Jumat, 03 Januari 2014

Politik Perempuan



Ruang Politik Perempuan
Setelah reformasi, demokratisasi melanda semua lini. Politik gender yang semula sulit ditegakkan dalam lembaga demokrasi perlahan merambah sistem bernegara. Termasuk intervensi pengarusutamaan gender di dalam partai politik yang kini mulai menampakkan eksistensinya. Hampir seluruh partai politik kini mengadopsi sistem quota representasi perempuan dalam struktur organisasinya serta menjadikan program pemberdayaan perempuan pada program kerjanya. Tak luput, hampir seluruh partai politik melakukan penguatan terhadap organisasi sayap partai mereka yang khusus menangani perempuan.

Tetapi wacana pengarusutamaan gender bukan hanya diagung-agungkan menjadi “ada” dan tiada di suatu partai, namun pada titik nyata benarkah kondisi tersebut telah mampu menjawab masalah representasi perempuan di partai politik, sehingga mempunyai bargaining di ruang publik dalam membuat keputusan-keputusna politik partai.

Realitas Politik Gender Dalam Tubuh Parpol

Sepintas, eforia politik yang terjadi pasca reformasi telah berhasil mendobrak kekakuan bahkan penindasan gender yang melanda partai politik. Dahulu, posisi perempuan di partai masih menjadi pemanis dan hadir berdasarkan kebesaran feodalism (akibat politik kekeluargaan). Namun kini pasca reformasi telah banyak kader partai perempuan menduduki representasi politik yang dominan dan terjadi peningkatan politik perempuan di parlemen secara kuantitatif. Bahkan UU paket politik yang dulu sangat samar menaungi kelompok perempuan dalam keterwakilan politiknya kini telah jelas menyebutkan bunyinya. (lihat UU tentang pemilihan umum UU tentang penyelenggara Pemilu, tentang Partai politik), akan tetapi kemajuan tersebut belum sebanding jika dikaitkan dengan persoalan perempuan itu sendiri di partai politik. Jangankan partai kecil atau menengah, mereka yang tergolong besar seperti Demokrat, Golkar dan PDIP pun menghadapi persoalan yang rumit.

Penulis menganalisa permasalahan tersebut dalam dua hal. Pertama, perempuan dan kultur politik suatu partai. Dalam penelitian yang dibuat oleh Puskapol UI bahwa Demokrat, Golkar dan PDIP merupakan penyumbang refresentasi perempuan terbesar dalam pemilu 2009 hal ini dilihat dari keterwakilan mereka di DPRRI.

Semula ada anggapan bahwa paling tidak ada ikhtiar politik gender yang bisa dimainkan dalam menjawab kegelisahan perempuan di partai dalam mewujudkan keadilan gender dari sampel penelitian ini. Akan tetapi hasilnya partai politik tersebut dianggap belum memiliki strategi pemberdayaan perempuan dan keadilan gender baik yang tercantum dalam dokumen formal maupun dalam prakteknya (informal). Itu artinya salah satu ruang politik gender yakni legislatif hanya sebagian kecil dari perjuangan gender yang sebenarnya di tubuh partai. Kesimpulan yang diambil penelitian ini mengatakan bahwa partai politik sebagai institusi demokrasi memandang fungsi electoral sebagai peran terpenting yang dimainkan dalam upaya merebut kekuasaan dan memenangkan kontes pemilu, bukan melampaui perjuangan gerakan genderisasi di tubuh partai.

Hal ini semakin mengingatkan kita pada realitas lampau tentang perempuan partai yang dimunculkan oleh nilai feodalism. Nilai kultural itu masih kuat bertahan hingga saat ini, sehingga sulit dirombak oleh realitas politik yang sudah menampakan demokratisasi, humanitas dan kesetaraannya.

Kedua, perempuan dan agenda partai politik. Hal ini yang penulis maksud dengan babak baru ruang politik gender. Yakni partai politik memiliki nilai keterbukan terhadap ruang gerak gender secara lebih luas. Secara normative kinerja partai terukur oleh tingkat elektabilitas, namun ia juga mampu diwujudkan melalui strategi pengarusutamaan gender (PUG) sehingga  ruang geraknya mampu mengail elektabilitas melalui nilai-nilai yang dianutnya, seperti kemanusiaan dan berkeadilan. Hal ini tentu membukakan mata sekian juta pemilih yang memikirkan perubahan nasib atas dirinya melalui aspirasi politik partai.

Ke depan partai politik merupakan kunci utama bagaimana ruang politik gender mampu memainkan strateginya dalam membangun kinerja partai tersebut. Brand image partai merupakan kesatuan bagi kerja politiknya sebagai lokomotif pendulang suara dan pengayom (fungsi yang sebenarnya) dalam berinteraksi antara kepentingan rakyat dengan negara.

Mungkin kaitan fungsi kepartaian inilah yang agak sulit dilakukan. Sebab interaksi politik antara masyarakat dengan partai yang bersifat mengayomi kini tereduksi oleh nuansa pencitraan belaka, apalagi ketika menghadapi tahun-tahun politik seperti saat ini. Semestinya fungsi mereka lebih substansial dan berperan sebagai suatu pembelajaran atau pendidikan politik di masyarakat.

Peluang Politik Perempuan NU

Berkaca pada sejarah, politik NU kini tidak lagi pada politik praktis. Padahal partai NU merupakan partai ke 3 terbesar dalam memengkan Pemilu tahun 1955. Dinamika di tubuh NU telah melahirkan keputusan penting bagi negeri ini. Yakni kembali pada khittah 1962 sebagai kekuatan organisasi masyarakat yang sepenuhnya mengabdikan diri pada umat manusia.

Menggunakan kata politik dalam mengawali perbincangan politik NU ingatan kita akan menuju saat NU menjadi partai politik, pada tahun 1950an. Namun bagaimana pun juga, NU merupakan kekuatan politik yang selalu muncul dalam kehidupan berbangsa, terlebih jika dikaitkan dengan peran-peran kebangsaan saat ini. Sehingga istilah politik ini tidaklah harus selalu berarti partai politik atau politik praktis, namun gerak langkah yang menghasilkan interaksi social dengan pemerintah, masyarakat, hokum, agama dan politik itu sendiri merupakan gaya politik saat ini.

Bergabungnya sebagian fungsionaris partai NU di PPP adalah cikal bakal terbangunnya partai berbasis Islam dalam mendirikan partai di atas peleburan 4 fusi partai lainnya, yaitu Parmusi, Masyumi dan Syarikat Islam, sehingga politik NU dapat disalurkan melalui partai ini. Sejalan dengan pemikiran politik NU ketika reformasi bergulir NU melahirkan partai baru yakni PKB untu menyalurkan kepentingan NU. Itulah sebabnya bahwa dua partai ini menjadi dua kekuatan yang secara genuine memiliki geneologi kekuatan politik NU.

Setelah menjadi kekuatan partai politik, tentu perilaku partai politik ini memiliki kultur dan dinamika yang sama dengan para pendirinya. Hal inilah yang ditemukan dalam dua partai ini dalam konteks politik gender. PPP dan PKB tercatata sejak pemilu 2009 telah memiliki peraturan yang tertulis dalam AD/ART partai tentang sistem quota dalam kepengurusan partainya. Tentu hal ini menunjukkan singkronisasi NU dengan partai pada segi gagasan, ide dan kultur yang kuat melakat dalam nafas perjuangan partai tersebut. Sebab di lingkungan NU wacana gender sudah bukan hal yang kontroversi lagi, melainkan melebur dalam perjuangan keumatannya.

Relitas ini menjelaskan betapa kenyataan politik partai di satu sisi sangat terbuka bagi pentas para politisi perempuan di tengah dunia kaderisasi yang deras di tubuh NU. Bagi ormas setingkat NU, badan otonom yag bergerak di tubuh NU adalah IPPNU yang menjadi banom pelajar puteri di tingkat remaja, kemudian Fatayat NU ditingkat usia muda hingga 45 tahun dan Muslimat NU di tingkat 45 tahun sampai seterusnya. Sedangkan di level mahasiswa banyak berdiri organisasi mahasiswa yang digawangi aktivis perempuan seperti Kopri penjelmaan kaderisasi putri dalam tubuh PMII.

Sinergitas dan akselerasi kekuatan politik NU dalam persemaian kadernya di ruang politik sesungguhnya mampu membangun optimisme agenda kepartaian yang lebih berkeadilan gender. Sehingga partai-partai yang digawangi kader NU memang telah menorehkan sejarah tentang perubahan substansial demokratisasi kita, yakni dengan menaunginya keadilan gender dalam aturan parpol. Namun permasalahannya, ada berapakah politisi perempuan di partai yang konon NU itu ?

Tahun 2009 PPP memiliki 5 anggota perempuan dari 38 anggota DPR setara 13,2% di DPRRI, sedangkan PKB memiliki 7 dari 38 anggota DPR setara 25% kursi. Jumlah ini tentu masih menjadi tanda tanya, mengapa belum menunjukkan angka yang progressif dalam memenuhi quota perempuan.

Kritik Wacana Budaya

Bagi partai politik, keberadaan konflik merupakan alat dalam konsolidasi bagi penguatan parpol. Hal itu pula dijelaskan oleh Ramlan Surbhakti sebagai sebuah fungsi kelembagaan partai, yakni mengelola konflik. Kedua partai tersebut dalam dua dekade ini memang mengalami penurunan. Elektabilitas partai merupakan satu-satunya penentu naiknya jumlah pemilih partai ini, akan tetapi faktor pendulang elektabilitas hendaknya berpangkal dari mana peluang itu muncul. Artinya tak terjadi sinkronisasi antara besarnya basis pemilih dari kelompok NU yang disinyalir menempati hampir separuh dari 250 juta penduduk Indonesia dengan partai yang lahir dari rahimnya sendiri.

Selain masalah fungsi partai politik, ada kalanya kritik wacana yang menjadi nadi sebuah dinamika pemikiran harus diaplikasikan dalam tataran nyata. Jika dibedah, anggota legislatif dari kedua partai tersebut terutama politisi perempuan, notabene memiliki trah politik yang luar biasa. Sebutlah Dra. Wardatul Asriah sebagai anggota DPRRI dari PPP. Selain ia merupakan kader partai ia juga istri ketua umum PPP dan sebagai seorang istri Menteri Agama RI. Di PKB ada Lili Khadijah Munir yang merupakan tokoh NU anak dari pendiri NU. Kedua orang tersebut selain memiliki gagasan gender juga merupakan penerus dinasti kekuasaaan, sehingga karier politik keduanya cemerlang.

Sisi lainnya, gagasan perempuan muda NU dalam membangun wacana keagamaan dan keIslaman sangat besar dalam kultur bangsa ini. Seperti kekuatan arus pemikiran modernisme dalam menjawab tantangan zaman mampu didialektikakan di masyarakat menjadi suatu perangkat pengetahuan dalam lintasan ilmu fiqih. Contohnya pemahaman kesehatan reproduksi, yang bagi sebagian kalangan Islam dianggap tabu dan bukan wilayatunnisa dalam menjelaskan berbagai persolan rumah tangga ke ruang publik, dalam tubuh NU merupakan suatu hal yang biasa dan menjadi pembahasan sehari-hari.

Tak jarang dari pendapat aktivis NU mengatakan bahwa poligami yang keberadaannya dalam al-quran dimaknai sebagai suatu yang tidak manusiawi. Kemudian, masalah khittan perempuan, kaitannya dengan fiqih, perempuan NU mengatakan ada pula yang memandang tidak diperlukannya khittan buat perempuan dan tidak ada keterangan diwajibkan dalam Al-quran.

Gagasan tersebut terus membumi dari generasi ke generasi. Ia menjadi semacam simulacrum peradaban dengan khasnya gaya NU membangun wacana, baik di level IPPNU, Fatayat dan Muslimat. Gagasan inilah yang juga diperhitungkan dalam gerakan perempuan lintas ormas dan lembaga pemerintahan untuk selalu dijadikan kemitraan dalam pembangunan. Pemikiran-pemikiran NU selalu hadir, dan mewarnai geliat kebangsaan ini, terutama dalam ranah yang menangani urusan gender.

Namun, benarkah hal itu juga menjadi modal dalam berpolitik praktis? Kiranya, gagasan yang dimiliki terkadang tak sebanding dengan kesiapan kultur masyarakat kita dalam berpolitik. Banyak sekali perempuan hebat dari segi pemikiran dan gagasan bahkan dibesarkan dalam ruang aktivis ternyata tidak dapat menembus tebalnya dinding politik NU yang trah-isme, dinastisme dan over budgeting. Dan mereka masuk dalam ruang politik pinggiran, tidak mendapatkan mandate secara politik strategis dalam mengelola negara ini. Hanya segelintir saja yang punya kans dalam panggung parlemen dan berfikir atas nama rakyat di sana.

Kritik wacana budaya mengintervensi hadirnya budaya elitis dalam politik NU yang terkendala iklim paternalistik di tubuh NU sendiri, kemudian menggerus pemikiran dan kuatnya gagasan sebagai suatu basic capital dalam pertarungan politik. Secara rasional politik liberal yang saat ini berada dalam tubuh parpol sangat mungkin membagi ruang politik itu dalam mekanisme kekuasaan. Dimana gagasan adalah ruh dalam membungkus kultur yang sesuangguhnya di ruang parpol. Jika saja hal seperti itu telah dilakukan dan dijalankan mungkin kekuatan politik NU tak kan terkerangkeng oleh sekat-sekat patnernalistik yang terkadang dibenarkan oleh nalar kekuasaan yang tanpa batas.

Terakhir, penulis mengucapkan selamat berjuang para perempuan NU dalam menyongsong Pemilu 2014, memang tidak hanya satu dua partai persemaian kader NU. Ia melebihi batasan yang diseleksi KPU sekalipun, namun kemana dan dimana saya kira jubah kebesaran NU merupakan tugas mulia, dimana pemikiran dan khittah bertengger di sana. Semoga tujuan berpolitik praktis bukanlah untuk menumpuk pundi-pundi pribadi semata namun untuk menuju Indonesia yang lebih membawa maslahah. Amiin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar