syarat-syarat yang mesti
dipenuhi untuk mencapai kemerdekaan kaum buruh. Dalam menyusun teori mengenai
perkembangan masyarakat, Marx sangat tertarik oleh gagasan filsuf Jerman George
Hegel mengenai dialektika karena di dalamnya terdapat unsur kemajuan melalui
konflik dan pertentangan. Dan unsur inillah yang dia perlukan menyusun teorinya
mengenai perkembangan masyarakat melalui revolusi. Untuk melandasi teori
sosial, maka dia merumuskan terlebih dahulu teori mengenai materialisme
dialektik (dialectical materialism). Kemudian konsep-konsep itu dipakainya
untuk menganalisa sejarah perkembangan masyarakat yang dinamakannya
materialisme historis (historical materialism). Dan karena materi oleh Marx
diartikan sebagai keadaan ekonomi, maka teori marx juga sering disebut ’analisa
ekonomis terhadap sejarah’. Dalam menjelaskan teorinya Marx menekankan bahwa
sejarah (yang dimaksud hanyalah sejarah Barat) menunjukkan bahwa masyarakat
zaman lampau telah berkembang menurut hukum-hukum dialektis yaitu maju melalui
pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi intern melalui suatu
gerak spiral ke atas sampai menjadi masyarakat dimana Marx berada. Atas dasar
analisa terakhir ia sampai pada kesimpulan bahwa menurut hukum ilmiah dunia
kapitalis akan mengalami revolusi -yang disebutnya revolusi proletariat- yang
akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat kapitalis tersebut, dan akan
meratakan jalan untuk timbulnya masyarakat komunis.
Pemikiran-pemikiran
politik Tan Malaka banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan
pendidikannya serta kehidupan sosial di sekitarnya yang saat itu masih
dibelenggu, berikut pembahasan tentang biografi singkat Tan Malaka
Kehidupan Masa Kecil
Tan
Malaka atau lengkapnya Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka, adalah nama yang asing
di telinga karena jarang sekali nama tersebut di dengar bisa dikatakan namanya
unik. Beliau lahir di penghujung abad ke-19. tepatnya tanggal 2 Juni 1897 di
sebuah desa kecil bernama Pandan Gadang, Suliki Sumatra Barat.[5]
Ayahnya seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk pemerintah daerah
setempat dan mendapatkan gaji beberapa puluh gulden setiap bulannya.
Latar belakang lingkungan
keluarganya menganut agama secara puritan, taat pada perintah Allah serta
senantiasa menjalankan ajaran Nabi Muhamad SAW. Sejak kecil Tan Malaka dididik
oleh tuntunan Islam secara ketat, suatu hal lazim dalam tradisi masyarakat
Minangkabau yang amat religius. Sejak kecil Tan Malaka tumbuh bersama
bocah-bocah sebaya di kampungnya dan telah menampakkan bakatnya sebagai seorang
anak yang cerdas, periang dan berkemauan keras. Saat saat menginjak usia remaja
Tan Malaka telah mampu berbahasa Arab dan menjadi guru muda di surau
kampungnya. Pendidikan agama Islam ini begitu membekas dalam diri Tan Malaka
sehingga kemudian sedikit banyaknya memberikan warna dalam corak pemikiran Tan
Malaka.
Setelah selesai di sekolah rendah ia
menjadi satu-satunya anak muda di kampungnya yang mendapat kesempatan
bersekolah ke Kweekschool di Bukit Tinggi (1908-1913). Kweekschol dikenal
sebagai sekolah raja karena tak tergapai oleh kaum inlanders merupakan
satu-satunya sekolah guru untuk anak-anak Indonesia di Sumatera Barat.[6]
la dikirim bersekolah beradasarkan keputusan rapat tetua Nagari Pandan Gadang,
Suliki. Dalam keputusan rapat dinyatakan jelas pada suatu kepercayaan
tradisional bahwa Tan Malaka pada akhirnya akan kembali untuk memperkaya
alamnya.[7]
Tan Malaka Menuntut Ilmu di Belanda
Kecerdasan dan keinginannya yang
keras serta perangainya yang sopan mendapatkan perhatian serius dari seorang
guru Belanda bemama Horensma. Horensma menggangap Tan Malaka sebagai anak
angkatnya sendiri. Atas anjuran dari Horensma pula ia dipromosikan untuk
meneruskan sekolah lanjutan di negeri Belanda. Atas biaya dan jaminan keuangan
yang diupayakan oleh "Engkufonds" yaitu semacam lembaga keuangan para
Engku di Suliki dan juga bantuan dari Horensma yang menyediakan diri sebagai
penjamin bagi Tan Malaka untuk melakukan perantauan yang nantinya berpengaruh
besar pada kehidupannya kemudian. Bulan Oktober 1913 Tan Malaka meninggalkan
tanah kelahiranya.[8]
Perantauan bagi seorang individu
menurut adat Minangkabau merupakan suatu cara untuk memenuhi panggilan
penyerahan diri pada kebebasan dunia. Dengan meninggalkan nagarinya, seorang
individu dapat mengenal kedudukannya sendiri di dalam alam dan karena
pengalaman perantauannya akan dapat berkembang sampai menjadi anggota dewasa di
dalam alam. Tinggal di perantauan merupakan suatu pengorbanan dan menjadi tugas
bagi sang perantau untuk memberikan segala pengetahuan yang diperolehnya
dirantau kepada nagarinya.[9] Gagasan- gagasan progresif muncul
sebagai kritik atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda selanjutnya menjadi
bahasan dalam Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi Belanda.
Dampak dari kebijakan poltik etis
yang dikembangkan adalah dimulainya suatu upaya balas budi terhadap rakyat
jajahan yang dikenal dengan program Irigasi atau pengairan, Transmigrasi atau
perpindahan penduduk dan Edukasi atau pendidikan. Di bidang pendidikan mulai
dibuka sekolah-sekolah pemerintah untuk kalangan pribumi walaupun masih dalam
sifat terbatas seperti HIS. HBS. STOVIA, OSVIA, Kweekschool, Hoofdenschool merupakan
manifestasi dari politik etis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
negeri-negeri jajahan dan Tan Malaka adalah salah satu orang yang merasakannya.
Di Belanda Tan Malaka masuk Rijkskweekschool sebuah sekolah untuk mendapatkan gelar diploma guru kepala atau Hoofdakte di kota Haarlem. Tan Malaka
memulai hidup baru di negeri
orang dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kampung halaman asalnya. Dalam
otobiografi yang ditulisnya ia mengatakan bahwa kehidupan
dinegeri Belanda lebih banyak didekap derita ketimbang suka.[10] Kondisi iklim Belanda
yang jauh berbeda dengan Indonesia membuat kesehatanya merosot, bulan Juli
1915 ia terserang radang paru-paru yang cukup parah dimana penyakit tersebut dapat kambuh
setiap saat.
Sejak itu kondisi sulit terus
menerpanya dan berakibat pada
terhambatnya studi Tan Malaka sampai beberapa
tahun. Untuk memulihkan
kesehatanya
Tan Malaka terpaksa pindah ke kota kecil yang berhawa tropis dan sejuk bernama Bussum. Di kota
inilah
pula awal
perkenalan Tan Malaka dengan wacana-wacana progresif, filsafat serta
berbagai peristiwa revolusi di dunia yang saat itu sedang marak di Eropa.
Tan Malaka mulai
berkenalan
dengan soal-soal
filsafat, ia banyak
membaca karya-karya Nietzsche seorang filsuf
Jerman. Hasrat intelektualnya membuatnya mulai berkenalan dengan karya-karya Marxisme. la pun mempelajari Het Kapital Karangan Karl
Marx dalam bahasa Belanda, Marxtische Ekonomie karya Karl Kautsky, surat kabar radikal Hel
Volk milik
Partai Sosial Demokrat Belanda serta
brusur-brosur
yang menceritakan perjuangan
dan kemenangan
Revolusi Bolsyhevik Oktober 1917.[11]
Pengalaman Revolusi
Bolsyevik di Rusia pasca Perang Dunia I sangat berkesan bagi diri Tan Malaka.
Revolusi
sosial menumbangkan
kediktatoran Tsar
yang dilakukan
oleh kaum buruh dan sekaligus membuktikan kebenaran teori Karl Marx tentang hancurnya dominasi kapitalisme oleh suatu revolusi sosial.
Tan Malaka kemudian
mengganggap
dirinya sebagai seorang
Bolsyevik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. Marxisme baginya, bukan dogma melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, sikap seorang Marxis perlu
bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam
kondisi atau faktor sosial dari
suatu
masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari
situ akan
diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia yang tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di
Rusia, yang sama hanya cara atau metode berpikirnya.
Pemikiran Politik dan Konsep Kemerdekaan
Berangkat dari
latar
historis bangsa indonesia
pada saat
itu belum memiliki sejarah bangsa nya sendiri selain
perbudakan, Tan Malaka berniat untuk mengadakan revolusi sosial untuk megusir penjajahan keluar dan membersihkan diri ke dalam agar
bangsa Indonesia memiliki
sejarahnya bangsanya
sendiri. Untuk mewujudkan cita- citanya
tersebut
Tan memiliki
segudang konsep
pemikiran
atau gagasan
yang spektakuler. Pada bab ini, penulis akan mencoba membahas beberapa dari pemikiran Tan Malaka yang mengupayakan kemerdekaan Indonesia 100%.
Aktifitas dan kiprah seorang Tan
Malaka mulai mendapat perhatian
dari
pemerintah
kolonial yang kemudian menggangap Tan Malaka berpotensi besar untuk
membangkitkan semangat rakyat melawan penjajahan. Tan Malaka akhirnya diasingkan, dari Indonesia Tan Malaka berlayar langsung ke Belanda. Sesampainya di sana ia segera menjadi
orang yang diinginkan
oleh Partai Komunis Belanda pada pemilihan perlemen mendatang. Tan Malaka menjadi orang Indonesia pertama yang dicalonkan pada pemilihan anggota Parlemen Belanda. Keberhasilannya mengejutkan
banyak
orang.[12]
Sebagai anggota
delegasi Hindia Belanda
Tan Malaka mendapat kesempatan berbicara. Dalam pidatonya ia menyerukan
agar gerakan komunis bekerjasama dengan
gerakan
Pan-Islam. Kongres memintanya juga menulis buku untuk Komintern mengeni
sikap untuk Indonesia. Tan lalu ditempatkan pada komisi yang menyiapkan resolusi-
resolusi mengenai masalah-masalah Timur. Namun Bagi kebanyakan anggota Kongres,
ia jelas
secara sempit terpaku
pada situasi di
Indonesia dan tak memperhitungkan masalah-masalah revolusi secara global; sehingga pandangan dan usul-usul yang
dikemukakannya ditolak oleh keputusan mayoritas delegasi. Selain itu tampaknya Tan Malaka juga
menciptakan
musuh-musuh
pada
Kongres itu
akibat
kecenderungannya
untuk menggurui
setiap orang. la mengakui hal ini
dalam memoarnya dan menyatakan bahwa
ketika mengajukan
usul
untuk mengajar di Rusia, orang-orang
secara sarkas
menjawab,"kami tak memiliki kursi untukmu!". [13]
Sewaktu di pembuangan
dan
menjadi salah seorang agen Komintern
di Canton, dia menerbitkan buku (1924) "Menuju Republik Indonesia". Dalam
karyanya ini
ia
mengemukakan program-program untuk mencapai atau
menuju berdirinya Republik Indonesia
yang menyangkut
berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial,
pendidikan bahkan militer. Konsepsi Menuju Republik Indonesia
merupakan pelopor
konsepsi kemerdekaan
yang dicetuskan oleh pemikir sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia saat itu. Tan Malaka lebih dulu secara visioner menjelaskan
tentang konsepsi meuju kemerdekaan Indonesia. Seperti yang dikatakan Tan Malaka dalam penjelasan tentang program perjuangan dalam bukunya :
“…Belum
ada sesuatu
partai politik
di Indonesia yang
begitu jauh telah mengumumkan programnya. Baik partai dari intelektuil-intelektuil seperti Budi Utomo dan Nasional Indische Partij maupun massa Partai Sarekat Islam dapat
menyusun dengan pendek tuntutan-tuntutan ekonomi dan poltiknya. Mereka berpegang teguh pada perkataan merdeka yang sama. Mereka tak pernah mengupas keadaan ekonomi dan
sosial masyarakat Indonesia.
Karenanya mereka juga tak pemah sampai pada programnya, sebab suatu program bukannya hanya satu "daftar keinginan", akan tetapi harus didasarkan atas susunan sosial ekonomi sesuatu negeri.”[14]
Tan
Malaka menjelaskan arti penting sebuah program sehingga tidak hanya saja terjebak pada jargon ataupun slogan kemerdekaan semata, ini dijelaskanya :
“….Pergerakan
revolusioner di Indonesia
selalu masih ada. Jika pergerakan
ini hendak mendapatkan hasil, maka
sekarang telah pada waktunya, kita menyusun program nasional
dan mengumumkan program ini kepada seluruh rakyat.Kita
kira, program kita ini selaras dengan keadaan ekonomi sosial
Indonesia,
kita dapat dengan
rasa berat
selangkah lebih
jauh dalam
tuntutan kita, tanpa
menyusahkan kita sendiri bagian lain kita tak akan dan tak perlu mundur selangkah pun. Program ini agaknya sesuai dengan kemungkinan, baik internasional
maupun nasional. Jika besok atau lusa kapitalisme dunia jatuh sehingga rakyat Indonesia bisa mendapatkan
segala bantuan lahir dan batin dengan langsung
dari proletariat barat, maka program
ini dapat digunakah sebagai dasar yang kuat untuk membentuk bangunan komunistis. Jika kita besok atau lusa terpaksa melakukan perjuangan nasional sendiri, maka program ini cukup mempunyai unsur-
unsur untuk membangkitkan dan memusatkan tenaga-tenaga seluruh rakyat Indonesia yang sedang tidur, tenaga-tenaga yang
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional. Jika kita selanjutnya mendapatkan kemerdekaan itu, kita dapat juga mempertahankannya dengan lebih baik. Dengan tenaga-tenaga yang terdapat di Indonesia kita - nanti sesudah mendapatkan kemerdekaan — dapat melangkah ke arah komunisme internasional lebih cermat dan dengan memperjuangkan rakyat dan dilaksanakan dengan jujur dapat menciptakan satu setia-kawan, satu
setia kawan yang
akan
mampu menghancurkan
imperialisme,
bukan hanya
demikian,
akan tetapi
juga menjauhkannya
buat selama-lamanya
dan
akhimya
merintis
jalan untuk
komunisme intemasional.”[15]
Dalam kata pengantar buku Menuju Republik Indonesia , Tan Malaka menuliskan:
“Dengan “Le etat cestmoi” yang berarti “negara adalah saya”
Raja Matahari Perancis dengan penuh kesadaran atas kekuasaanya menyatakan apakah negara itu. Sekarang Partai Komunis Indonesia dapat
berkata,
“Gerakan Revolusioner adalah
saya”.
Kesadaran inilah, sebagai pemimpin dari seluruh rakyat revolusioner Indonesia, yang mendorong
kita mengemukakan
program dan
taktik kita kepada segolongan rakyat....PKI dan sarekat Rakyat, penjelmaan kemauan rakyat revolusioner dalam perjuanganya.....”[16]
Program-program ini sebenarnya dituliskan oleh Tan Malaka untuk PKI sebagai
pegangan partainya
(PKI) yang
diinginkannya
untuk mengambil atau memainkan
peranan pimpinan revolusioner ke arah yang dicita-citakannya.
Isi buku Menuju Republik Indonesia secara keseluruhan lebih
kepada taktik dan strategi pergerakan revolusioner untuk menggulingkan kolonialisme. Tetapi dalam buku ini ditekankan pula
bahwa sifat PKI dan komunisme yang menjadi penggerak perjuangan bukanlah sifat yang eksklusif, anti agama dan anti nasional, melainkan justru bersifat nasionalis, mendukung
perjuangan seluruh kelas dan kelompok di Indonesia, bahkan dalam buku ini Tan Malaka menegaskan bahwa kalaupun
kaum proletar (yang secara sempit ditafsirkan
sebagai PKI)
menang dan berkuasa ia tidak boleh menerapkan demokrasi rakyat komunis ala Soviet,
melainkan harus
penerapkan demokrasi yang luas meliputi segala kelompok, suku, ras,
agama dan sebagainya yang oleh
Tan
Malaka
diistilahkan sebagai Majelis Permusyawaratan Nasional
Indonesia Tan Malaka berpendapat bahwa konsep "Republik
Indonesia" merupakan sebuah konsep yang cocok bagi Indonesia. Tan Malaka juga
menuliskan sebuah kalimat
bernada agitasi dalam
membangkitkan semangat dan
optimisme
dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Ia
berpendapat
bahwa kesulitan
ekonomi yang diderita rakyat
Indonesia selama mengalami penjajahan
adalah bibit semangat untuk menumbuhkan massa yang
revolusioner.
Buku “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan
kepada para pejuang
intelektual
di
Indonesia dan di negeri Belanda. Kelompok-kelompok diskusi yang ada di Jakarta dan Bandung, segera membahas brosur itu. Klub
Debat Bandung dipimpin oleh Bung Kamo
dan Ir. Anwar Bung
Karno
selalu membolak-balik, mencorat-coret dan membawa kedua buku itu kenang Sayuti Melik yang saat itu nyantri pada Bung Karno di Bandung. Kemudian hari di dalam tulisan Indonesia Menggugat (pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Bandung), isi buku dikutip oleh Bung Karno. Di Jakarta, para pelajar di atas antara lain, Sugondo Djojopuspito, Karim Pringgodigdo, Maruto Nitimihardjo,
Amir
Syarifuddin Harahap, Sumitro Reksodiputro, Abu Hanifah, dan
Sumanang
selalu mendiskusikan masalah di
tanah air, mulai dari
masalah
pendidikan, kesehatan masyarakat, cara membela rakyat dari tuan tanah maupun rentenir sampai kejadian di luar negeri; Revolusi Bolshevik maupun Revolusi Perancis. Buku Menuju Republik Indonesia
menambah keyakinan para pemuda terpelajar saat itu bahwa kemerdekaan bukan sesuatu hal yang tidak mungkin.Terlebih lagi kalimat-kalimat agitasi Tan Malaka terhadap kaum intelektual dalam buku tersebut :
“Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk
kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?
Tak
terlihatlah
olehmu, bahwa
mereka pelan-pelan
melangkah maju dalam perjuangan yang berat?Apakah kamu akan menunggu sekian lama, sampai nanti
kemerdekaan
direbut
oleh mereka
sendiri
sedang kamu
pasti akan ikut
menikmati
buah kemenangan mereka yang nyaman?....Karenanya bergabunglah kamu dengan barisan kita!.”[17]
Pemberontakan PKI 1926, menjadi satu peristiwa yang sangat disesalkan oleh Tan Malaka,
dimana apa
yang telah dituliskanya dalam Menuju
Republik
Indonesia
tentang masalah strategi
dan taktik, kesiapan sebuah partai revolusioner dan pentingnya meraih dukungan massa rakyat
luas dalam memimpin pergerakan revolusioner justru
diabaikan oleh PKI.
Selanjutnya
Tan Malaka
melukiskan
kehidupan rantau dan pelariannya yang
kedua sebagai masa isolasi politik total sesungguhnya. Bahkan sampai tahun 1926 ketika ia
masih
aktif,
ia tak
menyebutkan kontak
yang berarti
dengan kaum pergerakan
Indonesia kecuali beberapa kali pertemuan dengan dua kawan separtai, Alimin dan Dawud, serta beberapa surat-menyurat dengan kawan lain seperti Subakat. Tahun 1928 dia diangkat
kembali
oleh Komintern sebagai
salah
seorang
agennya
untuk Asia
Tenggara. Rupanya pada waktu itu, Moskow belum mengetahui tentang kegiatan
Tan
Malaka dengan PARI-nya. Sewaktu ia memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), dalam perjalannnya menuju pos barunya di Birma sebagai agen Komintern, Tan Malaka ditangkap Inggris dan
ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas, ia kembali ke Cina (Amoy), di mana ia menghidupi dirinya dengan mendirikan sekolah bahasa asing
yang cukup berhasil sampai
tahun
1937, ketika dia terpaksa lari
lagi sewaktu Jepang menyerang
kota itu.
Ia menyingkir
ke Singapura, menyamar
sebagai guru
Cina di
sekolah-sekolah
di
sana sampai 1942. Sewaktu ia sampai di
Indonesia kembali, Jepang
sudah
mendarat dan
berkuasa. Semenjak meninggalkan
Bangkok
(1927), kecuali
hubungan surat-menyurat yang terbatas dan
kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang
mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi juga setia pada cita-cita revolusinya.
Sementara itu, Komintern
dan orang-orang komunis Indonesia yang mengetahui
tentang keberadaan PARI dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan
Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh
PKI Muso,
yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Belanda. Musso segera menulis pamflet yang menentang Tan Malaka dengan
PARI-nya. Tan Malaka yang
dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh
utama mereka (PKI).
Menariknya Tan Malaka sendiri tak sering menyebut PARI, partai
politik yang
didirikanya tahun 1927,
setelah meletus pemberontakan PKI tahun
1926-1927, kecuali
mencatat
bahwa ia menerima
berita penangkapan
para pemimpin partai lainnya dan tentang penangkapan para pemimpin partai lainnya dan tentang hancurnya komunikasi antar partai.
Dari buku itulah terdapat banyak
konsep-konsep kemerdekaan Tan Malaka dengan menggerakkan massa dengan jalan
revolusi sehingga masyarakat Indonesia tersentuh untuk ikut berjuang dalam
pergerakan menuju Indonesia merdeka yang terbebas dari segalah bentuk belenggu
penjajahan.
Penutup
Dari
hasil pembahasan yang telah diuraikan dia atas, pokok-pokok pikiran
yang dapat disimpulkan sebagai jawaban
atas rumusan masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
Kesimpulan
1.
Tan
Malaka berlatar belakang keluarga yang sangat taat beribadah dan
menjunjung tinggi nilai dan norma budaya Sumatera utara. Beliau beruntung bisa
melanjutkan sekolahnya di Belanda dan disanalah dia belajar tentang konsep
sosialisme dan komunis yang berkiblat ke Soviet dan Marxis.
2.
Pemikirannya tentang konsep membawa dampak nyata pada perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Pemikiran yang diwujudkan dalam
tindakan
nyata dan ulis sebuah buku yang berjudul
"Menuju Republik Indonesia ". Tan Malaka berupaya meletakkan roh nasionalisme sebagai
aspek pokok dengan Mendorong persatuan antara Islam dan
Komunisme.
Tan Malaka juga tidak sepakat terhadap pemberontakan PKI tahun 1926 karena menggangap situasi revolusioner di rakyat belum matang. Hal tersebut mencerminkan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis sejati yang mencintai bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar