Jumat, 10 Januari 2014

Ideologi Kiri Islam

Ideologi Kiri Islam
Sebuah Pengantar :

Istilah Kiri Islam (al-Yasâr al-Islâmiy) yang dimotori oleh Hasan Hanafi merupakan upaya untuk menggali pendewasaan makna revolusioner dari Islam, sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas.
Makna kiri dalam pengertian Hasan Hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral—moral revolution govement— untuk memperjuagkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilam uma manusia sejajar satu sama lain.
Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalîfah fi al-ardl, yaitu menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah Hasan Hanafi disebut min al-aqîdah ilâ al-tsawrah (dari akidah menuju revolusi).
Untuk dapat memahami pengertian kiri dalam pemikiran Hasan Hanafi, kita perlu mengetahui latar belakang penggunaan istilah kiri. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo. Ini pulalah, tampaknya, yang ingin dikembangkan oleh Hasan Hanafi melalui “kiri Islam”-nya yang dikenalkannya melalui jurnak Kiri Islam yang terbit untuk yang pertama dan terakhir.
Bila kita cermati lebih lanjut, Kiri Islam-nya Hasan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri Islam Hasan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme dan sosialisme. Hasan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik. Hasan Hanafi berusaha melakukan pembebasan yang diberu ruh pendasaran-religius-spiritualistik (dalam hal ini adalah Islam) dengan menghilangkan materialistiknya.
Ini dilakukan supaya Islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hasan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.
***
Kiri Islam menurut Hasan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —lâ ilâha illâ Allâh— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.
Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi, sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan yang tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.
Dalam hal ini relevan sekali pandangan Murtadla Mutahhari, seorang cendekiawan Iran dalam bukunya The World View of Tawhid, bahwa pandangan dunia tauhid secara kontekstual tidak hanya memandang keesaan penciptaan —sebab Tuhan tidak perlu ditolong— namun lebih dalam sosial kemasyarakatan. Pandangan dunia tauhid menolak segala bentuk diskriminasi yang berdasarkan ras warna kulit, kelas, garis keturunan dan kekuasaan. Karena itu, kita dituntut untuk menempatkan manusia dalam kesamaan pada prinsip egalitarianisme.
Keyakinan terhadap keesaan Tuhan harus juga diartikan sebagai keesaan kehidupan, yaitu tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialisme, antara yang bersifat ukhrawi dan duniawi, antara jiwa dan badan, antara langit dan bumi, dan sebagainya. Sehingga, seluruh aspek kehidupan dalam kerangka tauhid mempunyai tujuan bersatu dalam kehendak Tuhan dengan rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap syariat Allah dalam maknanya yang luas. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep tauhid harus dapat melahirkan sikap yang menegasikan superioritas manusia atas manusia lain.
***
Watak Islam yang transformatif-revolusioner ini tidak diteruskan dalam kehidupan saat ini yang global. Islam lebih dipahami hanya pada tataran normatif-formalisme. Watak ajaran Islam yang sebenarnya justru kehilangan elan vitalnya. Apalagi menghadapi globalisasi yang melahirkan agama baru bernama developmentalisme. Maka dari itu, umat Islam dituntut merekonstruksi terminologi Islam dari tataran teologi ke pro-aksi, atau implikasi keberagamaan dan keberimanan pada tindakan sosial.
Dengan adanya developmentalisme tersebut, masyarakat kapitalisme yang diwakili Barat berusaha untuk menciptakan ketergantungan masyarakat Islam. Sehingga secara perlahan namun pasti, masyarakat Islam akan terjajah secara kultural. Masyarakat Islam pada akhirnya tidak akan mampu melakukan apresiasi otonomi terhadap ajaran dan struktur tindakannya sendiri. Masyarakat Islam secara tidak sadar akan terkooptasi.
Berdasarkan realitas tersebut di atas, maka menurut Kiri Islam, sumber kebodohan dan keterbelakangan umat Islam sesungguhnya merupakan hasil dari bentukan tradisi umat Islam itu sendiri dan sebagai akibat dari hegemoni peradaban Barat. Karena itu, Hasan Hanafi sangat memperhatikan tradisi atau sejarah umat Islam dan peradaban Barat sebagai suatu peradaban atau ideologi yang dominan.
Dalam pengkajiannya terhadap tradisi Islam, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya berkesimpulan bahwa sumber krisis dunia Islam sekarang ini adalah akibat dari tradisi Kanan Islam. Jika yang dimaksud dengan kiri adalah resistensi atau perlawanan dan kritisisme, maka kanan berarti kooptasi, pembelaan terhadap status quo, dan mengaburkan atau menyamarkan antara realitas dan identitas.
Untuk itu, dalam mengatasi krisis umat, diperlukan upaya rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian tradisi Islam yang berakar pada tradisi Kiri Islam, yang oleh Hasan Hanafi dikatakan sebagai berakar pada dimensi revolusioner khazanah intelektual. Dalam konteks ini, yang termasuk tradisi Islam Kiri atau revolusioner adalah teologi muktazilah, filsafat rasionalisme-naturalistik Ibnu Rusyd, prinsip al-maslahah al-mursalah fikih Maliki, tafsir rasional.
Penerapan modernisasi pada umat Islam berarti sama dengan mensubordinasikan Islam ke dalam hegemoni Barat. Karena hegemoni adalah universalisasi atau totalisasi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat hingga menganut satu ideologi tertentu. Maka hegemoni Barat atas umat Islam berada pada sistem ideologi Barat, yaitu kapitalisme. Inilah penyebab keterbelakangan umat Islam dewasa ini.
Memang gerakan transformasi Kiri Islam biasa menganalisis kapitalisme dunia dan banyak memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan ekonomi-politik, dengan asumsi sebagai upaya daya pendorong dari perkembangan sejarah dunia. Selama masyarakat Muslim masih terintegrasi dengan kapitalisme global, maka cita-cita Islam akan sulit dicapai. Pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga —umumnya masyarakat Muslim— yang berbentuk modernisasi atau pembangunan, ternyata menimbulkan persoalan yang kompleks.
Timbulnya militerisme —rezim militer yang otoritarian— otoritarianisme birokratik, kapitalisme negara, hancurnya lingkungan hidup, kekerasan, kesenjangan yang semakin tajam antara yang kaya dan yang miskin, keterasingan, memudarnya kehidupan spiritual dengan munculnya kehidupan konsumerisme-materialis-pragmatisme dan banyak lagi yang menjadi akibat dari sistem kapitalisme dunia. Karena itu, yang diperlukan dan harus dikembangkan adalah transformasi global dalam menciptakan tata dunia baru yang non-kapitalisme.
Al-Quran mendesak orang-orang beriman agar menafkahkan harta. Konsep ini menunjukkan wawasan yang tajam sesuai dengan sifat dasar manusia untuk menentukan bentuk ekonomi yang berbasis etika sosial Islam. Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam meletakkan produksi dan distribusi yang diatur dengan tujuan-tujuan moral, yang membawa ke arah pertumbuhan masyarakat yang harmonis dan adil. Konsep keadilan distributif sangat penting dari suatu produksi dalam membangun suatu masyarakat manusia yang bebas dari eksploitasi.
Sebagai agama universal dan agama yang lebih mengedepankan moralitas, masyarakat Islam seharusnya berada pada tataran masyarakat yang satu, masyarakat yang sama dengan perbedaan. Cita-cita moralitas sosial Islam tersebut justru mengalami perbedaan yang berlawanan /paradoksalitas dengan fakta-realitas yang ada. Masyarakat Islam bukannya sama dalam perbedaan, tetapi justru sering bermusuhan dalam perbedaan.
Dunia Islam saat ini telah terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha mencaplok kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat diterima oleh dunia Islam. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, Alquran dan Hadis.
***
Melihat hal tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar