Sabtu, 11 Januari 2014

Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial

Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial

Ketika disebut kata pemuda. Seketika yang ada dalam benak kita adalah idealisme, cerdas, kreatif, dan potensi positif lainnya. Pemuda dan episode kehidupannya penuh dengan warna dan dinamika. Tatkala penindasan terjadi dalam suatu masyarakat dan bangsa, para pemuda tampil melakukan perlawanan. Ketika kebekuan melanda kehidupan, para pemuda muncul melakukan pendobrakan. Itulah sekelumit gambaran sosok pemuda.

Sejarah pergolakan dan perubahan sosial di banyak negara, mencatat peranan dari para pemuda. Mereka tampil sebagai inspirator melalui gagasan dan tuntutannya. Tampil sebagai garda depan dengan keberaniannya dan senantiasa dikenang sebagai pahlawan melalui pengorbanannya. Tak dapat di sangkal, terjadinya gerakan pembaharuan (reformasi) di hampir seluruh negeri di dunia ini juga banyak dipelopori dan digerakkan oleh pemuda. Di Hungaria misalnya, revolusi menuntut kemerdekaan, kebebasan, dan pengusiran Uni Soviet di motori oleh Dewan Mahasiswa Revolusioner. Yang puncaknya berhasil menghimpun 100 ribu massa di lapangan Petofi, pada 23 Oktober 1956. Demikian juga di Yunani. Di negeri tua ini, para pemuda yang terhimpun dalam National Union of Greek Students melakukan gelombang demonstrasi untuk menuntut kebebasan,
demokrasi, keadilan sosial dan HAM pada rezim Papandreou. Klimaksnya ditandai dengan tumbangnya rezim diktator tersebut. (Mahfudz Shidiq, 2003).

Hal serupa juga terjadi di belahan dunia lainnya. Di Amerika, Afrika, juga di kawasan Asia. Terakhir masih melekat dalam benak kita, peristiwa jatuhnya rezim otoriter Orde Baru yang menandai bergulirnya era reformasi dan demokrastisasi di negeri ini. Juga dimotori dan digerakkan oleh kaum muda. Tentu saja, masih banyak catatan sejarah tentang gerakan kaum muda dan peranannya dalam proses perubahan di sebuah negeri.

Perubahan Sosial

Dari mata rantai pergerakan dan perjuangan tersebut, dapat diketemukan beberapa titik persamaan antara lain, pertama, bahwa gerakan tersebut muncul dari kondisi yang dihadapi masyarakat, yang dipandang tidak sesuai dengan cita-cita negara dan harapan dari masyarakat.

Kedua, gerakan ini lahir karena merespon berbagai kondisi dan situasi tersebut atas dasar kesadaran moral, tanggungjawab intelektual dan pengabdian sosial. Ketiga, gerakan kaum muda ini senantiasa muncul sebagai pelopor dari aksi perlawanan yang memicu munculnya aksi serupa oleh kekuatan sosial-politik lain di tengah-tengah masyarakat. Muara dari itu semua adalah perubahan sosial (social transformation).

Perubahan sosial oleh para ilmuwan disebut dengan berbagai istilah. M.N.Ross misalnya menyebutnya dengan social planning (perencanaan sosial). Sedang Ira Kaufman mempopulerkan dengan change management (manajemen perubahan). Namun ada juga yang mempergunakan istilah social engineering (rekayasa sosial) dan ini diperkenalkan oleh Less dan Presley (Dimitri Mahayana, 1999).

Dari ketiga istilah tersebut, yang kurang lebih memiliki makna yang sama. Menurut Dimitri Mahayana, social engineering (rekayasa sosial) dirasa lebih tepat dan sesuai. Sebab dibandingkan dengan istilah perencanaan, rekayasa memiliki jangkauan makna yang lebih luas. Suatu rekayasa pasti mengandung perencanaan, tetapi tidak seluruh perencanaan diimplementasikan hingga teraktualisasikan di alam nyata. Dibanding dengan istilah manajemen perubahan, istilah rekayasa sosial juga lebih memiliki makna yang pasti. Objek dari manajemen perubahan dapat ditafsirkan sebagai perubahan dalam arti luas, sedang objek dari rekayasa sosial sudah pasti, yaitu perubahan sosial menuju suatu tatanan dan sistem baru sesuai dengan yang dikehendaki sang perekayasa (sosial engineer).

Hal mendasar yang perlu diingat adalah bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial akan berlangsung bilamana telah terjadi perubahan cara berfikir (mindset). Sebab mustahil akan ada sebuah perubahan ke arah yang benar kalau kesalahan berfikir masih menjebak benak masyarakat. (Jalaluddin Rakhmat, 2000).

Dan yang termasuk dalam kategori kesalahan berfikir ini adalah oleh para ilmuwan dikenal dengan intellectul cul-de-sac, sebuah istilah dari bahasa Perancis untuk memaknakan kebuntuan pemikiran, dan mitos. Mitos adalah sesuatu yang tidak benar, namun dipercayai oleh banyak orang termasuk para ilmuwan.

Secara teoritis, terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya sebuah perubahan sosial. Pertama, masyarakat berubah karena ideas: pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai. Demikian pendapat Piotr Sztompka dalam bukunya „The Sociology of Social Change“ (1993). Maknanya strategi perubahan sosial tidak boleh mengabaikan adanya sebab musabab tersebut. Dalam konteks ini para Nabi dapat menjadi contoh yang baik. Pertama-tama datang dan yang dilakukan adalah merubah pandangan dunia individu dan masyarakat. Tatkala al-qur’an datang, ia mengubah dan memperkaya makna idiom-idiom yang sebelumnya sudah ada. Kata taqwa sebuah idiom yang sudah ada pada masyarakat Arab jaman pra Islam. Namun sebelum Islam datang, makna taqwa tidak lebih dari takut. Setelah Al-qur’an datang, idiom taqwa ini diberi makna yang lebih kaya. Itu artinya, Al-qur’an melakukan perubahan sosial lewat ideas.

Kedua, yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sejarah itu sebenarnya adalah great individuals (tokoh-tokoh besar) atau sering disebut para pahlawan (heroes). Salah satu pengikut dari teori ini adalah Thomas Carlyle (1795 – 1881). Ia menulis buku yang berjudul “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History” (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan, dan Kepahlawanan dalam Sejarah), bahkan dalam buku itu Carlyle menyatakan, “Sejarah dunia … adalah biografi orang-orang besar …”

Oleh karena itu, menurut kelompok ini, perubahan sosial akan terjadi karena munculnya seorang tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia. Yang kemudian bersama dengan pengikutnya tersebut melakukan gerakan untuk mengubah masyarakat. Yang oleh para ilmuwan sosiologi disebut dengan great individuals as historical force (Allan Bullock dan Oliver Stallybras,1977).

Ketiga, perubahan sosial dapat terjadi karena munculnya gerakan sosial (social movement). Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) biarpun kecil adalah juga termasuk gerakan sosial. Dan ini terbukti bahwa berbagai LSM didalam dan diluar negeri telah mampu melakukan perubahan sosial ditengah masyarakat.

Civil Society

Semua warga masyarakat pada hakekatnya mencita-citakan sebuah kehidupan kemasyarakatan yang kuat dan berada pada posisi ideal. Kehidupan kemasyarakatan yang kuat dan ideal, secara umum tercermin pada kesejahteraan hidup para anggotanya. Sedangkan cerminan otentik kehidupan masyarakat yang sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat terlihat pada dua aspek kehidupan yang paling fundamental, yakni aspek material dan aspek spiritual.

Indikator utama sebuah masyarakat yang sejahtera secara fisik-material termanifestasikan
seutuhnya dalam kemakmuran yang merata. Sedangkan wujud kesejahteraan dari sisi moral-spiritual adalah hadirnya rasa aman bagi seluruh warga dalam masyarakat tersebut, dan puncaknya mengejawantah pada kehidupan yang adil makmur, aman sentosa, dan seimbang. Suatu kehidupan sejahtera yang diridloi oleh Allah, baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. (Abdi Sumaithi, 2002).

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, menuntut semua warga untuk mengambil peran dalam usaha bersama membangun manusia berperadaban, masyarakat berdaya yang tidak mudah dipatronisasi oleh kekuatan manapun, itulah civil society.

Tentang civil society ini, Syamsudin Haris (1995) dengan bahasa lain menyebutkan bahwa konsep civil society merupakan idealisasi tentang suatu masyarakat yang mandiri secara ekonomi, sosial dan politik, yang relatif terbebas dari campur tangan negara. Karenanya dalam membicarakan civil society tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari perdebatan mengenai demokrasi. Hanya saja fokus teori-teori tentang demokrasi selama ini lebih pada pembentukan institusi dan struktur politik demokratis – seperti tercermin dari konsep-konsep institusionalisasi politik, share of power, pemerintahan perwakilan, struktur kepartaian, parlemen dan pemilu. Sementara itu konsep civil society memfokuskan diri pada prasyarat berkembangnya demokrasi pada tingkat masyarakat. Prasyarat itu tidak lain adalah kemandirian masyarakat disatu pihak dan terbebasnya masyarakat dari campur tangan negara dan pengaruh mekanisme pasar di pihak lain.

Singkatnya civil society adalah suatu lingkungan interaksi sosial yang berada diluar pengaruh negara dan modal yang tersusun dari lingkungan kehidupan masyarakat yang paling akrab – seperti keluarga, asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk komunikasi antar masyarakat. Didalam lingkungan seperti ini masyarakat menciptakan kreatifitas, mengatur dan memobilisasi diri mereka sendiri tanpa keterlibatan negara.

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Rekayasa Sosial : Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar” (2000), menyebutkan tiga strategi untuk melakukan gerakan perubahan ke arah itu.

Pertama, persuasive strategy (strategi persuasif). Didalam strategi ini peranan media massa baik cetak maupun elektronik sangat penting. Karena pada umumnya strategi persuasive ini dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C.Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial.

Kedua, normative-reeductive strategy (strategi normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat telah secara luas diakui oleh hampir semua ilmuwan sosial. Norma termasyarakatkan melalui education (pendidikan), oleh sebab itu strategi normatif ini biasanya digandengkan dengan upaya reeducation (pendidikan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Jadi strategi ini juga banyak bersifat persuasif dan bertahap.

Ketiga, power strategy (strategi mempergunakan kekuasaan). Strategi ini adalah mempergunakan kekuatan (people’s power). Sebab people’s power atau revolusi merupakan bagian dari power strategy. Dan revolusi merupakan puncak dari semua perubahan sosial. Karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari siapa saja yang terlibat di dalamnya.


Demikian strategi yang dapat dipergunakan atau direkomendasikan untuk melakukan perubahan sosial. Namun Jalaluddin Rakhmat dengan penuh tawadhu’ juga menyarankan untuk juga mempertimbangkan dan menganalisa dari peristiwa-peristiwa besar yang telah terjadi dan membawa perubahan yang mendasar pada tatanan sosial dan politik di sebuah negara, semisal revolusi Iran dengan pemimpin besarnya Imam Khomeini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar