Selasa, 07 Januari 2014

Pandangan Tan Malaka Terhadap Soekarno dan Muso

  Pandangan Tan Malaka Terhadap Soekarno dan Muso
Tan Malaka.
Pidato Kediri (Radio Republik Indonesia, february 1949):
"Dimana Sukarno-Hatta?? Tinggal dirumah yang indah, dengan makanannya yang mewah. Sambil menerima tamu dari belanda, ketika kami gerilyawan menderita kelaparan di gunung-gunung. Sukarno dan hatta semakin jauh. Mereka tidak akan pernah kembali lagi.......... Lihat situasi disekitar kita, dengan bantuan politik kompromi hatta, belanda menyerang kita. Lihat persenjataan yang dipergunakan oleh belanda! Belanda negara miskin, darimana mereka mendapatkan senjata semacam itu? Itu semua dari amerika. Panser-panser, pesawat-pesawat, jep-jep, semua buatan amerika!........"
 Dari Penjara ke Penjara jilid III (1948):
Pandangan tentang sukarno:
Grande-eloquence (kemahiran kata) beserta grande-elegance (kharisma) a’la Soekarno banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grande- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapai maksud murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit, nyata ialah tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dizaman Belanda, Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh, abstrak, yang tergantung di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan  ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme, dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.
"Sukarno tiada mempunyai tujuan yang nyata, karena dia tiada mempergunakan cara berfikir Revolusioner dan filsafat Revolusi yang tepat. Dia tiada pula mempunyai hati yang teguh, memegang tujuan bermula.
Dengan menerima dan mengalamkan semua kemewahan hidup, yang dengan rencana teratur sengaja diberikan oleh imperialisme jepang kepadanya. Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat kemurbaan seperti bermula.
Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme inggris-belanda, disamping tiada percaya kepada kekuatan Murba dan Dialektiknya Revolusi, maka sukarno cocok dengan sifat borjuis kecil dalam tiap-tiap Revolusi, jatuh kembali keasalnya: reverting to type. Dia mengambil jalan yang paling sedikit membahayakan, jalan "of the least resistance"
Pandangan tentang hatta:
"Moh. Hatta bukanlah seorang Revolusioner. Dia sepii kalau berdiri didepan Rakyat Murba dan Murba lebih senang kalau hatta lebih lekas menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya menghadiri pidato dilapangan gambir jakarta dimasa jepang, hatta tiada bisa memasuki jiwanya Murba dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan kesanggupan Murba.
Dikalangan intelektual-borjuis-kecil, dia bisa mendapatkan pendengar. Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan keyakinan dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambisi lebih besar daripada kecakapan yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan kerendahan sumber-akalnya itu! Sebab itulah hatta terpaksa mencari dan memangnya pula (dia) mendapatkan gantinya (compensation) pada buku bacaannya.
Yang mencolok idaman klasnya ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah seorang Ahli-Apal (bukewurm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta dengan sifat hemat-cermat, serta teliti yang ada padanya, diwaktu damai dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa melambung keatas. Tetapi dalam Revolusi, terutama karena keyakinan dan sifatnya itu sepii daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling sedikit membahayakan, jalan "of the least resistance", cocok benar dengan sifat golongan keluarganya, ialah golongan saudagar".
Muso
Pidato di Radio Front Nasional, 19 September 1948, jam 21.30:
"Sudah 3 tahun Revolusi kita berjalan dibawah pimpinannya kaum borjuis nasional yang bersifat goyang menghadapi imperialis seumumnya dan terhadap amerika chususnya. Inilah sebab yang terbesar, bahwa keadaan ekonomi dan politik dalam Republik semuanya menjadi terus-menerus buruk. Dengan begitu Rakyat seumumnya, kaum Buruh dan Tani chususnya, sama sekali tak dapat membedakan keadaan sekarang ini daripada keadaan selama dijaman belanda dan jepang.
Sebaliknya anasir-anasir yang memerintah telah memakai Revolusi kita sebagai kuda-kudaan untuk menguntungkan diri. Mereka sewaktu pendudukan jepang telah menjadi quisling-quisling, budak-budak jepang, tukang jual romusha dan propagandis-propagandis Heiho. Lebih dari 2 milyun wanita Indonesia telah menjanda lantaran laki-lakinya menjadi romusha.
Sekarang mereka akan menjual Indonesia dan Rakyatnya sekali lagi pada imperialis amerika!
............ "Dalam 3 tahun ini teranglah pula, bahwa Sukarno-Hatta ex romusha verkopers, orgaben, quisling, telah menjalankan POLITIK KAPITULASI terhadap belanda, inggris dan sekarang juga akan menjual Indonesia dan Rakyat pada imperialisme amerika.
Bolehkah orang-orang semacam itu bilang bahwa mereka mempunyai hak yang syah untuk memerintah Republik kita??
Mereka mengerti, bahwa kaum dagang romusha tak becus memerintah negara. Oleh karena Rakyat Madiun dan juga didaerah-daerah lain sekarang akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu! Sukarno selama membudak jepang telah bilang: untuk inggris: Linggis, untuk amerika: Setrika! Rakyat belum lupa ini.
Bukan Sukarno, bukan Hatta yang melawan belanda, inggris dan amerika sekarang ini, tetapi Rakyat Indonesia sendiri!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar