Pandangan Tan Malaka Terhadap Soekarno dan Muso
Tan Malaka.
Pidato Kediri (Radio Republik Indonesia, february 1949):
"Dimana Sukarno-Hatta?? Tinggal dirumah yang indah, dengan
makanannya yang mewah. Sambil menerima tamu dari belanda, ketika kami
gerilyawan menderita kelaparan di gunung-gunung. Sukarno dan hatta
semakin jauh. Mereka tidak akan pernah kembali lagi.......... Lihat
situasi disekitar kita, dengan bantuan politik kompromi hatta, belanda
menyerang kita. Lihat persenjataan yang dipergunakan oleh belanda!
Belanda negara miskin, darimana mereka mendapatkan senjata semacam itu?
Itu semua dari amerika. Panser-panser, pesawat-pesawat, jep-jep, semua
buatan amerika!........"
Dari Penjara ke Penjara jilid III (1948):
Pandangan tentang sukarno:
Grande-eloquence (kemahiran kata) beserta grande-elegance (kharisma)
a’la Soekarno banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang
tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai
Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh
paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh
ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grande- elegance itu saja
tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan
revolusi di Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum
intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada
akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur
tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba.
Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapai maksud murba
yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris
mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan
untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak
konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande
eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang
kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus
segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit, nyata ialah tepat dan
berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dizaman
Belanda, Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu
dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah
ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para
pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai
Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda,
melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh, abstrak, yang tergantung
di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang
berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi
massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan ber-“Kinro
Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu
jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal
dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga
sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme, dan Sosio Demokrasi
itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan
sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda,
ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.
"Sukarno tiada mempunyai tujuan yang nyata, karena dia tiada
mempergunakan cara berfikir Revolusioner dan filsafat Revolusi yang
tepat. Dia tiada pula mempunyai hati yang teguh, memegang tujuan
bermula.
Dengan menerima dan mengalamkan semua kemewahan hidup, yang dengan
rencana teratur sengaja diberikan oleh imperialisme jepang kepadanya.
Sukarno lambat laun mengorbankan semua semangat kemurbaan seperti
bermula.
Tiada merasa sanggup menghadapi imperialisme inggris-belanda, disamping
tiada percaya kepada kekuatan Murba dan Dialektiknya Revolusi, maka
sukarno cocok dengan sifat borjuis kecil dalam tiap-tiap Revolusi,
jatuh kembali keasalnya: reverting to type. Dia mengambil jalan yang
paling sedikit membahayakan, jalan "of the least resistance"
Pandangan tentang hatta:
"Moh. Hatta bukanlah seorang Revolusioner. Dia sepii kalau berdiri
didepan Rakyat Murba dan Murba lebih senang kalau hatta lebih lekas
menyelesaikan pidatonya. Berkali-kali saya menghadiri pidato dilapangan
gambir jakarta dimasa jepang, hatta tiada bisa memasuki jiwanya Murba
dan tetap terasing daripada idaman, nafsu, kemauan dan kesanggupan
Murba.
Dikalangan intelektual-borjuis-kecil, dia bisa mendapatkan pendengar.
Tetapi memberikan tujuan pasti tetap, yang bisa membangunkan keyakinan
dan semangat, dia tiada sanggup. Tak ada resources, sumber-akal
padanya! Tetapi sebaliknya, nafsu, ambisi lebih besar daripada
kecakapan yang sebenarnya. Ketinggian nafsunya adalah sebanding dengan
kerendahan sumber-akalnya itu! Sebab itulah hatta terpaksa mencari dan
memangnya pula (dia) mendapatkan gantinya (compensation) pada buku
bacaannya.
Yang mencolok idaman klasnya ialah klas borjuis-kecil. Hatta adalah
seorang Ahli-Apal (bukewurm), bukan seorang pembaca yang kritis. Hatta
dengan sifat hemat-cermat, serta teliti yang ada padanya, diwaktu damai
dalam lapangan ekonomi, keuangan atau administrasi bisa melambung
keatas. Tetapi dalam Revolusi, terutama karena keyakinan dan sifatnya
itu sepii daripada Murba, dia cuma dapat melalui jalan yang paling
sedikit membahayakan, jalan "of the least resistance", cocok benar
dengan sifat golongan keluarganya, ialah golongan saudagar".
Muso
Pidato di Radio Front Nasional, 19 September 1948, jam 21.30:
"Sudah 3 tahun Revolusi kita berjalan dibawah pimpinannya kaum borjuis
nasional yang bersifat goyang menghadapi imperialis seumumnya dan
terhadap amerika chususnya. Inilah sebab yang terbesar, bahwa keadaan
ekonomi dan politik dalam Republik semuanya menjadi terus-menerus buruk.
Dengan begitu Rakyat seumumnya, kaum Buruh dan Tani chususnya, sama
sekali tak dapat membedakan keadaan sekarang ini daripada keadaan selama
dijaman belanda dan jepang.
Sebaliknya anasir-anasir yang memerintah telah memakai Revolusi kita
sebagai kuda-kudaan untuk menguntungkan diri. Mereka sewaktu pendudukan
jepang telah menjadi quisling-quisling, budak-budak jepang, tukang
jual romusha dan propagandis-propagandis Heiho. Lebih dari 2 milyun
wanita Indonesia telah menjanda lantaran laki-lakinya menjadi romusha.
Sekarang mereka akan menjual Indonesia dan Rakyatnya sekali lagi pada imperialis amerika!
............ "Dalam 3 tahun ini teranglah pula, bahwa Sukarno-Hatta ex
romusha verkopers, orgaben, quisling, telah menjalankan POLITIK
KAPITULASI terhadap belanda, inggris dan sekarang juga akan menjual
Indonesia dan Rakyat pada imperialisme amerika.
Bolehkah orang-orang semacam itu bilang bahwa mereka mempunyai hak yang syah untuk memerintah Republik kita??
Mereka mengerti, bahwa kaum dagang romusha tak becus memerintah negara.
Oleh karena Rakyat Madiun dan juga didaerah-daerah lain sekarang akan
melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu! Sukarno selama
membudak jepang telah bilang: untuk inggris: Linggis, untuk amerika:
Setrika! Rakyat belum lupa ini.
Bukan Sukarno, bukan Hatta yang melawan belanda, inggris dan amerika sekarang ini, tetapi Rakyat Indonesia sendiri!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar