Hubungan Agama dan Negara dalam Bingkai Pancasila
Di negara RI, agama menduduki posisi
sentral dan terhormat. Begitu terhormatnya, sehingga tidak tersentuh bahkan
tidak boleh jadi pembicaraan. Sering terdengar dari lisan para petinggi negeri
ini, termasuk para pengamat yang menyatakan:
“Jangan bawa-bawa agama dalam
urusan negara. Agama bersifat individual, sedangkan urusan publik adalah urusan
negara. Negara RI bukanlah negara agama, karena itu agama cukuplah menjadi
urusan departemen agama saja.”
Sampai disini, nampaknya sebagian
besar umat beragama menerima dengan sukarela, tanpa protes. Umat beragama
dibungkam dengan jimat pancasila yang dianggap sebagai konsep final dalam
mewujudkan sebuah negara yang bersatu, adil dan makmur. Sekalipun selama 62
tahun Indonesia merdeka, pancasila terbukti gagal menjadikan Indonesia sebagai
sokoguru sebuah negara ideal yang berketuhanan dan berprikemanusiaan yang adil
dan beradab.
Benarkah pancasila adalah dasar
Negara RI? Pertanyaan ini patut dijelaskan secara konstitusional disebabkan
adanya inkonsistensi. TAP MPR XVIII Tahun 1998 mencabut P4 dan menegaskan
Pancasila sebagai dasar negara. Sebelumnya TAP MPRS XXV/1966 mencantumkan
pancasila sebagai dasar Negara. Tetapi menurut UUD 1945 ps 29 ayat 1
menyatakan: Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan
berdasarkan pancasila. Artinya, TAP MPR atau UUD ’45, menunjukkan hubungan
agama di negara RI mestinya harmonis, karena dasar Negara yang juga menjadi
sila pertama pancasila. Bukan dijadikan sebagai ikon konflik SARA seperti
sekarang.
Apa definisi negara pancasila?
Hingga sekarang belum ada penjelasan konstitusional, karena itu sering
disalahgunakan. Mantan Presiden Suharto mewariskan kesalahan besar ketika dia
menyatakan: Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama
dan bukan pula negara sekuler.
Implementasi pancasila, sejak awal
sudah bermasalah. Rezim orla Sukarno menerapkan pancasila berbasis sinkretisme
ideologi, yang dikenal dengan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang
rezim Suharto mengamalkan pancasila berbasis budaya yang memunculkan ideologi asas
tunggal pancasila. Di zaman reformasi, pancasila membonceng liberalisme
berdasarkan 4 pilar kebangsaan (Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD
’45).
Jika kita berpegang pada UUD ’45,
maka negara RI sesungguhnya berdasarkan agama. Sebab istilah Ketuhanan YME
adalah konsep agama, bukan konsep sekularisme, demokrasi, ataupun liberalisme.
Ketiga isme ini tidak bicara soal Tuhan, sekiranya membicarakan konsep
ketuhanan juga mereka tidak bisa. Sebab siapapun yang berkeyakinan adanya Tuhan
YME harus memiliki kitab suci untuk mengenalkan siapa Tuhan itu, agar tidak
salah dalam mengenal Tuhan. Di zaman jahiliyah batu dianggap tuhan, sapi,
kerbau dijadikan tuhan. Ada juga yang menjadikan jin sebagai tuhan yang
disembah. Selain itu, harus juga memiliki nabi yang mengajarkan bagaimana cara
menyembah Tuhan yang benar, agar tidak membuat-buat cara penyembahan menurut
selera hawa nafsu si penyembah.
Dalam hal ini, pancasila benar-benar
gagal membangun masyarakat yang berketuhanan. Sebab masih banyak rakyat
Indonesia yang menyembah gunung, seperti gunung bromo di Jatim; menyembah sapi
seperti kyai Slamet di Solo, atau menyembah jin seperti Nyai Rorokidul di
Yogyakarta. Lalu siapa tuhan sekularisme, demokrasi dan liberalisme? Siapa nabi
dan apa kitab sucinya?
Negara RI yang berdasarkan Ketuhanan
YME ini, sesungguhnya berdasarkan agama, karena itu segala bentuk aturan dan UU
tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, seperti penjelasan Prof.
Hazairin, SH berkaitan dengan ps 29 ayat 2 UUD ’45. Terjadinya tindak
kejahatan, berupa korupsi, merajalelanya dekadensi moral di kalangan pejabat
dan generasi muda, juga narkoba. Termasuk aksi kekerasan komunal dan sosial,
disebabkan penyimpangan implementasi dasar Negara. Maka yang bertanggungjawab
atas penyimpangan ini tentu saja penyelenggara Negara, khususnya sekularisme,
liberalisme dapat demokrasi.
Selama ini kaum sekuler senantiasa
berusaha memerangi agama sebagai tatanan hidup rakyat Indonesia, padahal mereka
selalu mengusung slogan bebas berbuat apa saja? Ketika berbagai kerusakan
sistemik menimpa negeri ini, kaum sekuler membebankan kesalahan pada umat
beragama. Sementara, ketika kaum beragama ingin berbuat bebas sesuai agamanya
dihalangi. Contoh, apa yang disebut Perda bernuansa syariah ingin dihapus,
padahal hasil musyawarah DPRD. Bukankah kaum demokrasi berkoar hendak
menjunjung tinggi kemerdekaan individu untuk berbuat sesuai keinginannya? Orang
berpoligami dicacimaki, sementara perselingkuhan, lesbian, homo dan kemungkaran
lainnya dibiarkan. Logika apa yang dipakai kaum sekuler ini?
Apakah ideologi sekuler itu sama dan
sebangun dengan ideologi semau gue atau machiavelis, jika berkuasa maka
dia yang berhak mengatur orang yang dikuasainya. Apakah sistim hidup semacam
ini dapat menjamin kesejahteraan manusia yang menjadi dambaan manusia berakal.
Bukankah sistim semau gue ini menciptakan peluang untuk berperang terus
menerus antara kelompok manusia yang saling bertentangan kepentingannya
sehingga rakyat kebanyakan menjadi korban nafsu elit sebagaimana sistim
kapitalisme, komunisme, nasionalisme atau yang lain yang bersumber dari
ideologi sekular?
Kaum sekuler, liberalis dan
nasionalis yang selalu menolak tatanan berbasis agama harus berani menjelaskan
alasannya secara ilmiah ke hadapan publik, agar argumentasinya dapat diuji
secara logika dan ilmiah. Dan yang lebih serius, umat Islam juga harus berani
berterus terang, mau apa di negeri ini. Apakah terus menerus menjadi rakyat
pinggiran, bersabar menerima perlakuan kaum sekuler yang menista dan menjauhkan
agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar