Asghar Ali Engineer: Islam sebagai Teologi Pembebasan
Kondisi tak menggembirakan yang mendera sementara umat, telah
banyak membangkitkan motivasi para pemikir untuk membaca kembali, mengoreksi
ulang, serta mencari aspek-aspek yang memungkinkan terjadinya penyelesaian dari
tradisinya sendri. Contoh paling gamblang bisa kita cermati dari semangat
pembaruan dalam Islam sebagai bentuk sikap ‘reaktif’ dari keterpurukan oleh
kekangan luar berbarengan dengan semangat tradisi yang kurang menunjang adanya
pembangunan. Kekalahan di luar sejarah menyebabkan koreksi diri atas keadaan di
dalam tradisi. Dalam konteks ini kita mengenal al-Yasar al-Islmâmî milik Hasan Hanafi, Revelation and Revolution (Ziaul Haque), Qur’an, Liberation and Pluralism (Farid Esack), atau, yang akan
diulas dalam makalah ini, Islam and
Liberation theology dengan seorang penggerak bernama Ashghar Ali Engineer.
Tulisan ini akan mengurai gagasan Asghar Ali Engineer
mengenai Islam, teologi pembebasan, dan etos revolusionerisme. Dengan tidak
berpretensi mengklaim sebagai gambaran utuh mengenai keseluruhan gagasan
Engineer, makalah ini dimulai dengan latar sejarah ide itu muncul, dialog
antara Islam dan Marxisme, hingga sekilas konsep seputar Islam sebagai agama
pembebasan.
Latar Sosio-Politis
Seperti
kelaziman dalam menelaah seorang tokoh tertentu, pelacakan dan pemahaman atas
kondisi sosial dan politik seorang pemikir merupakan keharusan. Hal ini
disebabkan, konstruksi pemikiran seseorang tidak mungkin lahir dari sebuah
kekosongan. Dorongan batin maupun pikiran yang disemai dari kenyataan historis
melalui proses dialektika, interaksi, dan pergulatan dalam konteks spesifik
seringkali menjadi faktor dominan dalam melahirkan ide-ide segar seorang
pemikir atau ideolog.
Engineer
seolah hadir dalam atmosfer intelektualisme yang cukup progresif, reformatif,
dan kritis. Pria kelahiran 10 Maret 1940 asal India ini menjalani karir
kesehariannya secara intensif dan produktif, beriringan dengan arus pemikiran
para cendikia muslim sebelum dan semasanya seperti, Syah Wali Allah, Sir
Sayyid, Amir Ali, Parwez, Abul Kalam Azad, Iqbal, dan Fazlurrahman.[1] Atmosfer ini jelas
menguntungkan bagi Engineer untuk bersentuhan langsung maupun tidak langsung
dengan ide-ide liberal, yang kelak ‘mencetak’ dirinya sebagai tokoh kritis
dengan semangat revolusionerisme.
Mencermati
tahun kelahirannya, dapat dipastikan kondisi sosio-politik di
India saat itu sedang diwarnai ketegangan antara Hindu dan Muslim dalam
perebutan otoritas politik. Setidaknya ada dua hal mendasar yang memicu
munculnya ketegangan tersebut. Pertama, munculnya
kesadaran komunalisme pada masyarakat Hindu dan Muslim sebagai akibat
keberhasilan kebijakan politik fragmentasi—kebijakan politik yang memberlakukan
sistem pemilihan yang membagi India menjadi komunitas Muslim dan Hindu—yang
dijalankan Inggris. Kedua, adanya
sikap saling curiga dan kesalahpahaman antara kedua komunitas itu. Para pemuka
muslim mencemaskan bahwa pihak Hindu sebagai kekuatan mayoritas akan
mengeksploitasi dan merendahkan pihak Muslim. Sebaliknya, para pemuka Hindu
menduga bahwa pihak Muslim tengah mencari kesempatan untuk meneguhkan kembali
supremasi politik mereka di India. Perseteruan ini kemudian mendorong dan
memunculkan berdirinya negara Pakistan yang mayoritas Islam pada 14 Agustus
1947 dan negara India yang mayoritas Hindu pada 15 Agustus 1947.[2]
Pembelahan
secara geo-politis itu ternyata memarginalkan kaum minoritas yang ada di negara
masing-masing. Minoritas Muslim dan Shikhisme di India mendapat perlakuan tak
adil secara ekonomi, pendidikan, politik, maupun sosial. Kalau di kalangan
Muslim situasi ini memunculkan konservatifisme terhadap tradisi keagamaan,
penganut Shikhisme justru menggerakkan sparatisme untuk mendirikan negara
sendiri, Republik Khalistan.[3]
Keperihatinan Engineer atas kondisi tersebut terang saja memengaruhi bangunan
watak keislamannya, sehingga mencuatlah isu ‘Teologi Pembebasan’. Ditambah
perannya sebagai pemimpin salah satu kelompok Syi’ah Isma’iliyyah, yaitu Daudi
Bohras, yang berpusat di Bombay, Engineer lebih vokal dan merasa otoritatif
menyuarakan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangaan.
Membebaskan Teologi, Teologi Pembebasan:
“Perkawinan” Islam dan Marxisme
Sejak
semula Engineer memberikan satu usulan kuat untuk mereformasi teologi
konvensional guna menuju teologi ‘baru’ yang lebih relevan. Menurutnya,
teologi yang selama ini dianut oleh kebanyak umat Islam mengandung kepasifan
dalam menaggapi realitas kehidupan yang tak adil. Apa yang menjadi semangat
hakiki agama justru kandas lantaran kecenderungan pembahasan dan orientasi
teologi yang terlepas dari kondisi timpang di hadapannya. Secara eksplisit,
Engineer menolak teologi yang terlalu beraroma metafisik, abastrak, dan tak
menyentuh problema kehidupan masyarakat. Karekteristik teologi semacam ini
hanya akan menambah kuat status quo,
atau bahkan mendukung dan secara bersama-sama melakukan penindasan rakyat. Sebagaimana
tuturnya:
Fokus
utama Engineer memang pada ketidaksetujuannya pada ideologi atau cara pikir
apapun yang berpihak pada kelanggengan status
quo. Kemapanan politik dan ekonomi membuat kalangan elit tertentu semena-mena,
dengan mengabaikan penderitaan masyarakat bawah yang semestinya membutuhkan
ayoman, perlakuan adil serta kesejahteraan. Guna menghindari keberpihakan Islam
pada status quo, perlu adanya
pembebasan atas ideologinya sendiri dari apa yang menjelmakannya sebagai “the opium of the people”, sebelum
mewujud sebagai ideologi pembebasan.
Pengembangan
teologi pembebasan, dengan demikian, adalah bentuk upaya untuk ‘mengawinkan’
Marxisme dengan agama sebagai perpaduan ide dalam wujud gerakan revolusioner
bernafaskan teks suci. Diakui atau tidak, agama sesungguhnya punya dua wajah:
lenguhan kaum tertindas atau menjadi sebuah ‘pedang revolusi’ yang siap dihunus
untuk melawan status quo yang zalim. Di
mata Engineer, Marx tak sepenuhnya salah tatkala mencaci agama sebagai candu rakyat.
Agama memang dapat menjadi candu jika menjadi lenguhan kaum yang tertindas (sigh of the oppresed), hati dari manusia
robot (heart of heartless word), dan
jiwa dari keadaan yang kosong (spirit of
a spiritless situation);[5]
sebagaimana ia juga amat bermanfaat manakala kekuatannya sanggup memperjuangkan
struktur berkeadilan. Agama akan menjadi candu atau menjadi kekuatan
revolusioner tergantung pada, pertama,
kondisi sosio-politik yang nyata. Dan kedua, tergantung pada apa yang akan
bersekutu dengan agama, apakah kaum revolusioner atau status quo.
Engineer
tidak sepakat dengan kaum revolusioner yang tidak melihat agama sebagai spirit
pembebasan.[6] Sensibilitas budaya
dan sentimen keagamaan sangat diperlukan, agar pendekatan sebuah gerakan tidak
elitis. Umumnya, demi menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan
idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf hidup ekonomi, bukannya
memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Akibatnya, Marxisme tetap
kalah menarik dibandingkan dengan fudamentalisme, konservatisme dan
kelompok-kelompok reaksioner. Sebab, yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan
spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual sama mendesaknya
dengan kebutuhan ekonomi. Bagi Engineer, Marxisme semacam ini justru menympang
dari idiom Marxis asli yang berakar pada etos budaya setempat.
Komitmen
Engineer terhadap Idiom anti-kemapanan terlihat dari pernyataannya tentang
ketidaksetujuannya atas agenda revolusi yang mengarah pada kemapanan. Sikap ini
muncul karena agama, meski semula adalah kekuatan revoluioner, tapi
memungkinkannya untuk menciptakan status quo baru bagi dirinya. Dengan bahasa
lain, keberhasilannya meruntuhkan otoritarianisme penindas, dapat juga
menempatkan agama sebagai pihak otoriter jilid baru. Dan ini yang terjadi di
kalangan negara pasca-revolusi yang digerakkan oleh semagat ideologis
keagamaan.
Islam Pembebasan
Bahwa
Islam adalah agama pembebasan, bagi Engineer, merupakan keniscayaan historis
semenjak ia dilahirkan di semenanjung Arab. Deskripsinya:
Islam adalah sebuah
agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang
mengancam struktur penindas baik di dalam maupun di luar Arab. Tujuan dasarnya
adalah persaudaraan yang universal (universal
brotherhood), kesetaraan (equality),
keadilan sosial (social justice).[7]
Keyakinan
ini selaras dengan kesadarannya bahwa Islam sangat menekankan kesatuan manusia
(unity of mankind) yang ditegaskan di
dalam ayat al-Qur’an (49: 13). Ayat ini jelas membantah semua konsep
superioritas rasial, kesukuan, atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan
akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan
hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial, “Berbuat adillah, karena
itu lebih dekat dengan taqwa.”[8]
Kesatuan manusia juga merupakan kesinambungan umat Islam untuk setia kepada
konsep pokoknya, tauhid. Yakni tauhid yang dilihat dari perspektif sosial,
dalam kerangka membangun struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala
macam perbudakan. Kalau teologi konvensional kerap memaknai tauhid sebagai
keesaan Tuhan, maka teologi pembebasan memahaminya tak sebatas keesaan Tuhan,
tapi juga sebagai unity of man kind
yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (classless society).[9]
Selain
konsep kesatuan manusia, Islam juga sangat menitikberatkan pada keadilan di
semua aspek kehidupan. Keadilan akan tercipta melalui pembebasan golongan
masyarakat lemah dan marginal dari penderitaan serta memberi kesempatan mereka
untuk memimpin. Teks suci telah berbicara banyak soal ini, baik mengenai
langkah praksis yang harus diambil demi menghancurkan atruktur ekspolitatif, anjuran
keadilan distributif dalam hal ekonomi, dan lain-lain. Termasuk pula dalam hal
ini cerita-cerita inspiratif para nabi terdahulu saat melawan ketidak adilan.
Bentuk
revolusionerisme Engineer terlihat sangat frontal, khususnya ketika ia dalam
salah satu statemennya melegalkan praktik kekerasan, meski yang demikian dalam
konteks perlawanan atas kezaliman penguasa. Ia bahkan menyitir surat al-Nisa’
ayat 75, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang
yang tertindas, lelaki, perempuan, dan anak-anak yang berkata: ‘Tuhan kami,
keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berikan kami
perlindungan dan pertolongan dari-Mu.” Menurut Engineer, ayat ini mengungkapkan
sebuah teori yang disebut dengan ‘kekerasan yang membebaskan’ (liberative violence). Para penindas dan
eksploitator menganiaya golongan lemah dan dengan seenaknya menggunakan jalan
kekerasan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Tidak mungkin kita
membebaskan pengaiayaan ini tanpa melakukan perlawanan. Bukankah Tuhan telah
berfirman bahwa Dia tidak menyukai kata-kata kasar kecuali oleh orang yang
teraniaya (lâ yuhibb Allâh
al-jahra min al-qawl illâ man zhulim).[10]
Kesimpulan dan Kritik
Dari
semangatnya untuk mengarahkan Islam pada ranah praksis perjuangan kemanusiaan,
terlihat setidaknya tiga asumsi yang ia pakai. Pertama, keyakinan bahwa kehidupan akan berakhir dengan terminal ideal
yang menyejahterakan (tautologis). Baginya, apa yang dijelaskan dalam firman
Allah sudah cukup meneguhkan premis ini. Kedua,
konsep takdir yang selalu meletakkan manusia sebagai pribadi yang bebas
menentukan nasibnya sendiri. Elemen ini baginya penting karena tanpanya sebuah
gerakkan tidak akan berjalan secara revolusioner. Menolak kebebasan kehendak (free will) sama artinya melanggengkan
keterpurukan masyarakat dari sistem penindas. Ketiga, kecenderungan Engineer menganggap kekuasaan sebagai pihak
yang senantiasa represif, dan karenanya mengekang kebebasan, menciptakan
kondisi non-egaliter, dan rawan kesewenang-wenangan.
Motivasi
Engineer mungkin sangat mulia, karena hendak mengentas penderitaan masyarakat
kepada keadaan yang lebih wajar sebagai manusia. Kendatipun, untuk mewujudkan
itu semua ia mesti bersusah payah merumuskan hubungan antara agama, ideologi
dan revolusi; sebuah relasi yang sampai saat ini belum tuntas didiskusikan. Sebagian gerakan memutuskan untuk menolak ideologi Marxisme, dan memilih ideologi Islam
sendiri sebagaimana terjadi di Iran dan di India era al-Maududi. Disadari,
karena keduanya berangkat dari watak
ideologis agama, yakni keinginan akan ‘kehidupan islami’ yang berangkat
dari ‘nilai-nilai Islam’ saja, situasi kemudian berujung pada otoritarianisme
(rigiditas) agama dalam mengatur masyarakat yang belum tentu merasa adil dan
bebas dengan segenap aturan tersebut. Sebagian lagi, aksi revolusioner
mengambil bentuk ‘modifikasi’ Islam dan ideologi Marxis yang diramu sedemikian
rupa. Kerap kali karakter gerakan model ini cenderung memposisikan agama
sebagai legitimasi belaka atas ideologi yang sedang bersamanya. Asghar Ali
Engineer, dari statemen-statemennya, lebih sesuai dengan dikategorikan pada
kelompok terakhir ini.
Hemat
penulis, agama akan memberikan sumbangan mendasar, jika sebuah gerakan
pembangunan masyarakat ditumbuhkan melalui agama itu sendiri, bukan idiologi
impor yang kian membuatnya teralienasi dari kultur dan logikanya sendiri. Karena
di samping agama punya cara pikir atau logika penyelesaian masalah yang khas, se-kiri
apapun sebuah agama ia akan selalu memiliki ke-kanan-annya (dikendalikan oleh
‘keharusan-keharusan’). Setelah memompa gerakan berlandas dirinya sendiri, tugas
selanjutnya adalah meminimalisir watak ideologisnya, untuk kemudian meleburkan
nilai-nilai dasar Islam ke dalam sebuah ‘perjuangan umum’ kemanusiaan. Ia lebih
bersifat moral imperative ketimbang (islamic) ideological imperative.
Wa-LLâh a‘lam bi al-shawâb...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar