Jas Merah
Para
pelaku sejarah tak bisa melupakan tragedi berdarah di Desa Kanigoro, Kecamatan
Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang terjadi pada tahun 1965.
"Kami sudah berusaha mencoba melupakannya, tapi tragedi itu tetap saja tak bisa sirna dari ingatan masa lalu yang kelam itu," kata Akhyar, salah seorang saksi mata Tragedi Kanigoro saat ditemui di MTs Negeri Kanigoro, Sabtu.
Pria berusia 59 tahun yang sehari-sehari bekerja sebagai tenaga pesuruh di Madrasah Tsanawiyah Negeri tertua di Kediri itu menuturkan, tragedi yang terjadi pada 19 Januari 1965 masih terekam jelas dalam ingatannya.
"Saat itu ada sekitar 100 orang PII (Pelajar Islam Indonesia) dari seluruh daerah di Jawa Timur yang sedang mengikuti rapat bersama di Masjid At Taqwa usai salat subuh. Tiba-tiba datang segerombolan orang berpakaian hitam-hitam menyerang mereka," kata Akhyar yang saat itu bertugas mengamankan kegiatan tersebut.
Ia dan beberapa panitia keamanan acara tersebut tak berdaya menghadapi aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah mencapai 10.000 orang, pimpinan Suryadi yang langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII itu.
"Saya dan beberapa teman langsung digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi yang ada di Kras. Kalau saat itu kami melawan, sudah barang tentu banyak jatuh korban jiwa di pihak kami," kata pria delapan anak dan tujuh cucu itu mengenang.
Karena masih tetangga dekat dengan Suryadi, Akhyar mengaku lebih beruntung dibandingkan dengan rekan-rekannya yang mengalami penyiksaan hebat. Bahkan ada diantaranya tewas dalam peristiwa berdarah yang terjadi 42 tahun silam itu.
Ia menyebutkan, saat peristiwa itu terjadi, PKI telah menguasai seluruh pelosok Kediri, bahkan pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara dikuasai oleh orang-orang dari partai pimpinan DN Aidit itu. Di Desa Kanigoro sendiri, perbandingan kalangan santri seperti Akhyar dengan orang komunis adalah 1:25.
"Sedangkan saat Tragedi Kanigoro itu terjadi, memang PKI sedang giat-giatnya memberangus orang-orang Masyumi. Mereka ini melihat PII sebagai underbouw dari Masyumi," katanya menuturkan.
Belakangan dia menyesalkan, hasil penelitian yang dilakukan para mahasiswa dan ahli sejarah yang mengaburkan fakta terjadinya tragedi berdarah di Kanigoro itu.
Oleh sebab itu, para saksi hidup, termasuk Akhyar, sebelumnya sempat menolak ketika diwawancarai mengenai tragedi itu.
"Mohon maaf kalau tadi saya sempat menolak, lantaran di tengah kami berusaha melupakan peristiwa itu ada penelitian yang seakan-akan kami bersalah," katanya kepada ANTARA News di tengah-tengah wawancara.
Ia mengakui, setelah meletus Gerakan 30 September 1965 atau G-30S/PKI, warga masyarakat Kediri berhasil melakukan serangan balik dengan melucuti para pengikut PKI.
Desa Kanigoro dijadikan ajang pembantaian orang-orang PKI, dan mayat mereka dimasukkan ke dalam sebuah tanah galian besar yang saat ini dikenal oleh warga masyarakat sekitar dengan sebutan Makam Parik.
Demikian dengan Moningah (60) yang juga masih teringat dengan peristiwa pembantaian 1965 di Desa Kanigoro. "Kami ini sebenarnya orang kecil yang tidak tahu apa-apa dengan peristiwa itu," kata istri Sukani (63), salah satu pengurus PKI di Desa Kanigoro itu.
Ia mengaku, telah kehilangan sejumlah kerabatnya dalam peristiwa berdarah yang terjadi dalam rentang September hingga Oktober 1965. "Tentu saya masih ingat peristiwa berdarah itu," kata perempuan dengan pandangan menerawang mengingat peristiwa yang terjadi saat dia masih berusia 18 tahun itu.
Tidak hanya kerabat dan anggota keluarganya yang menjadi korban, namun haknya sebagai warga negara diberangus.
Sampai-sampai, anak semata wayangnya tak mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga sehari-hari kerjanya hanya membantu Sukani mencetak gorong-gorong di rumahnya di Desa Kanigoro.
"Kami sudah berusaha mencoba melupakannya, tapi tragedi itu tetap saja tak bisa sirna dari ingatan masa lalu yang kelam itu," kata Akhyar, salah seorang saksi mata Tragedi Kanigoro saat ditemui di MTs Negeri Kanigoro, Sabtu.
Pria berusia 59 tahun yang sehari-sehari bekerja sebagai tenaga pesuruh di Madrasah Tsanawiyah Negeri tertua di Kediri itu menuturkan, tragedi yang terjadi pada 19 Januari 1965 masih terekam jelas dalam ingatannya.
"Saat itu ada sekitar 100 orang PII (Pelajar Islam Indonesia) dari seluruh daerah di Jawa Timur yang sedang mengikuti rapat bersama di Masjid At Taqwa usai salat subuh. Tiba-tiba datang segerombolan orang berpakaian hitam-hitam menyerang mereka," kata Akhyar yang saat itu bertugas mengamankan kegiatan tersebut.
Ia dan beberapa panitia keamanan acara tersebut tak berdaya menghadapi aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah mencapai 10.000 orang, pimpinan Suryadi yang langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII itu.
"Saya dan beberapa teman langsung digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi yang ada di Kras. Kalau saat itu kami melawan, sudah barang tentu banyak jatuh korban jiwa di pihak kami," kata pria delapan anak dan tujuh cucu itu mengenang.
Karena masih tetangga dekat dengan Suryadi, Akhyar mengaku lebih beruntung dibandingkan dengan rekan-rekannya yang mengalami penyiksaan hebat. Bahkan ada diantaranya tewas dalam peristiwa berdarah yang terjadi 42 tahun silam itu.
Ia menyebutkan, saat peristiwa itu terjadi, PKI telah menguasai seluruh pelosok Kediri, bahkan pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara dikuasai oleh orang-orang dari partai pimpinan DN Aidit itu. Di Desa Kanigoro sendiri, perbandingan kalangan santri seperti Akhyar dengan orang komunis adalah 1:25.
"Sedangkan saat Tragedi Kanigoro itu terjadi, memang PKI sedang giat-giatnya memberangus orang-orang Masyumi. Mereka ini melihat PII sebagai underbouw dari Masyumi," katanya menuturkan.
Belakangan dia menyesalkan, hasil penelitian yang dilakukan para mahasiswa dan ahli sejarah yang mengaburkan fakta terjadinya tragedi berdarah di Kanigoro itu.
Oleh sebab itu, para saksi hidup, termasuk Akhyar, sebelumnya sempat menolak ketika diwawancarai mengenai tragedi itu.
"Mohon maaf kalau tadi saya sempat menolak, lantaran di tengah kami berusaha melupakan peristiwa itu ada penelitian yang seakan-akan kami bersalah," katanya kepada ANTARA News di tengah-tengah wawancara.
Ia mengakui, setelah meletus Gerakan 30 September 1965 atau G-30S/PKI, warga masyarakat Kediri berhasil melakukan serangan balik dengan melucuti para pengikut PKI.
Desa Kanigoro dijadikan ajang pembantaian orang-orang PKI, dan mayat mereka dimasukkan ke dalam sebuah tanah galian besar yang saat ini dikenal oleh warga masyarakat sekitar dengan sebutan Makam Parik.
Demikian dengan Moningah (60) yang juga masih teringat dengan peristiwa pembantaian 1965 di Desa Kanigoro. "Kami ini sebenarnya orang kecil yang tidak tahu apa-apa dengan peristiwa itu," kata istri Sukani (63), salah satu pengurus PKI di Desa Kanigoro itu.
Ia mengaku, telah kehilangan sejumlah kerabatnya dalam peristiwa berdarah yang terjadi dalam rentang September hingga Oktober 1965. "Tentu saya masih ingat peristiwa berdarah itu," kata perempuan dengan pandangan menerawang mengingat peristiwa yang terjadi saat dia masih berusia 18 tahun itu.
Tidak hanya kerabat dan anggota keluarganya yang menjadi korban, namun haknya sebagai warga negara diberangus.
Sampai-sampai, anak semata wayangnya tak mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga sehari-hari kerjanya hanya membantu Sukani mencetak gorong-gorong di rumahnya di Desa Kanigoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar