Jumat, 03 Januari 2014

Islam dan Teologi Pembebasan

Asghar Ali Engineer: Islam sebagai Teologi Pembebasan


Kondisi tak menggembirakan yang mendera sementara umat, telah banyak membangkitkan motivasi para pemikir untuk membaca kembali, mengoreksi ulang, serta mencari aspek-aspek yang memungkinkan terjadinya penyelesaian dari tradisinya sendri. Contoh paling gamblang bisa kita cermati dari semangat pembaruan dalam Islam sebagai bentuk sikap ‘reaktif’ dari keterpurukan oleh kekangan luar berbarengan dengan semangat tradisi yang kurang menunjang adanya pembangunan. Kekalahan di luar sejarah menyebabkan koreksi diri atas keadaan di dalam tradisi. Dalam konteks ini kita mengenal al-Yasar al-Islmâmî milik Hasan Hanafi, Revelation and Revolution (Ziaul Haque), Qur’an, Liberation and Pluralism (Farid Esack), atau, yang akan diulas dalam makalah ini, Islam and Liberation theology dengan seorang penggerak bernama Ashghar Ali Engineer.
            Tulisan ini akan mengurai gagasan Asghar Ali Engineer mengenai Islam, teologi pembebasan, dan etos revolusionerisme. Dengan tidak berpretensi mengklaim sebagai gambaran utuh mengenai keseluruhan gagasan Engineer, makalah ini dimulai dengan latar sejarah ide itu muncul, dialog antara Islam dan Marxisme, hingga sekilas konsep seputar Islam sebagai agama pembebasan.
Latar Sosio-Politis
            Seperti kelaziman dalam menelaah seorang tokoh tertentu, pelacakan dan pemahaman atas kondisi sosial dan politik seorang pemikir merupakan keharusan. Hal ini disebabkan, konstruksi pemikiran seseorang tidak mungkin lahir dari sebuah kekosongan. Dorongan batin maupun pikiran yang disemai dari kenyataan historis melalui proses dialektika, interaksi, dan pergulatan dalam konteks spesifik seringkali menjadi faktor dominan dalam melahirkan ide-ide segar seorang pemikir atau ideolog.
            Engineer seolah hadir dalam atmosfer intelektualisme yang cukup progresif, reformatif, dan kritis. Pria kelahiran 10 Maret 1940 asal India ini menjalani karir kesehariannya secara intensif dan produktif, beriringan dengan arus pemikiran para cendikia muslim sebelum dan semasanya seperti, Syah Wali Allah, Sir Sayyid, Amir Ali, Parwez, Abul Kalam Azad, Iqbal, dan Fazlurrahman.[1] Atmosfer ini jelas menguntungkan bagi Engineer untuk bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan ide-ide liberal, yang kelak ‘mencetak’ dirinya sebagai tokoh kritis dengan semangat revolusionerisme.
            Mencermati tahun kelahirannya, dapat dipastikan kondisi sosio-politik di India saat itu sedang diwarnai ketegangan antara Hindu dan Muslim dalam perebutan otoritas politik. Setidaknya ada dua hal mendasar yang memicu munculnya ketegangan tersebut. Pertama, munculnya kesadaran komunalisme pada masyarakat Hindu dan Muslim sebagai akibat keberhasilan kebijakan politik fragmentasi—kebijakan politik yang memberlakukan sistem pemilihan yang membagi India menjadi komunitas Muslim dan Hindu—yang dijalankan Inggris. Kedua, adanya sikap saling curiga dan kesalahpahaman antara kedua komunitas itu. Para pemuka muslim mencemaskan bahwa pihak Hindu sebagai kekuatan mayoritas akan mengeksploitasi dan merendahkan pihak Muslim. Sebaliknya, para pemuka Hindu menduga bahwa pihak Muslim tengah mencari kesempatan untuk meneguhkan kembali supremasi politik mereka di India. Perseteruan ini kemudian mendorong dan memunculkan berdirinya negara Pakistan yang mayoritas Islam pada 14 Agustus 1947 dan negara India yang mayoritas Hindu pada 15 Agustus 1947.[2]
            Pembelahan secara geo-politis itu ternyata memarginalkan kaum minoritas yang ada di negara masing-masing. Minoritas Muslim dan Shikhisme di India mendapat perlakuan tak adil secara ekonomi, pendidikan, politik, maupun sosial. Kalau di kalangan Muslim situasi ini memunculkan konservatifisme terhadap tradisi keagamaan, penganut Shikhisme justru menggerakkan sparatisme untuk mendirikan negara sendiri, Republik Khalistan.[3] Keperihatinan Engineer atas kondisi tersebut terang saja memengaruhi bangunan watak keislamannya, sehingga mencuatlah isu ‘Teologi Pembebasan’. Ditambah perannya sebagai pemimpin salah satu kelompok Syi’ah Isma’iliyyah, yaitu Daudi Bohras, yang berpusat di Bombay, Engineer lebih vokal dan merasa otoritatif menyuarakan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangaan.
Membebaskan Teologi, Teologi Pembebasan:
“Perkawinan” Islam dan Marxisme
            Sejak semula Engineer memberikan satu usulan kuat untuk mereformasi teologi konvensional guna menuju teologi ‘baru’ yang lebih relevan. Menurutnya, teologi yang selama ini dianut oleh kebanyak umat Islam mengandung kepasifan dalam menaggapi realitas kehidupan yang tak adil. Apa yang menjadi semangat hakiki agama justru kandas lantaran kecenderungan pembahasan dan orientasi teologi yang terlepas dari kondisi timpang di hadapannya. Secara eksplisit, Engineer menolak teologi yang terlalu beraroma metafisik, abastrak, dan tak menyentuh problema kehidupan masyarakat. Karekteristik teologi semacam ini hanya akan menambah kuat status quo, atau bahkan mendukung dan secara bersama-sama melakukan penindasan rakyat. Sebagaimana tuturnya:
Umumya teologi pada masa sekarang ini dikuasia oleh orang-orang yang sangat mendukung status quo. Oleh karena itu, teologi cenderung sangat ritualis, dogmatis dan bersifat metafisis, yang membingungkan. Dengan wajah yang seperti ini, agama sama denga misitik dan menghipnotis masyarakat. Dan teologi pembebasan harus membersihkan elemen-elemen ini sampai ke akar-akarnya.[4]
            Fokus utama Engineer memang pada ketidaksetujuannya pada ideologi atau cara pikir apapun yang berpihak pada kelanggengan status quo. Kemapanan politik dan ekonomi membuat kalangan elit tertentu semena-mena, dengan mengabaikan penderitaan masyarakat bawah yang semestinya membutuhkan ayoman, perlakuan adil serta kesejahteraan. Guna menghindari keberpihakan Islam pada status quo, perlu adanya pembebasan atas ideologinya sendiri dari apa yang menjelmakannya sebagai “the opium of the people”, sebelum mewujud sebagai ideologi pembebasan.
            Pengembangan teologi pembebasan, dengan demikian, adalah bentuk upaya untuk ‘mengawinkan’ Marxisme dengan agama sebagai perpaduan ide dalam wujud gerakan revolusioner bernafaskan teks suci. Diakui atau tidak, agama sesungguhnya punya dua wajah: lenguhan kaum tertindas atau menjadi sebuah ‘pedang revolusi’ yang siap dihunus untuk melawan status quo yang zalim. Di mata Engineer, Marx tak sepenuhnya salah tatkala mencaci agama sebagai candu rakyat. Agama memang dapat menjadi candu jika menjadi lenguhan kaum yang tertindas (sigh of the oppresed), hati dari manusia robot (heart of heartless word), dan jiwa dari keadaan yang kosong (spirit of a spiritless situation);[5] sebagaimana ia juga amat bermanfaat manakala kekuatannya sanggup memperjuangkan struktur berkeadilan. Agama akan menjadi candu atau menjadi kekuatan revolusioner tergantung pada, pertama, kondisi sosio-politik yang nyata. Dan kedua, tergantung pada apa yang akan bersekutu dengan agama, apakah kaum revolusioner atau status quo.
            Engineer tidak sepakat dengan kaum revolusioner yang tidak melihat agama sebagai spirit pembebasan.[6] Sensibilitas budaya dan sentimen keagamaan sangat diperlukan, agar pendekatan sebuah gerakan tidak elitis. Umumnya, demi menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf hidup ekonomi, bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Akibatnya, Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan fudamentalisme, konservatisme dan kelompok-kelompok reaksioner. Sebab, yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual sama mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi. Bagi Engineer, Marxisme semacam ini justru menympang dari idiom Marxis asli yang berakar pada etos budaya setempat.
           Komitmen Engineer terhadap Idiom anti-kemapanan terlihat dari pernyataannya tentang ketidaksetujuannya atas agenda revolusi yang mengarah pada kemapanan. Sikap ini muncul karena agama, meski semula adalah kekuatan revoluioner, tapi memungkinkannya untuk menciptakan status quo baru bagi dirinya. Dengan bahasa lain, keberhasilannya meruntuhkan otoritarianisme penindas, dapat juga menempatkan agama sebagai pihak otoriter jilid baru. Dan ini yang terjadi di kalangan negara pasca-revolusi yang digerakkan oleh semagat ideologis keagamaan.
Islam Pembebasan
            Bahwa Islam adalah agama pembebasan, bagi Engineer, merupakan keniscayaan historis semenjak ia dilahirkan di semenanjung Arab. Deskripsinya:
Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang mengancam struktur penindas baik di dalam maupun di luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), keadilan sosial (social justice).[7]
            Keyakinan ini selaras dengan kesadarannya bahwa Islam sangat menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang ditegaskan di dalam ayat al-Qur’an (49: 13). Ayat ini jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial, “Berbuat adillah, karena itu lebih dekat dengan taqwa.”[8] Kesatuan manusia juga merupakan kesinambungan umat Islam untuk setia kepada konsep pokoknya, tauhid. Yakni tauhid yang dilihat dari perspektif sosial, dalam kerangka membangun struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam perbudakan. Kalau teologi konvensional kerap memaknai tauhid sebagai keesaan Tuhan, maka teologi pembebasan memahaminya tak sebatas keesaan Tuhan, tapi juga sebagai unity of man kind yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (classless society).[9]
            Selain konsep kesatuan manusia, Islam juga sangat menitikberatkan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Keadilan akan tercipta melalui pembebasan golongan masyarakat lemah dan marginal dari penderitaan serta memberi kesempatan mereka untuk memimpin. Teks suci telah berbicara banyak soal ini, baik mengenai langkah praksis yang harus diambil demi menghancurkan atruktur ekspolitatif, anjuran keadilan distributif dalam hal ekonomi, dan lain-lain. Termasuk pula dalam hal ini cerita-cerita inspiratif para nabi terdahulu saat melawan ketidak adilan.
            Bentuk revolusionerisme Engineer terlihat sangat frontal, khususnya ketika ia dalam salah satu statemennya melegalkan praktik kekerasan, meski yang demikian dalam konteks perlawanan atas kezaliman penguasa. Ia bahkan menyitir surat al-Nisa’ ayat 75, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, lelaki, perempuan, dan anak-anak yang berkata: ‘Tuhan kami, keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berikan kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu.” Menurut Engineer, ayat ini mengungkapkan sebuah teori yang disebut dengan ‘kekerasan yang membebaskan’ (liberative violence). Para penindas dan eksploitator menganiaya golongan lemah dan dengan seenaknya menggunakan jalan kekerasan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Tidak mungkin kita membebaskan pengaiayaan ini tanpa melakukan perlawanan. Bukankah Tuhan telah berfirman bahwa Dia tidak menyukai kata-kata kasar kecuali oleh orang yang teraniaya (lâ yuhibb Allâh al-jahra min al-qawl illâ man zhulim).[10]

Kesimpulan dan Kritik
            Dari semangatnya untuk mengarahkan Islam pada ranah praksis perjuangan kemanusiaan, terlihat setidaknya tiga asumsi yang ia pakai. Pertama, keyakinan bahwa kehidupan akan berakhir dengan terminal ideal yang menyejahterakan (tautologis). Baginya, apa yang dijelaskan dalam firman Allah sudah cukup meneguhkan premis ini. Kedua, konsep takdir yang selalu meletakkan manusia sebagai pribadi yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Elemen ini baginya penting karena tanpanya sebuah gerakkan tidak akan berjalan secara revolusioner. Menolak kebebasan kehendak (free will) sama artinya melanggengkan keterpurukan masyarakat dari sistem penindas. Ketiga, kecenderungan Engineer menganggap kekuasaan sebagai pihak yang senantiasa represif, dan karenanya mengekang kebebasan, menciptakan kondisi non-egaliter, dan rawan kesewenang-wenangan.
            Motivasi Engineer mungkin sangat mulia, karena hendak mengentas penderitaan masyarakat kepada keadaan yang lebih wajar sebagai manusia. Kendatipun, untuk mewujudkan itu semua ia mesti bersusah payah merumuskan hubungan antara agama, ideologi dan revolusi; sebuah relasi yang sampai saat ini belum tuntas didiskusikan. Sebagian gerakan memutuskan untuk menolak ideologi Marxisme, dan memilih ideologi Islam sendiri sebagaimana terjadi di Iran dan di India era al-Maududi. Disadari, karena keduanya berangkat dari watak ideologis agama, yakni keinginan akan ‘kehidupan islami’ yang berangkat dari ‘nilai-nilai Islam’ saja, situasi kemudian berujung pada otoritarianisme (rigiditas) agama dalam mengatur masyarakat yang belum tentu merasa adil dan bebas dengan segenap aturan tersebut. Sebagian lagi, aksi revolusioner mengambil bentuk ‘modifikasi’ Islam dan ideologi Marxis yang diramu sedemikian rupa. Kerap kali karakter gerakan model ini cenderung memposisikan agama sebagai legitimasi belaka atas ideologi yang sedang bersamanya. Asghar Ali Engineer, dari statemen-statemennya, lebih sesuai dengan dikategorikan pada kelompok terakhir ini.
            Hemat penulis, agama akan memberikan sumbangan mendasar, jika sebuah gerakan pembangunan masyarakat ditumbuhkan melalui agama itu sendiri, bukan idiologi impor yang kian membuatnya teralienasi dari kultur dan logikanya sendiri. Karena di samping agama punya cara pikir atau logika penyelesaian masalah yang khas, se-kiri apapun sebuah agama ia akan selalu memiliki ke-kanan-annya (dikendalikan oleh ‘keharusan-keharusan’). Setelah memompa gerakan berlandas dirinya sendiri, tugas selanjutnya adalah meminimalisir watak ideologisnya, untuk kemudian meleburkan nilai-nilai dasar Islam ke dalam sebuah ‘perjuangan umum’ kemanusiaan. Ia lebih bersifat moral imperative ketimbang (islamic) ideological imperative.
Wa-LLâh a‘lam bi al-shawâb...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar