Ideologi Kiri Islam
Sebuah Pengantar :
Istilah Kiri Islam (al-Yasâr al-Islâmiy)
yang dimotori oleh Hasan Hanafi merupakan upaya untuk menggali
pendewasaan makna revolusioner dari Islam, sebagai konsekuensi logis
dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas.
Makna kiri dalam pengertian Hasan Hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral—moral revolution govement—
untuk memperjuagkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga
persamaan (egalitarian) dan keadilam uma manusia sejajar satu sama lain.
Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalîfah fi al-ardl, yaitu menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan
kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal
dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah Hasan Hanafi
disebut min al-aqîdah ilâ al-tsawrah (dari akidah menuju revolusi).
Untuk dapat memahami pengertian kiri dalam pemikiran Hasan Hanafi, kita perlu mengetahui latar belakang penggunaan istilah kiri. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu
menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo. Ini
pulalah, tampaknya, yang ingin dikembangkan oleh Hasan Hanafi melalui
“kiri Islam”-nya yang dikenalkannya melalui jurnak Kiri Islam yang terbit untuk yang pertama dan terakhir.
Bila
kita cermati lebih lanjut, Kiri Islam-nya Hasan Hanafi merupakan
sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat
manusia. Latar belakang kemunculan Kiri Islam Hasan Hanafi juga tidak
lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme dan sosialisme.
Hasan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang
materialistik dan determinisme historik. Hasan Hanafi berusaha
melakukan pembebasan yang diberu ruh pendasaran-religius-spiritualistik
(dalam hal ini adalah Islam) dengan menghilangkan materialistiknya.
Ini
dilakukan supaya Islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan
yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu
sistem ideologi yang populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama
ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan
pilihan Hasan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang
selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya
yang bersifat spiritualitas dan historis.
***
Kiri
Islam menurut Hasan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid
sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau
tak mau diperlukan upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid
sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul
terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —lâ ilâha illâ Allâh— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.
Revolusi
tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia
dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos
politik, ekonomi, sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan
revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi
pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan yang tanpa
dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala
dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.
Dalam hal ini relevan sekali pandangan Murtadla Mutahhari, seorang cendekiawan Iran dalam bukunya The World View of Tawhid,
bahwa pandangan dunia tauhid secara kontekstual tidak hanya memandang
keesaan penciptaan —sebab Tuhan tidak perlu ditolong— namun lebih dalam
sosial kemasyarakatan. Pandangan dunia tauhid menolak segala bentuk
diskriminasi yang berdasarkan ras warna kulit, kelas, garis keturunan
dan kekuasaan. Karena itu, kita dituntut untuk menempatkan manusia dalam
kesamaan pada prinsip egalitarianisme.
Keyakinan
terhadap keesaan Tuhan harus juga diartikan sebagai keesaan kehidupan,
yaitu tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialisme,
antara yang bersifat ukhrawi dan duniawi, antara jiwa dan badan, antara
langit dan bumi, dan sebagainya. Sehingga, seluruh aspek kehidupan
dalam kerangka tauhid mempunyai tujuan bersatu dalam kehendak Tuhan
dengan rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap syariat Allah dalam
maknanya yang luas. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep tauhid
harus dapat melahirkan sikap yang menegasikan superioritas manusia atas
manusia lain.
***
Watak
Islam yang transformatif-revolusioner ini tidak diteruskan dalam
kehidupan saat ini yang global. Islam lebih dipahami hanya pada tataran
normatif-formalisme. Watak ajaran Islam yang sebenarnya justru
kehilangan elan vitalnya. Apalagi menghadapi globalisasi yang melahirkan
agama baru bernama developmentalisme. Maka dari itu, umat Islam
dituntut merekonstruksi terminologi Islam dari tataran teologi ke
pro-aksi, atau implikasi keberagamaan dan keberimanan pada tindakan
sosial.
Dengan
adanya developmentalisme tersebut, masyarakat kapitalisme yang
diwakili Barat berusaha untuk menciptakan ketergantungan masyarakat
Islam. Sehingga secara perlahan namun pasti, masyarakat Islam akan
terjajah secara kultural. Masyarakat Islam pada akhirnya tidak akan
mampu melakukan apresiasi otonomi terhadap ajaran dan struktur
tindakannya sendiri. Masyarakat Islam secara tidak sadar akan
terkooptasi.
Berdasarkan
realitas tersebut di atas, maka menurut Kiri Islam, sumber kebodohan
dan keterbelakangan umat Islam sesungguhnya merupakan hasil dari
bentukan tradisi umat Islam itu sendiri dan sebagai akibat dari hegemoni
peradaban Barat. Karena itu, Hasan Hanafi sangat memperhatikan tradisi
atau sejarah umat Islam dan peradaban Barat sebagai suatu peradaban
atau ideologi yang dominan.
Dalam
pengkajiannya terhadap tradisi Islam, Hasan Hanafi dengan Kiri
Islamnya berkesimpulan bahwa sumber krisis dunia Islam sekarang ini
adalah akibat dari tradisi Kanan Islam. Jika yang dimaksud dengan kiri adalah resistensi atau perlawanan dan kritisisme, maka kanan berarti kooptasi, pembelaan terhadap status quo, dan mengaburkan atau menyamarkan antara realitas dan identitas.
Untuk
itu, dalam mengatasi krisis umat, diperlukan upaya rekonstruksi,
pengembangan dan pemurnian tradisi Islam yang berakar pada tradisi Kiri
Islam, yang oleh Hasan Hanafi dikatakan sebagai berakar pada dimensi
revolusioner khazanah intelektual. Dalam konteks ini, yang termasuk
tradisi Islam Kiri atau revolusioner adalah teologi muktazilah, filsafat
rasionalisme-naturalistik Ibnu Rusyd, prinsip al-maslahah al-mursalah
fikih Maliki, tafsir rasional.
Penerapan
modernisasi pada umat Islam berarti sama dengan mensubordinasikan
Islam ke dalam hegemoni Barat. Karena hegemoni adalah universalisasi
atau totalisasi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat hingga menganut
satu ideologi tertentu. Maka hegemoni Barat atas umat Islam berada
pada sistem ideologi Barat, yaitu kapitalisme. Inilah penyebab
keterbelakangan umat Islam dewasa ini.
Memang
gerakan transformasi Kiri Islam biasa menganalisis kapitalisme dunia
dan banyak memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan
ekonomi-politik, dengan asumsi sebagai upaya daya pendorong dari
perkembangan sejarah dunia. Selama masyarakat Muslim masih terintegrasi
dengan kapitalisme global, maka cita-cita Islam akan sulit dicapai.
Pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga —umumnya masyarakat Muslim— yang
berbentuk modernisasi atau pembangunan, ternyata menimbulkan persoalan
yang kompleks.
Timbulnya
militerisme —rezim militer yang otoritarian— otoritarianisme
birokratik, kapitalisme negara, hancurnya lingkungan hidup, kekerasan,
kesenjangan yang semakin tajam antara yang kaya dan yang miskin,
keterasingan, memudarnya kehidupan spiritual dengan munculnya kehidupan
konsumerisme-materialis-pragmatisme dan banyak lagi yang menjadi akibat
dari sistem kapitalisme dunia. Karena itu, yang diperlukan dan harus
dikembangkan adalah transformasi global dalam menciptakan tata dunia
baru yang non-kapitalisme.
Al-Quran
mendesak orang-orang beriman agar menafkahkan harta. Konsep ini
menunjukkan wawasan yang tajam sesuai dengan sifat dasar manusia untuk
menentukan bentuk ekonomi yang berbasis etika sosial Islam.
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam meletakkan produksi dan distribusi
yang diatur dengan tujuan-tujuan moral, yang membawa ke arah pertumbuhan
masyarakat yang harmonis dan adil. Konsep keadilan distributif sangat
penting dari suatu produksi dalam membangun suatu masyarakat manusia
yang bebas dari eksploitasi.
Sebagai
agama universal dan agama yang lebih mengedepankan moralitas,
masyarakat Islam seharusnya berada pada tataran masyarakat yang satu,
masyarakat yang sama dengan perbedaan. Cita-cita moralitas sosial Islam
tersebut justru mengalami perbedaan yang berlawanan /paradoksalitas
dengan fakta-realitas yang ada. Masyarakat Islam bukannya sama dalam
perbedaan, tetapi justru sering bermusuhan dalam perbedaan.
Dunia
Islam saat ini telah terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan,
struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan
imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar
terhadap Barat. Dunia Barat berusaha mencaplok kultur Islam, termasuk
tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi
Barat, supaya dapat diterima oleh dunia Islam. Itulah cara Barat untuk
mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, Alquran dan
Hadis.
***
Melihat
hal tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang
peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan
Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri.
Karena itu, tugas Kiri Islam adalah: Pertama, melokalisasi Barat
pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat
peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi
paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan
peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian
dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat
banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb
(Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan
suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke
akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan
dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan
pencerahan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar